Jumat, 29 Februari 2008

Berdiri Dimana Ilmu Kita?

Membaca buku salah satu refleksi arkan al ‘asyarah “Untukmu Kader Dakwah” karangan Ustadz Rahmat Abdullah dalam bab Al Fahmu, jawaban itu sedikit demi sedikit mulai terkuak. Buku yang sudah lama saya miliki ini memang luar biasa. Entah kenapa saya tidak pernah bosan untuk membaca dan mengulangnya. Mungkin isinya, mungkin gaya bahasanya atau mungkin penulisnya yang menggunakan pena mata hati? Jawabnya mungkin bisa semuanya.

Jawaban diatas adalah tentang pertanyaan apa kerja orang-orang terpelajar sehingga Indonesi terus begini? Kita tahu sudah ada puluhan juta sarjana dicetak di negeri ini. Pemegang gelar Master dan Philosophy of Doctoral di belakang nama-nama mereka jumlahnya sudah jutaan.

Akibat ilmu sekedar untuk kesombongan adalah salah satu penyebabnya. Di sana diceritakan bagaimana Bal’am begitu sombong dengan keilmuannya. Kedua, musuh ilmu (biasanya) adalah kekuasaan. Sebagaimana Bal’am yang akhirnya mencla-mencle atas pengaruh kekuasaan. Ketiga, ilmu sekedar dijadikan flash disk atau museum yang sifatnya hanya mampu menyimpan.

Inilah yang digugat oleh Muhammad Yunus, seorang dosen ekonomi Universitas Chittagong. Seorang penerima hadiah nobel perdamaian 2006 yang muak dengan ilmu-ilmu yang dipelajari dan diajarkan karena dinilainya tidak membumi. Dengan bendera Grameen Bank ia melakukan hal yang “kontroversial”, yakni bergumul dan berguru kepada orang miskin kemudian memberikan kepercayaan yang luar biasa kepada mereka untuk diberi kredit mikro. Salah satu kepercayaan yang jarang terjadi bahkan sampai kini di bumi Indonesia yang katanya memegang sistem ekonomi kerakyatan.

Sehingga dalam bukunya dengan tulus ia berbagi kepada kita “Apa hebatnya teori-teori rumit itu manakala orang-orang tengah sekarat kelaparan di trotoar dan emperan seberang ruang kuliah tempat saya mengajar? Kuliah-kuliah saya menjadi seperti film-film Amerika di mana orang baik selalu menang. Tetapi begitu saya keluar dari kenyamanan ruang kelas, saya dihadapkan pada realitas yang berlangsung di jalanan kota. Di sini orang-orang baik dihajar dan terhempas tanpa ampun. Kehidupan sehari-hari semakin memburuk dan yang miskin jadi bertambah miskin” (Muhammad Yunus: Bank Kaum Miskin: 3: 2007)

Apa kabar ilmu kita, apakah kapasitasnya baru sebatas untuk kesombongan, atau mungkin intelektualitas kita takluk oleh pengaruh kekuasaan atau hanya sekedar museum? Semoga tidak. Wallahua'lam

Selengkapnya...

Kamis, 28 Februari 2008

Berubahlah Paradigma

Politik memang bikin gregetan. Berita kemarin yang muncul adalah beberapa partai yang tergerus aturan electoral threshold (ET) tiga persen dan partai baru tergopoh-gopoh mendaftarkan diri ke Depkumham, eh nyatanya semalam mereka (yang sudah punya wakil di DPR) beruntung karena masih bisa ikut tanpa mengikuti verifikasi.

Lobi pembahasan RUU Politik partai antara fraksi-fraksi DPR dan pemerintah memutuskan partai yang gagal mencapai electoral threshold (ET) tiga persen, tapi punya wakil di DPR tak perlu merombak diri agar bisa ikut verifikasi pemilu 2009. Karena itu praktis sembilan parpol mendapat freepass.

Logikanya, dengan kekuatan apa mereka bisa menjungkir balikan keadaan? Kursi mereka minim, pemilih tidak loyal ditambah kualitas SDM yang segitu-segitu aja. Dana juga tidak besar-besar amat. Lantas, kartu truf apa yang mereka pegang? Signal di atas menandakan pertarungan di senayan memang dahsyat.

