Kamis, 31 Januari 2008

Kita, Bersiaplah!

Saya tidak sedang meramal kejadian. Saya hanya sedang menakar kemungkinan. Dulu, 1 – 10 lalu anak-anak kecil di sekitar kita sering bertanya lugu kepada ayahnya, “Ayah, Allah sama Superman kuatan mana?”. Pertanyaan menggelikan tapi memang kenyataan.

Namun saat ini saya justru membayangkan, kelak suatu ketika, 1 – 10 tahun ke depan, anak-anak saya (tentunya juga anak-anak anda) akan bertanya kritis, “Abi, apakah Hitler, Mushollini dan Stalin adalah pemimpin?”

Belum juga terjawab, kelak mereka akan membrondong pertanyaan lagi, “Bagaimana dengan Soekarno, Soeharto, Habibie sampai SBY, apakah mereka pemimpin? Oh ya, Nabi Muhammad seorang pemimpin besar, juga Khulafaur Rosyidin. Abi juga pemimpin. Dan kami (baca: anak-anak) juga pemimpin, lantas mana anak buahnya Abi?

Andai benar akan bertemu dengan pertanyaan di atas, maka saya akan katakan, “Iya benar, mereka semua adalah pemimpin. Hitler adalah pemimpin. Mushollini adalah pemimpin. Bahkan Abi dan kalian juga sebagai pemimpin. Karena sejatinya setiap manusia adalah pemimpin, paling tidak memimpin untuk dirinya sendiri. Apalagi mereka yang pemimpin “betulan”, maka kelak mereka akan diminta pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT lebih berat dan mungkin lebih lama prosesnya.

Untuk itu abi sebagai pemimpin harus menjaga ummi dan kalian dari jilatan api neraka yang panasnya tak terkira. Karena kepemimpinan adalah amanah dan “cenderung beban”, bukan justru fasilitas yang bertambah

Kalau memang beban, kenapa banyak terjadi jegal menjegal untuk menjadi pemimpin Bi? Pemimpin apa aja, negara dan terus ke bawahnya, instansi serta jabatan apa saja. Bahkan untuk menjadi pemimpin rumah tangga pun kini banyak yang tak sabaran. Buktinya saat ini semakin banyak para gadis yang hamil duluan di luar nikah abi. Sst kali ini sejenak saya terdiam mencari jawaban.

Didiklah anak sesui dengan masanya. Itulah petuah Nabi di zaman keemasan lebih dari 1400 tahun lalu. Kini TV dan berbegai media tak terhitung jumlahnya. Buku-buku berbagai ‘genre’ sangat mudah mendapatkannya. Ada religius, sosialis, nasionalis, pengembangan diri dan hiburan an sich. Dari yang bikin sehat, sakit sampai yang kronis tersebar dimana-mana.

Itulah informasi, jangan sampai kita gagap sehingga anak-anak kita akan taklid buta, kemudian belajar dengan referensi yang tak jelas. Berubahlah, karena itulah John F Kennedy mengatakan bahwa “Change is the law of life”. Jadilah kita orang tua, guru dan sahabat yang luar biasa bagi mereka. Karena masa depan anak-anak kita sangat ditentukan pembelajarannya saat ini. Wallahua’lam

Selengkapnya...

Selasa, 29 Januari 2008

Selamat Ulang Tahun Nazla

Hari ini ada yang istimewa dalam perjalanan rumah tangga kami. Namun keistimewaannya tetap bersahaja seolah tidak menampakan tanda-tanda yang luar biasa. Tetap mengalir seperti apa adanya.

Hari ini Nazla Rizka Ahsani, putri pertama kami sudah satu tahun persis versi kalender hijri (20 Muharram 1428 H – 20 Muharram 1429 H). Hari ini praktis satu tahun dia tumbuh dengan tawa, canda dan tentunya juga tangis. Resapilah anakku itu adalah bagian dari kehidupan

Maafkan abi dan ummi sayang, karena tidak ada tiupan lilin, kue tart dan mengundang kawan-kawan agar lebih menghangatkan suasana di ultahmu yang perdana. Apalagi harus membawa badut-badut lucu yang mengibur di gubuk kita. Karena tahun ini adalah masa keprihatinan anakku.

Anakku, tahukah paska lahirmu sampai sekarang bahwa harga-harga membumbung tinggi? Beras, tempe, minyak dan susumu kian melangit harganya dari hari ke hari. Alhamdulillah anakku abi dan ummi masih kuat untuk membelinya. Yah walaupun harus semakin basah bermandi peluh.

