Saat ini dalam kalender hijriyah kita sedang berada di akhir perjalanan bulan Rajab. Sebagai umat Islam, ketika mendengar Rajab, maka yang akan teringat adalah sebuah peristiwa besar yang terjadi pada diri sang Rasul yang ma’shum dalam melakukan perjalanan spektakuler ke shidrathul muntaha untuk menerima perintah sholat lima waktu
Bagi saya, selain kewajiban sholat, pelajaran yang dapat diambil dari Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW adalah sifat tanggung jawab yang besar kepada umatnya untuk melakukan ishlah (perbaikan). Bayangkan, Rasulullah sudah sampai di shidratul muntaha, sebuah tempat yang tidak ada tetesan darah dan air mata. Tempat yang tidak bakal ditemui adanya orang kepayahan, baik karena kelaparan, ketidak adilan, pertikaian dan peperangan antar suku dan kabilah sebagaimana yang terjadi di Arab dan bumi-bumi lainnya
********
Namun, saat ini kita menyaksikan orang-orang yang sudah singgah di “shidratul muntaha” itu kini tak mau turun lagi ke “bumi”. Mereka telah lupa dengan tugas dan kewajiban untuk melakukan perbaikan di negeri ini. Mereka adalah para agamawan yang hanya “berasyik masyuk” dengan ibadah transendentalnya, mereka adalah para pebisnis yang hanya memikirkan urusannya. Mereka juga kaum terpelajar yang hanya disibukkan dengan diktat-diktat tebal mata kuliahnya. Mereka juga adalah orang-orang yang cepat menyerah dan apatis melihat kerusakan di negeri ini
Kalau orang seperti kalian adalah orang yang pesimis, lantas siapa yang optimis menatap bangsa ini? Jadilah pelukis sejarah di langit yang temaram sebagai bukti nyata bahwa kita adalah orang yang masih memiliki harapan. Dan kelak langit itu akan terang kembali, sebagaimana janji-Nya “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”
Muhammad Iqbal menyientil orang-orang yang cepat lelah dan apatis dengan senandung yang dalam:
“Andai aku adalah Rasulullah
Maka, aku tak akan turun lagi ke bumi
Setelah sampai di shidratul muntaha”
Selengkapnya...