Diperparah sebagian besar politisi berfilosofi burung. Mereka cuek melihat permasalahan masyarakat karena melihat dari jarak yang jauh. Mereka mau turun jika ada makanan berupa reses, musrenbang dan lainnya. Itu pertanda bahwa kita (masyarakat) tidak boleh apatis dengan politik dan aktivitasnya. Itu adalah sebuah tanda jika kita harus mencetak orang baik dan capable di parlemen

Jejak-jejak perpolitikan Indonesia meninggalkan dua lembaran yang kontradiktif dan vis a vis, yakni kebaikan dan keburukan. Namun karena masyarakat gampang tergoda rayuan (baca: pragmatis) dalam menentukan pilihan politiknya, pemandangan politik yang sering ditunjukan adalah catatan buram.

Akibat persoalan pragmatis di atas, itulah yang memiliki andil yang besar dalam men-setting prilaku politik di negeri ini. Paradigma masyarakat dalam menterjemahkan makna politik (baca: pemilu) hanyalah salah satu ajang bagi-bagi duit, bahkan sekedar bagi-bagi kaos (tipis lagi!)

mumpung pemilu masih setahun lagi, belajarlah menjadi pemilih yang cerdas karena kenyataannya hanya dengan cara ini perubahan dapat berlangsung secara konstitusional di negeri ini. Jangan apatis, harapan masih ada. Wallahua’lam

Selengkapnya...

Selasa, 26 Februari 2008

Ngeri!

Masyarakat Indonesia hampir saja mati rasa. Tiap hari selalu diberitakan tentang kekerasan. Di televisi, media massa sampai dunia maya. Parahnya kekerasan menyerang tanpa memandang ‘segmentasi pasar’. Pemimpin, rakyat, orang tua, mahasiswa, pelajar sampai anak-anak. Pertunjukan yang tidak terbatas membuat kekerasan menjadi produk yang dipakai secara kolektif.

Ada apa dengan negeri ini? Padahal dahulu Indonesia dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah, senang menolong, sabar,, nrimo dan pemaaf. Intinya ruh masyarakat kita adalah anti kekerasan. Namun kesantunan itu lenyap dalam sekejap. Kekerasan menjadi alat ampuh untuk menyelesaikan permasalahan. Kekerasan telah menjadi dunia yang biasa di tengah-tengah kehidupan kita.

Percaya atau tidak sebenarnya budaya kekerasan sudah menjelma sekian lama. Pra kemerdekaan penjajah Belanda, Jepang dan lainnya telah melakukan acting bagaimana kekerasan dipraktekan. Ada adu domba sampai kerja paksa. (Mungkin) inilah awal goresan kelam kekerasan terstruktur di Indonesia.

Era Orde Lama, Soekarno mempunyai ‘hobi’ memenjarakan musuh politik. Sikap ‘sok nasionalis’-nya kadang membuat blunder. HAMKA dipenjara dengan alasan mau menjual negara (namun) tak pernah terbukti. Apalagi orde baru. Zaman ini adalah kekerasan memiliki tempat tersendiri karena mampu dikendalikan dengan ‘cerdas’ oleh sang diktator sejati.

Wilayah agama diwakilkan oleh tragedi berdarah Tanjung Priok. Solusi pemberontakan dengan cara membentuk Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, ‘almarhum’ Timor Timur dan lainnya. Belum lagi ada penembak misterius (Petrus) yang bergentayangang di tiap-tiap daerah, tak terkecuali di desa terpencil.

Imbasnya, setelah kekerasan terstruktur telah sukses tertransfer pada “mata kuliah” kekerasan kepada masyarakat. kini sudah siap untuk dipraktekan. Ibarat bola salju, kekerasan ini sudah menumpuk menjadi besar dan akan senantiasa menggelinding membesar dan terus membesar menebarkan ancaman yang dahsyat.

Ibarat bom waktu, dipancing permasalahan ekonomi, sosial, HAM dan sebagainya bom itu sudah masanya untuk diledakan. Sehingga sekarang kita tidak asing mendengar suami asal main tampar, tendang dan bunuh. Masyarakat suka main bakar angkutan kota karena supir lalai atau para penumpang dikecewakan. Rumah di bakar (padahal) baru terindikasi adanya praktek amoral. Ih Ngeri!.

Kemana hilangnya kesantunan, keramahan, klarifikasi (tabayyun) dan musyawarah? Yang pasti ini adalah kesalahan jama’ah. Kesalahan kolektif. Kesalahan pemimpin. Kesalahan rakyat. Kesalahan kita bersama. Wallahua’lam

Selengkapnya...