Anakku, engkau harus tumbuh dewasa. Jangan tiru kakak-kakamu yang berkelakuan tak peka. Berfoya-foya dalam keadaan orang tua tak berpunya. Bergaya dalam keadaan saudara tak tahu apa yang akan dimakannya. Nazla anakku, dunia ini bukan sinetron yang senantiasa menampilkan keindahan mata. Alam realita mengharuskan kita untuk senantiasa sigap dan selektif menghadapi apa saja.

Islam adalah nasehat, maka patuhilah. Dunia ini luas, maka belajarlah. Selamat Ulang Tahun Nazla, semoga Allah jadikan engkau menjadi keturunan yang Hukma Shobiyya Wa Robbi Rodlhiyya, yaitu keturunan yang mendapat hikmah dan keridhoan Allah. Keturunan yang menentramkan hati, menyenangkan mata bagi abi, ummi, masyarakat dan bangsanya. Aamin.

Selengkapnya...

Senin, 28 Januari 2008

Soeharto = Berhala Media?

Akhirnya selesai sudah “petualangan” umur H.M. Soeharto. Setelah 24 hari keberadaan kesehatannya mengalami fluktuasi di RSPP, pada Ahad (27/1) jam 1:10, dia (Soeharto) menghembuskan nafas terakhirnya. Innaa Lillaahi Wa Innaa Ilaihi Rooji’uun. Sesungguhnya semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Seperti biasa, berbagai media asyik masyuk memberitakannya. Saking berhasratnya, sebagaian besar stasiun televisi menyiarkan kepergiannya dengan tambahan pernak-pernik yang terkesan di besar-besarkan. Tidak puas dengan sekedar breaking news, laporan khusus dan istilah lainnya. Malah mereka menumpahkan seluruh isi siarnya dengan kabar kepergian mantan penguasa orde baru ini. Pun yang terjadi di media cetak yang saya baca hari ini. Sudah jadi berhalakah Soeharto di media?

Asli saya bertanya, sudah tidak ada berita lagikah di Indonesia? Saya sepakat, kematian Soeharto adalah berita besar yang pantas untuk informasikan kepada masyarakat. Namun haruskan warga dicekoki hanya dengan satu berita yang membosankan karena diulang dan terus diulang?.

Sudah jadi berhalakah Soeharto di media? Setiap kali ganti chanel, yang ada dimana-mana adalah pemberitaan seputar dia. TVRI, Metro TV, SCTV, RCTI, ANTV dan lainnya bernasib sama. Kamaruk memuntahkan infonya tentang dia. ANTV diuntungkan dengan janjian kepada pemirsanya untuk menyiarkan langsung Piala FA. Kalau tidak, mungkin juga sama: Menjadikan Soeharto sebagai berhala media.

Belum lagi iringan lagu gugur bunga yang menyiratkan kepergiannya. Pahlawan nasionalkah dia? Mungkin iya, namun juga mungkin tidak, karena selama ini belum ada keputusan. Bukankan Bung Tomo yang selama ini menjadi icon hari pahlawan belum dikategorikan sebagai pahlawan nasional?

Yang jelas, Soeharto hanyalah bagian manusia yang memiliki kebaikan dan kesalahan. Maafkanlah dia dan do’akan agar amal-amalnya diterima disisi-Nya. Keluarga yang ditinggal diberikan kesabaran dan juga keinsyafan untuk kembali ke jalan yang lebih benar. Dan proses hukumnya segera diselesaikan agar ketenangan senantiasa menaungi alam kuburnya. Ss..st yang lebih penting jangan jadikan ia berhala baru bagi kita. Wallahua’lam

Selengkapnya...

Jumat, 25 Januari 2008

Balada Si Raskin

Entah hari ini sudah kali yang ke berapa kami menemukan kejadian yang (sebenarnya) sangat gampang untuk diduga. Ya, apalagi selain kenaikan harga. Logikanya, sesuatu yang berulang dan terus berulang tidak menyiratkan tanda-tanya lantaran telah terbiasa. Namun sungguh berbeda dengan kenaikan harga barang yang satu ini. Minimal untuk kami. Kenapa ya?

Beras. Itulah nama barang yang sekarang menjadi fenomena. Bukan bentuknya yang menjadi aneh. Bukan pula keberadaannya yang langka, namun harganya. Tidak juga sejuta apalagi semilyar. Namun “cuma” enam ribuan perak perkilonya. Disitulah letak permasalahannya.

“Yang ini Rp. 6.200 tiap kilonya. Rp. 149.000 per karungnya. Ini yang paling murah lho mas”, jelas pramuniaga yang masih sabar menerangkan saya yang ‘rewel’ bertanya. Setelah sang pramuniaga mengeluarkan kartu truf berupa kata: ini yang paling murah lho mas, sejenak saya bergumam “Masya Allah sekarang saya makan beras yang paling murah”. Alhamdulillah ndilalah (jawa: kebetulan) saat itu serentak hati bersih saya berujar, begitulah kehidupan, kadang di atas, di bawah atau di tengah. Jadi lebih sabar dibuatnya.

Satu jam berselang, ketika kami sudah bersiap beranjak ke tempat tidur, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan. “Oo Pak Kiki (Sekretaris RT), masuk boss!”, ajak saya akrab. “Mau beras miskin nggak Nu?”, tanyanya tanpa basa-basi. “Mm … mau pak”, jawab saya terbata. “Yang ini jangan lupa diisi nama dan lainnya ya”, tutupnya sebelum berpamitan sembari memberi selembar formulir kosong.

Tak lama saya mulai mengeja huruf demi huruf, kesimpulannya: harga raskin Rp. 2.100 per kilonya. Dapat jatah 5 Kg per KK dan ngambilnya di tempat Pak RW serta jangan lupa bawa KTP.

Ringkas cerita, saking confuse dan sibuknya, tiga hari berselang, formulir itu masih perawan. Belum ada satu tetes pun pena yang menggoresnya. Saya bingung, halalkah raskin itu kami makan? Pantaskah orang yang tiap hari ngenet searching di dunia maya makan beras jatah orang miskin (raskin) yang mungkin bukan hak saya? Atau harus dikembalikan seperti usul Ummi Nazla?

Ketika hati sudah tergugah untuk mentransfer si raskin ke nenek (sebutan penjaga Nazla pertama), “iseng-iseng” lewat rumah Pak RW, namun walah sudah sepi beras dibuatnya. Tidak ada tumpukan makanan khas Indonesia. Yang ada hanya sisa-sisa karung tanpa isinya. Ya, beginilah kesudahan orang yang telat mengambil keputusan. Tak mampu berbuat banyak. Semoga mampu dijadikan pelajaran. Astaghfirullah.

Selengkapnya...

Rabu, 23 Januari 2008

Kitakah Patriotnya?

Dari zaman baheula sampai saat ini pola pikir sebagian besar masyarakat masih sama, yaitu adanya kecendrungan untuk menempatkan kita (generasi muda-cieh sok muda) pada posisi “lampu merah”. Mulai cuek sampai dekadensi moral. Dari darah panas sampai kenakalan remaja menjadi stigma yang kadong lekat pada diri kita.

Memang tidak lah salah (kaprah) anggapan diatas. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan generasi muda Indonesia masih banyak yang terjebak dalam kehidupan hedonis. Pesta dan hura-hura dijadikan gaya hidup (life style) yang seolah menjadi warisan turun temurun yang senatiasa diinovasi sesuai masanya. Belum lagi persoalan klasik tawuran antar pelajar yang menjadi “brand” para siswa berseragam putih abu-abu hampir di seantero Indonesia.

Terlebih lagi sekarang, modernitas telah sukses membawa sampah-sampah peradaban berupa narkoba, seks bebas dan permisivisme (gaya hidup serba boleh) yang justru didaulat sebagai pelengkap jawaban gaya pergaulan “modern”. Mahasiswanya sudah disibukan dengan perpeloncoan dan pacaran “gaya bebas” yang diawali dari pandangan pertama terus turun ke hati (it was love at first sight) yang kemudian kata Mbak Nurul F Huda dilanjutkan dengan kissing, necking, petting dan banting yang ujung-ujungnya bunting.

Ditengah situasi masyarakat yang diliputi apriori terkait dengan penilaian terhadap generasi muda. Disaat masih banyaknya teman sebaya kita yang masuk dalam lubang nista dengan berlomba-lomba mencari kesenangan dengan cara apa saja. Menjadi pribadi yang menyenangkan harus senantiasa dikobarkan.

Karena revolusi peradaban besar itu pasti akan tercipta bukan dengan sim salabim ada kadabra, malainkan melalui tahapan tarbiyah (pembelajaran) yang simultan dan menyeluruh dari sang pembelajar yang ikhlas serta memahami benar teori “Innallaha laa yughoyyiru maa biqaumin hatta yughoyyiru maa bianfusihim” (Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali kaum itu yang akan merubahnya sendiri).

Kita harus bertahan dan memberikan warna cerah untuk generasi kita, karena Bung Tomo telah mengingatkan, “Cita-cita seorang pejuang besar adalah ingin mendidik anak muda bangsa menjadi patriot bangsa. Baginya perjuangan tak memiliki arti apabila tidak ada generasi penerus yang memiliki jiwa patriot”. Kitakah patriotnya? Wallahua’lam.

Selengkapnya...

Senin, 21 Januari 2008

Maafkanlah Soeharto

Praktis, sudah lebih dari dua pekan, stasiun TV dan surat kabar menggeber berita terkait kondisi kesehatan mantan Presiden H. M. Soeharto (HMS). Saat ini Malaikat masih “mempermainkan” nyawanya. Semalam mengalami perbaikan, eh pagi ini ngedrop kembali.