Kamis, 21 Februari 2008

Cemburu

Cemburu ternyata bukan saja milik orang yang lagi love kedhebug (jatuh cinta). Bukan pula monopoli sepasang suami-istri. Cemburu adalah bahasa universal. Bahasa kita. Tentunya juga bahasa anak-anak, seperti Nazla anak saya dan juga anak-anak se dunia.

Nikmatnya memiliki dua anak yang masih kecil adalah (diantaranya) ketika akan pergi harus memilih siapa yang akan diajak. Sistem undian yang digunakan Rosulullah sepertinya kurang matching apabila diterapkan. Hal ini mengingat Aghniya Salsabila masih terlalu kecil untuk ditinggal. Jadinya Nazla deh yang jadi “korban”.

Seperti siang itu, saya, istri dan Aghniya pergi menghadiri undangan pernikahan (walimatul ‘ursy). Kebetulan saat mau pergi Nazla sudah bobok manis di ayunan berwarna pink kesayangannya. Andai bangun pun sepertinya Nazla tidak diajak juga (tega amat). Maklum baru punya sepeda motor. Apalagi tempat yang akan dituju terbilang jauh, panas dan berdebu pula. Seperti biasa kami titipkan Nazla kepada penjaga.

Namun pas pulang, tumben Nazla langsung nangis sejadi-jadinya. Penjaganya pun kewalahan, katanya dari bangun bobok nangis terus. Nazla hanya ingin di gendong Uminya seperti adiknya. Nazla cemburu. Saya coba gendong dan kasih sesuatu, tetap gak mau.

Maafkan Abi Nazla …. Maafkan Umi juga, tidak ada maksud untuk berlaku diskriminasi terhadap dirimu. Terlalu berbahaya anakku jika harus dipaksakan ikut semuanya. Doakan Abi dan Umi agar punya mobil sayang (he .. he ..he). agar dapat mengajak semuanya pergi kemana saja, tanpa harus ada yang ditinggal. Insya Allah.

Selengkapnya...

Rabu, 20 Februari 2008

Hutanku Memang Gak Perawan

Lihat Dari Pesawat
Mana Solusi Indonesia

Imajiku Hutan Rimba
Yang
Ada Botak Dan Tandus

Lagu Slank di atas sungguh terbalik dengan pengalaman saya ketika hampir tiba di Batam. Dulu, ketika pesawat belum sempat landing saya menyaksikan Batam begitu hijau. Saat itu di dalam pesawat saya bergumam, ini Batam apa bukan? Jangan-jangan tuh pilot salah tujuan. Saat itu terlihat jelas hutan belantara masih mengelilingi kota beratus-ratus pulau ini.

Sekarang juga sama, tapi telah berganti menjadi hutan ruko. Tidak perlu melihat dari pesawat, dengan kasat mata semua dapat menyaksikan bagaimana pemandangan itu terjadi dari sisi luarnya. Sisi dalamnya pun tak kalah parahnya. Pembakaran dan pembalakan liar tentunya.

Atas nama kemajuan hutan dihabisi. Ribuan ruko, perkantoran, perumahan dan mall-mall yang seabrek jumlahnya telah sukses mengusir ribuan satwa yang tak berdosa. Akibatnya, banjir, banjir dan banjir adalah momok menakutkan yang diidap orang Batam. Ibarat HIV Aids, “penyakit” banjir di Batam juga sampai saat ini belum ditemukan obatnya.

Diperparah pembangunan yang “memperkosa” Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Untuk pembangunan fasilitas umumnya terlihat tidak terencana dan asal jalan. Bongkar-pasang ...., pasang-bongkar ...., bongkar-pasang ....Batam ....Batam. Ssst ...., biar gitu saya sudah punya KTP Batam lho. Sudah pernah diganti lagi.

QS: Ar-Rum: 41

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”

Selengkapnya...

Selasa, 19 Februari 2008

Atas Nama Cinta Karatan

Ada yang menggelikan ketika membaca berita di sebuah harian lokal Tribun Batam kemarin. Yang bikin geli bukan judulnya. Bukan pula penulisan beritanya, tapi pengakuan si tersangka, Mardi Hartono (MH) yang menghamili pacarnya (Kr) padahal sudah memiliki istri dan sedang mengandung pula.

Kepada pihak Poltabes Barelang, MH bercerita bahwa hubungan cintanya sudah berjalan empat bulan. Apa motif MH menghamili Kr? Inilah yang membuat geli, “Karena terlanjur menyukai dan mencintai pacarnya tersebut”. Aneh kan?, cinta kok menghamili dan tak bertanggung jawab pula. Begitukah definisi cinta zaman sekarang?

Dulu, ketika masih mahasiswa saya sering diberondong pertanyaan oleh teman-teman kampus yang cewek tentunya. Sekarang, setelah sudah menikah pernah beberapa ibu-ibu bertanya dengan kesimpulan yang sama, “Laki-laki adalah buaya darat”. Saya menangkap pertanyaan tersebut adalah ekspresi kekecewaan yang berlebihan. Biasalah wanita.

Mendapat pertanyaan di atas, saya sangat mudah menjawabnya. Pertama, tidak semua laki-laki itu buaya. Buktinya, Rosulullah. Walaupun menikah lebih dari satu kali namun tidak ada yang menyebutnya buaya (kecuali orang yang sirik). Para sahabatnya pun begitu. Yang agak kekinian, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari. Belum lagi HAMKA, M. Natsir, apakah ada yang menyebut mereka buaya?. Intinya, masih ada jutaan laki-laki yang dapat diandalkan. Bahkan sampai hari ini. Selektiflah wahai saudariku, jangan grusa-grusu.

Kedua, jika memang laki-laki (ada) yang buaya (Ya Allah, jauhkanlah kami dari lelaki model seperti ini), kenapa wanita justru tidak memasang kuda-kuda, tapi malah senang bila didekatinya?. Prediksi saya, dari sekian banyak tindakan pelecahan itu disebabkan karena wanita memasang “perangkap”. Baik sengaja maupun tidak, baik sadar ataupun nggak. Apa perangkapnya? Bisa tank top, terlalu kemayu dan seabrek lainnya.

Pernah saya katakan pada istri, “Mi, orang yang paling rugi dan patut disalahkan lebih besar dari implikasi pacaran, terus sampai terjadi kissing, petting dan ujung-ujungnya bunting adalah wanita. Karena laki-laki tipe buaya akan melakukan apa saja untuk merealisasikan tujuannya.

Sekarang, tinggal bagaimana wanita memiliki kekuatan daya tahannya. Seharusnya setiap wanita itu memiliki signal yang kuat terkait gerak-gerik mencurigakan, bukan malah menikmatinya. Tentu istri pun gak terima dengan “laporan akhir” saya. Adakah yang beda?

Selengkapnya...

Senin, 18 Februari 2008

Mbok Ojo Nganehi

Berpikir tak logis tur mengangkangi kehendak Allah ternyata masih menjadi hobi penduduk negeri ini. Alih-alih dari Jawa hijrah ke Batam untuk mendapatkan komunitas yang agak rasional, eh ternyata masih jauh api dari panggangnya. Gak beda alias sama saja!.

wong aneh (demikian sebutan saya untuk orang-orang yang tidak logis dan tanpa ada sandaran pengetahuan dan agama) ternyata tidak mutlak “hak” orang Jawa. Suku Minang, Batak dan mungkin juga se Nusantara juga gemar dengan hobi yang sudah diwariskan beranak-pinak ini.

Ini terjadi kemarin sore. Seorang ibu”berkebangsaan” Minang melintas dengan menggendong anaknya yang montok. Iseng-iseng kawan saya berkata “Wah gemuk sekali bu anaknya?” Praktis si ibu berhenti dan balik berkata “Jangan ngomong gemuk dong?”, “Harusnya ngomong apa bu?”, timpal saya ikut berdiskusi. “Pokoknya jangan ngomong gemuk aja deh”, tutup si ibu mantap.

Maksudnya jangan ngomong yang ‘baik’, tapi yang ‘jelek’ saja. Contoh anaknya gemuk katakan saja kurus sekali bu?. Hidungnya mancung katakan hidungnya pesek ya bu?. Pantaskan jika saya katakan wong aneh?

Suatu hari saya mampir ke tempat Nenek_sebutan mantan pengasuh Nazla. Karuan saja Nenek bertanya “Bi, Nazla bagaimana kabarnya?”. “Alhamdulillah nek, sehat, tambah gemuk dan masih putih”, jawab saya sambil bercanda.