Konon masih banyak rival politiknya yang belum memaafkan eyang HMS. Berbeda dengan saya yang sudah legowo memaafkannya. Ini bukan karena saya adalah orang yang tidak pernah terdzolimi oleh kebijakannya. Karena bagi saya, tidak ada orang Indonesia yang tidak disakiti oleh tindakannya. Bukankah warisan budaya patologi birokrasi, KKN dan sebangsanya adalah warisan HMS yang selama ini masih saya (dan tentunya kita) rasakan?.

“Karena saya adalah muslim”, itulah yang menjadi pijakan saya untuk memaafkannya. Bukankah Hamka telah memberi pelajaran berharga, bagaimana ketika pada masa itu beliau dipenjara oleh Soekarno tanpa alasan yang jelas. Namun ketika Soekarno meninggal ia tidak sekedar memaafkannya, namun menjadi imam sholat mayyit terhadap orang yang telah menyakiti dengan sekakit-sakitnya. Lantas bagaimana dengan kita?

Mungkin dengan adanya keihklasan maaf kita akan memudahkan jalannya ke alam lainnya. Saya, anda dan tentunya HMS tetaplah manusia. Selamanya kita tidak mungkin menjadi malaikat yang memiliki ketaatan luar biasa. Pesan untuk tim dokter dan keluarganya, selain obat dan tindakan perawatan jangan lupa talqin HMS untuk senantiasa mengingat pemegang kekuasaan sejati, Allah SWT.

Lantas bagaimana dengan sisi hukumnya? Memaafkan hanya mampu berdiri dalam batas moralitas, namun tindakan kejamnya, korupnya dan lainnya adalah wilayah hukum yang harus diselesaikan tanpa ada kata “maaf” untuk dia (maaf pakai huruf D kecil). Wallahua’lam.

Selengkapnya...

Sabtu, 19 Januari 2008

Menikahlah, Maka Engkau Menjadi Kaya

Jika kita (Kaum Adam) dianugerahkan badan semacho Rambo, kekuasaan sehebat Fir’aun dan kekayaan semelimpah Bill Gates, kemudian dihadapan kita tersedia ratusan perempuan yang siap untuk melayani nafsu kita, maka kepuasan tidak akan kita dapatkan.

Andai kalian wahai kaum Hawa diberikan body “se-sexy” Xena, kekuasaan sebesar Ratu Balqis dan kekayaan sebanyak Alice Walton, kemudian dihadapan kalian sudah menunggu ratusan lelaki hidung belang yang siap beraksi, maka kepuasan (sekali lagi) tidak akan kalian dapatkan. Mengapa ….?

Ali Ath Thantowi mengatakan syahwat itu ibarat air bah yang siap untuk meluluh-lantahkan. Tak peduli didepannya ada gedung maupun gubuk. Nafsu itu bagaikan bom yang siap untuk diledakan. Tak peduli waktu siang atau masa malam. Namun menikah adalah solusi agar air tetap bermanfaat sesuai peruntukannya, agar bom dapat meledak sesuai masanya.

Menikahlah, maka engkau menjadi kaya. Kelihatannya judul diatas terlalu tendensius. Apalagi di tengah kehidupan sekarang yang serba materi. Belum lagi gaya hidup hedonis, permisiv dan “sok logis” yang sukses membawa sampah-sampah peradaban baru.

Aku belum punya rumah dan belum punya mobil adalah beberapa alasan yang kadang dijadikan justifikasi. Ada juga yang mengatakan “Untuk mencukupi diri sendiri saja susah bagaimana menanggung anak orang? Yah, beginilah susahnya paradigma hidup bangsa sinetron.

Dalam Al Qur’an Allah mengatakan: “Kawanilah orang-orang yang sendirian diantara kamu …. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui” (lihat QS: 24: 32)

Sang utusan-Nya, Muhammad SAW dalam banyak haditsnya pun mengatakan hal serupa. Nasi satu piring cukup untuk dua orang, nasi dua piring cukup untuk empat orang dan berikut terus kelipatannya. Percayalah menikah itu bukan angka matematis namun wilayah keberkahan. Jadi materi jangan (terlalu) dipikirkan. Ingat, materi tetap dipikirkan tapi jangan menjadi penentu. Stop materi sebagai berhala baru.

Menikahlah, maka engkau menjadi kaya. Hal inilah yang saya alami sendiri. Belum dua tahun menikah, ternyata kami sudah menjadi kaya raya. Minimal kaya pengalaman, punya istri dan anak (tentunya juga mertua). Dan yang lebih besar lagi yaitu kaya iman. Ketahuilah bahwa menikah adalah menyempurnakan setengan agama. Subhanallah … luar biasa!.

Bagaimana untuk kekayaan materi? Alhamdulillah, segala puji bagi Allah (khusus untuk saya) dengan menikah kini sudah memiliki perlatan dapur yang “memadai” (sangat-sangat berbeda dibanding ketika masih lajang), mainan anak-anak yang dulu gak pernah terpikirkan, seperangkat komputer dan TV. Ada juga sepeda motor yang menemani kemana pun pergi dan sebuah rumah walaupun masih hutang disana-sini. Tentu masih ada ribuan kenikmatan yang tidak bisa dieja disini.

Lantas, bagaimana dengan permasalahan? Hidup adalah tumpukan masalah, namun itulah dinamikanya yang membuat hidup lebih “hidup”. Sendiri punya masalah, menikah punya masalah. Karena hanya ada dua pilihan, maka yang terbaik adalah menikah, karena dengannya masalah bisa disharing dan kemudian dicari solusinya.

Tentu semuanya tidak Bim salabim ada kadabra. Ada begitu banyak buku yang dapat memberikan kekayaan wawasan tentang pernikahan. Menuju Pernikahan Barokah, Di jalan Dakwah Aku Menikah adalah salah duanya. Gali terus ilmunya, resapi bersama-sama dan amalkan. Selamat menempuh hidup baru. Baarakallahu laka …. Wallahua’lam

(Judul terinpirasi dari buku karya penulis produktif, Muhammad Fauzil Adzim)

Selengkapnya...

Jumat, 18 Januari 2008

Virus Itu Bernama Pragmatisme

Siang yang terik, tiba-tiba HP saya bergetar mengagetkan tanda ada yang masuk. Oh sebuah SMS dari teman lama, isinya: “Pesan asli …mantan Presiden H.M. Soeharto, Doakan beliau sedang sekarat. Sebarkan ke-8 HP, maka akan terisi pulsa 75.000”.

Kelihatannya tidak ada yang aneh memang. Apalagi entah sudah berapa kali saya mendapat SMS serupa (yang inti infonya bakal dapat pulsa). Seperti biasa, saya tidak pernah menggubrisnya. Ngapain gambling dengan sesuatu yang tidak mendasar? Begitulah alasan saya. Namun untuk siang itu serasa ada yang menggerakkan keinginan. Bukan mereply, apalagi memforwardnya, tapi ....

Jujur, saya senang mendapat SMS dari teman lama. Namun kenapa isinya “cuma” itu saja. Kenapa tidak disertakan pertanyaan “basa-basi” bagaimana kabar saya dan keluarga? Kabar Batam, atau minimal memprologkan kabar dirinya.

Serentak saya tersadar, membayangkan masa-masa ketika mahasiswa. Saat itu digambarkan bagaimana merajut interaksi dengan orang tua “hanya” saat butuh uang saja. Jatah bulananlah, semesteranlah, kursuslah dan lainnya. Padahal ortu kita senantiasa mengalirkan bait-bait do’a untuk keselamatan, kesuksesan dan keberkahan hidup anak-anaknya. Astaghfirullah ....

Orang tua adalah lambang ketulusan. Pernah, suatu ketika saya menelpon bapak di Jawa. “Ada apa?” terdengar pertanyaan dari suara orang yang kian merenta. “Nggak pak, cuma pengen tahu kabar bapak saja”, kata saya. “Oh berarti kamu anak baik”, jawab bapak saya.

Subhanallah, saya diangap anak baik “hanya” karena menelepon sekedar ingin mengetahui kabarnya saja. Tidak ada pengharapan materi.Anaknya masih berbakti terasa cukup baginya untuk menyemangati sisa-sisa umurnya yang kian menua . Tulus, tuluus sekali jawabnya. Subhanallah ....

Bapak, kini anakmu sudah jadi orang tua. Rasanya belum mewarisi keikhlasan seperti yang engkau tunjukan kepada kami. Rasanya belum memiliki ketegaran batu karang yang siap menghadang badai kehidupan sebagaimana engkau menghadapi cobaan.

Entah mengapa saat ini pragmatisme juga mengaliri jiwa-jiwa kami dan juga anda (yang padahal) terdidik dengan sentuhan lembut keikhlasan. Entah siapa sebenarnya yang salah, sistemnya, budayanya atau induvidunya, saya tidak tahu pak. Wallahua’lam

Selengkapnya...

Kamis, 17 Januari 2008

Wanita Memang Luar Biasa

Wanita adalah makhluk yang lemah. Kalimat tersebut terasa benar manakala dilihat dari sudut yang parsial. Fisiknya mungkin, bisa jadi perasaannya atau yang lainnya. Tapi itu tidak merepresentasikan keberadaannya yang utuh, jadi janganlah pameo tersebut dijadikan argumentasi. Itulah faktanya. Setidaknya bagi saya!.