“Hus, jangan ngomong gemuk dan putih, itu .... “ (saya lupa istilah Sumateranya). Istilah Brebesnya ora ilok, istilah Jakartanya pamali. Apa istilah di daerah anda? Apapun istilahnya, mari kita brantas bersama-sama (ih serem sangat?) Wallahua’lam

Selengkapnya...

Jumat, 15 Februari 2008

Nasionalisme Setengah Matang

Dua hari lalu saya membaca di beberapa media, bahwa hubungan Jepang – Amerika terancam goyah “hanya” lantaran terjadi skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh marinir AS Tyrone Hadnott, kepada gadis Jepang berusia 14 tahun.

Yang mengeluarkan ancaman itu pun bukan orang sembarangan, namun Perdana Menteri, Yasuo Fukuda yang menegaskan kalimatnya bahwa kejadian tersebut adalah hal yang tak dapat dimaafkan.

Tidak itu saja, reaksi kemarahan datang juga dari berbagai orang top pemerintahan negeri sakura itu. Sebut saja Ichiro Ozawa, pemimpin oposisi Partai Demokrat yang mengatakan “Insiden terkutuk seperti itu memiliki dampak emosional yang besar kepada masyarakat Okinawa”.

Menteri Luar Negeri Masahiko Komura pun tak kalah garang. Ia mengancam kasus tersebut akan menyulut perdebatan seputar eksistensi militer AS di Jepang. Kemudian Menteri pertahanan Ishiba yang sangat marah karena pelecehan seksual yang dilakukan tentara Amerika sering terjadi. "Terus terang saja, saya marah sekali. Saya akan mengambil tindakan tegas agar mereka jera", kecamnya. Masyarakatnya pun habis-habisan mengecam AS.

Bagaimana dengan di Indonesia. Wow jangankan “baru” pelecehan. Pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan dan segala yang ngeri-ngeri pun pemerintah kita masih tenang-tenang saja. Andai bersuara pun hanya sebatas suara sumbang. Ada apa nih dengan Indonesia kita?

Selengkapnya...

Kamis, 14 Februari 2008

Ingat, Hukum Rimba Masih Ada

Sekonyong-konyong sekitar pukul 10:00 dua ibu muda naik ke sekretariat partai dakwah dan langsung masuk ke ruangan saya yang kebetulan terbuka. Sebelumnya lamat-lamat saya mendengar suara salam di bawah. Kirain ada penjaga maka saya tetap asik melototi berita di internet.

“Maaf mas, saya penyapu jalanan yang bulan puasa kemarin dapat sembako dari sini, terus katanya (waktu itu) kalau kami punya masalah datang saja ke sini”, terang salah satu ibu asli Minang yang mengenalkan dirinya berinisial ES ini lugu. Saya langsung connect, memang Ramadhan lalu ada pembagian sembako untuk 300-an “pasukan orange” di Sekretariat PKS Batam.

Sebenarnya saya tidak punya otoritas untuk menyelesaikan masalah keluhan, namun berhubung sedang tidak ada orang, maka “setidaknya” saya tampung. Swear, saya pikir ES akan bicara masalah klasik berupa kekurangan uang. Namun nyatanya beda.

ES curhat tentang tanah yang dia miliki yang dijual secara paksa karena ulah salah seorang terpandang sekaligus terkaya plus seorang politisi di tempat dia tinggal berinisial MB. Kami pun mengenalnya.

ES memiliki sebidang tanah kavling yang dibeli Rp. 11 juta. Namun secara mengejutkan MB mendatangi suami ES sembari mengatakan Ibunya ES telah berhutang kepada dirinya sebanyak Rp. 7 juta dengan jaminan tanah ES jika tidak mampu melunasi. Karena bingung, takut dan lainnya suami ES pun menerimanya. (biasalah mental orang kita)

ES mengakui bahwa MB pernah terjadi transaksi hutang-piutang Rp. 7 juta, tapi bukan dengan ibunya. Hal ini dibuktikan dengan surat keterangan bermaterai dengan ditandatangani oleh terhutang berinisial EV dan beberapa saksi.

Saya pun tanya tentang bukti-bukti pembelian dan lainnya. Namun untuk sertifikat jelas tidak bisa menunjukan karena di Batam, tanah kavling adalah “kelas III” yang proses jual-belinya “tidak perlu” menyertakan itu.