Pagi itu tidak seperti biasanya, entah disengaja atau tidak, intinya istri saya terlihat malas. Ba’da sholat subuh yang biasanya langsung beraktivitas, saat itu justru malah memilih untuk menuju kamar kembali, lalu tertidur tanpa dosa.

Konsekuensinya tentu si kecil Nazla sayalah yang menyentuhnya. Mengajaknya bernyanyi santri-santri kecil, jalan-jalan pagi atau sekedar bermain cilup baa. Sekilas sungguh aktivitas yang menyenangkan, namun lama-lama timbul kejenuhan juga (swear), belum lagi jika harus pake acara rewel, nangis dan lainnya.

Tak berapa lama saya bawa ia ke kamar untuk ganggu umminya. Sekali lagi entah disengaja atau tidak, istri saya cuek bebek tak menghiraukannya. Melihat (sepertinya) istri saya masih nyenyak, saya memutuskan membawa Nazla ke luar bermain motor sembari memanaskannya (tentunya dipangku) yang pagi itu tumben sudah dikeluarkan.

Merasa sudah nyerah, saya kembali ke kamar. Kali ini tidak mengganggunya, namun membangunkannya. “Baru satu jam …” tanpa diminta istri saya membuka kalimatnya. “Sudah nyerah mi”, jawab saya sekenanya.

Serentak saya berpikir dan tulus mengatakan “Wanita itu hebat dan luar biasa!”. Bayangkan, istri saya sekarang sedang menunggu masa kelahiran anak kedua kami ( Insya Allah akhir Januari ini). Namun dengan tangan besinya, ia masih menyempatkan untuk “menciptakan” masakan yang enak, gubuk yang bersih dan Nazla yang penuh perawatan dan seabrek prestasi lainnya. Belum lagi saat ini istri masih saya masih tercatat sebagai karyawan sebuah perusahaan asing yang membantu menyambung nafas tungku kehidupan kami

Saya yakin, hampir sebagaian besar wanita seperti itu adanya. Andalah (kaum perempuan dan para istri) diantaranya, semoga.

Mi, abi ngaku “kalah”, I Love U

Selengkapnya...

Rabu, 16 Januari 2008

Batam Oh Batam (BOB Part 1)

Bila Anda Tabah Anda Menang. Itulah kepanjangan BATAM yang sangat membius setiap orang. Sehingga wajar, dalam setiap hari lautan manusia melakukan eksodus mengadu peruntungan di wilayah yang berbatasan langsung dengan Singapura ini.

Arti Batam di atas mungkin benar, tapi (lebih pas) masa berlakunya untuk satu dasawarsa ke belakang. Bagaimana kalau kini? Wow sudah jauh panggang dari apinya.

Bagi anda yang ingin berprofesi sebagai pengasah mesin industri, maka bayangkan dan resapilah. Sebagai informasi, Upah Minimum Kota (UMK) terbaru di Batam “cuma” Rp. 960.000. itupun pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sampai sekarang belum legowo bahkan (ternyata) sudah mendaftarkan sampai ke PTUN untuk “melawan” SK Gubernur. Padahal nih biaya hidup sangat tinggi.

Disana tidak ada Warteg apalagi angkringan khas Jogja yang harganya terjangkau. Biaya transportasi dan perumahan mahal. Satu lagi, lapangan pekerjaan pun sudah sangat seret membuka lowongannya. Akibatnya sangat mudah ditebak, angka kriminal pun pasti tinggi.

==============

Bila Anda Tiba Akan Menyesal. Inilah kepanjangan BATAM yang lagi ngetrend saat ini. Kelihatannya terlalu pesimistis memang, tapi itulah realita yang banyak dikatakan orang.

Pak Dede misalnya, laki-laki separo baya asal Garut ini berprofesi sebagai pengesol sepatu keliling. Tak disangka, sore yang cerah ia melaju di depan gubuk kami yang sederhana. Karena istri saya membutuhkan jasanya untuk menservice sandalnya yang menganga, maka dipanggilah bapak beranak empat itu. Naluri kewartawanan saya pun berontak. Sembari khusyuk terampil jemarinya memasukan jarum saya ajak ia ngobrol.

Bagaimana kabar Batam pak? Sengaja saya pancing dengan pertanyaan “sensitif”. Refleks dia menghentikan aktivitas menyulamnya, tak lama ia berujar, “Sudah beda mas, pemasukan sama pengeluaran tidak seimbang”. Tak lama tanpa diminta ia mengatakan dulu pas di kampung, Batam itu sepertinya manii..ss sekali, tapi ketika diselami kok rasanya pahit, ujarnya dengan bahasa Sunda yang kental .

Tentu, kisah diatas bukanlah representasi utuh tentang Batam. Ada juga yang sukses justru ketika di Batam, baik sukses dunianya, atau sukses akhiratnya atau malah keduanya. Bagaimana, apakah anda masih tertantang ke Batam, atau justru semakin tertantang untuk menjajal medan terjal daerah berbentuk kalajengking ini.

Sebagai sahabat, teman, saudara atau apalah namanya hanya bisa bertitip pesan. Persiapkanlah segalanya, jangan sampai menyesal untuk kesekian kalinya. Jangan sampai ada orang bernyanyi mengejek “Siapa Suruh Datang Ke Batam atau Jakarta”, karena bumi Allah dimanapun pasti sudah ada rezekinya. Batam, Surabaya, Semarang, Medan bahkan kampung kita sendiri pun sudah di design rezeki kita di lauhul makhfudz-Nya. Sekali lagi bersiaplah!. Wallahua’lam

Selengkapnya...

Selasa, 15 Januari 2008

Dicari, Politisi Merakyat!

Sudah lebih dari satu dasawarsa udara reformasi dihirup oleh anak bangsa. Masih terngiang jelas dibenak kita bagaimana sepuluh tahun yang lalu para mahasiswa bersama masyarakat dan kaum intelektual maju bersama mensinergikan kekuatan untuk sebuah tujuan yang bernama “perubahan” di sebuah negeri gemah ripah loh jinawi yang bernama Indonesia.

Akhirnya, walaupun harus dengan adanya korban-korban yang jatuh berguguran karena diculik, dianiaya dan diberondong peluru, namun toh perjuangan mereka berhasil menggulingkan rezim otoriter yang dikomandani oleh Soeharto, Presiden kedua yang sangat “disegani” (baca: ditakuti) baik oleh lawan apalagi kawan. Kesangarannya mampu menancapkan kuku-kuku kekuasaannya sampai 32 tahun. Sebuah “prestasi” yang luar biasa di dunia kepemimpinan jagad raya ini.

Tentu yang terjadi adalah, reformasi pun mulai mulai menggeliat bagai cacing kepanasan. Ratusan juta penduduk menggantungkan harapan kepada apa yang dinamakan perubahan sistem pemerintahan. Ketika satu-dua bulan “Pemerintahan Ideal” yang keluar dari rahim reformasi berjalan kurang maksimal, masyarakat, mahasiswa bahkan para pakar masih beranggapan hal tersebut masih dapat ditolerir. Malah, saat satu-dua tahun belum mengalami perubahan yang signifikan pun mereka masih mewajarkannya. Adaptasi, demikianlah dalih mereka memberi jawaban.

Namun ketika euphoria reformasi mulai menggejala di hampir semua aspek, ditambah ketidak mampuan para pemimpin negeri memberikan solusi konkrit sampai satu dasawarsa, membuat kepercayaan menjadi barang yang langka di tengah kehidupan perpolitikan kita. “Bencana” ini tidak saja terjadi di Jakarta saja (baca: pusat), namun juga sudah menjalar ke berbagai daerah atau hampir ke seluruh daerah di Indonesia. Krisis kepercayaan masyarakat ibarat bola salju yang menggelinding dan semakin membesar. Hal ini dibuktikan dengan persentase keikutsertaan masyarakat dalam pesta demokrasi, baik Pemilu, Pilkada dan lainnya yang kian merosot.

Politisi Cacing

Masih ingatkah anda dengan Muhammad Yunus? Ia adalah seorang peraih nobel perdamian dari Bangladesh. Salah satu poin penting yang dimiliki dosen ekonomi ini adalah mau dan mampu menggerakkan perekonomian untuk kalangan bawah. Dengan bekal ilmu dan kemauannya itu, ia berdarah-darah memikirkan nasib para proletar di negaranya dengan cara diberikan kemudahan kepada si miskin (khususnya kaum perempuan) untuk “menikmati” hutang dengan bunga yang relatif kecil. Sebuah kebijakan langka yang ada di banyak negara ketiga. Juga merupakan sebuah amal yang sungguh sangat jarang ditemukan pada jaman sekarang.

Kenapa ia begitu berani mengambil resiko untuk melakukan hal tersebut? Karena ia mengaplikasikan moto hidupnya “Saya meninggalkan pola pikir burung yang memungkinkan kita melihat segala-galanya dari atas langit. Saya mulai melakukan pandangan seekor cacing yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depan mata saya, mencium baunya, menyentuhnya dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan”.

Selama ini para politisi kita masih mengadopsi pola pikir burung, dimana para anggota dewan yang terhormat dan para eksekutif seringkali memberikan solusi yang tidak membumi. Solusi permasalahan pendidikan, sosial, infrastruktur dan lainnya didapat hanya dengan melalui hearing, reses dan (musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) tok, bahkan ada juga melalui bisikan-bisikan “halus” dari pemilik tangan tak bertuan (invisible hand).

Sebagai pejabat publik sudah seharusnya untuk senantiasa bergumul dengan grass root (akar rumput) supaya dapat mencium dan merasakan penderitaan warganya, sehingga mampu memberikan kebijakan yang pas dan simultan.

Filosofi cacing memang sangat ampuh diterapkan untuk siapa saja. Termasuk juga digunakan untuk melancarkan bisnis narkoba. Diceritakan oleh Bill Beausay-seorang penulis buku mengenai kehidupan remaja- bahwa suatu ketika seorang Pastor terheran-heran bagaimana para jemaatnya, baik yang anak-anak, dewasa dan orang tua terjerat dalam narkoba. Akhirnya karena sudah mentok, ia mengambil langkah radikal untuk menangani masalahnya dengan mendatangi langsung bandar narkoba dan “berguru” kepadanya.

Sang pastor bertanya kepada pengedar, “Bagaimana kiatnya supaya dapat sukses mendekati dan mempengaruhi remaja untuk menjadi pecandu narkoba?”. Dengan enteng si pengedar menjawab “I’m there, you’re not. When these kids go to the school in the morning. I’m there, you’re not. When they come home in the afternoon. I’m there you’re not. When they go to get a loaf of bread for their mom in the afternoon. I’m there you’re not. When they need someone to feel and tough and protected around. I’m there you’re not,. I win you lose. (Saya disana mendampingi mereka, engkau tidak, ketika mereka berangkat sekolah di pagi hari. Saya disana, engkau tidak, saat mereka pulang sekolah di sore hari. Saya disana, engkau tidak ketika mereka ke warung membeli roti untuk ibunya. Saya disana, engkau tidak, saat mereka membutuhkan seseorang untuk merasa kuat, berani dan terlindungi. Saya menang, engkau kalah).

Lantas, bagaimana jika mulai saat ini politisi mengatakan, “Saya ada bersama rakyat tanpa harus menunggu reses. Saya ada bersama rakyat setiap saat. Saya ada bersama rakyat dalam kebijakan. Saya ada bersama rakyat ... Subhanallah, jika sudah seperti itu saya ikhlas mendo’akan “Majulah para pejuang rakyat”. Wallahua’lam.

Selengkapnya...

Harga Kedelai Tak Merakyat Lagi

“Mas, harga tempe-tahu di pasar sudah naik, sekarang Rp. 1000,- cuma dapat dua tahu”. Itulah sekelumit curahan hati istri saya saat menemani makan malam. Cerita khas kaum ibu itu menjadi pelengkap menu makanan favorit kami, Sup Ayam plus tahu pake kecap tentunya.

Padahal, kemarin belum terjawab keluhan istri yang bercerita tentang harga beras yang terus naik tidak mau turun. Belum lagi bawang merah, minyak goreng, gas dan susu bayi untuk si kecil Nazla yang harganya melejit tak terkira. Selain itu tagihan ATB (sejenis PDAM – karena di Batam sudah diswastanisasikan dengan nama ATB) yang fantastis menguras perekonomian kami. Sekarang muncul topik hangat seputar harga kedelai yang menjadi “head line” di gubuk kami.

Sejenak teringat belasan tahun lalu, bagaimana hidup di kampung halaman (Brebes dan tentunya juga ditempat lain) begitu terasa “nyaman”. Harga sembako terkendali, kurs dollar terpatri yang membuat harapan dan optimisme hidup masyarakat tinggi.

Apalagi, konon kata orang, 1984 predikat negara swa sembada beras dilekatkan kepada negeri kita, padahal pada 1960-an Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia. Kita harus akui, itulah salah satu catatan terang rezim Soeharto diantara 1001 catatan gelap yang diwariskannya. Sekali lagi itulah salah satu catatan terang rezim Soeharto diantara 1001 catatan gelap yang diwariskannya.

Namun kenapa di era reformasi yang katanya memunculkan recovery di tahun 2000 (sampai sekarang) justru Indonesia “kumat” dengan hobi mengimpor beras kembali? Karena tengkuk-tengkuk para pemimpin kita sudah dicekik oleh permainan IMF adalah bagian dari jawabannya. Tentunya juga karena watak bangsa dan apa saja terserah anda untuk menambahinya

Tahukah anda, salah satu kompensasi IMF adalah meminimalisir kewenangan negara untuk mengelola bulog sebagai lumbung kesejahteraan pangan Indonesia. Sehingga tidak aneh jika sampai saat ini, kita santer mendengar kelangkaan beras, gandum, CPO, kedelai dan lainnya. Untuk itu stop hutang (dengan IMF atau semodelnya). Wallahua’lam.

Selengkapnya...