Berhubung masuk dalam wilayah hukum, sayapun tidak bisa memberikan solusi saat itu juga. Saya katakan ke ES “Bu, saya punya kenalan pengacara dari Pusat Advokasi Hak Asasi Manusia (PAHAM) Cabang Batam. Kalau ibu sabar Insya Allah habis dzuhur saya kasih kabar”. “Tidak apa-apa mas, yang penting saya sudah sedikit lega karena sudah bisa cerita. Bagi saya tidak apalah tanah tidak kembali, asalkan saya dapatkan hak saya (Rp. 11 juta)”, tutupnya sembari pamitan.

Paska dzuhur saya menuju kantor PAHAM. Setelah saya ceritakan secukupnya, ringkas cerita gayung pun bersambut. PAHAM siap untuk mengawal proses hukumnya, namun syaratnya ES harus melengkapi beberapa bukti yang diminta, berupa kuitansi pembelian, denah tanah, kronologi kejadian dan lainnya. Bagi saya itu tidaklah terlalu sulit. Tak menunggu lama sayapun kasih info ke ES.

Namun siang tadi saya dapat SMS dari ES isinya: “Mas saya ES, saya belum mengerti tentang cerita tanah itu nulisnya dari mana?”. Refleks saya beristighfar, wow memang benar kata Rosulullah “Bilisaanin Qaulihim” (berbicaralah sesuai dengan kaumnya). Ternyata bagi ES penjelasan saya kurang dimengerti. Wah memang belum bakat jadi guru nih. Tak lama saya pun langsung telpon.

ES berjanji secepatnya akan melengkapi berkas-berkas yang diminta oleh PAHAM. Saya tidak bisa menjudge siapa yang salah atau yang benar karena dalam hukum ada prinsip presumption of innocent (azaz praduga tak bersalah). Cuma tindak kesewenang-wenangan si kaya dengan si miskin, si kuat dengan si lemah, si pejabat dan si rakyat memang masih saja santer terjadi di bumi yang (katanya) beragama ini. Sampai kapan hukum rimba raib dari bumi pertiwi Indonesia. Astaghfirullah.

Selengkapnya...

Rabu, 13 Februari 2008

Begitukah Seharusnya Berkasih Sayang?

Entah kenapa sampai saat ini Indonesia kita masih saja menjadi bangsa yang latah. Hobi meniru tanpa ada filter tangguh. Kepribadian bangsa tergadaikan tidak menjadi masalah, asalkan hidup bisa ala kebarat-baratan.

Rambut di cat pirang dan segala warna. Pergantian tahun dirayakan dengan menodai arti norma dan dogma. Menyambut ulang tahun pun tak kalah gila. Tindik tak cukup di telinga. Hidung dan bibir pun tak apa. “Luar biasa” memang Indonesia kita.

Under Ground, musik pemuja setan yang menjadi alternatif. “Give Me Power of Satanis”. Itulah kalimat perdana bagi grup black metal “sejati”. Ada lagi pake acara minum darah binatang dengan cara dipotes lehernya saat live on stage. Tidak pake pisau dan bismillah tentunya.

Belum lagi karena kemiskinan bangsa kita diobak-obak. Nasionalisme hanya terdengar ketika Reog Ponorogo dan tradisi nusantara lainnya direbut Malaysia. Habis itu tenggelam menikmati glamournya kehidupan danmengikuti life style play boy tenis nomor satu, Mark Anthony Philippousis’s atau Britney Spears. Sejarah hitam itu belum berhenti. Ada Helloween, April Mop. Sekarang Valentine Day.

Tak pelak. Cinta, bunga, coklat dan pink menjadi icon 14 Februari. Hari kasih sayang katanya. Mall, mini market latah menjajakan pernak-pernik khas ini. Targetnya pun menyeluruh. Dari ibu rumah tangga sampai wanita karier. Dari murid SD sampai mahasiswa. Wis pokoke komplit!.

Semangat valentine sekarang sudah mengarah ke perbuatan zina. Ada “kewajaran”, bahwa dengan valentine orang bebas berpegangan tangan, berpelukan, kissing, petting dan akhirnya melakukan hubungan layaknya suami istri. Diperparah dengan keluguan orang tua yang membolehkan anak keturanannya berbuat mesum dengan kedok hari kasih sayang.

Ya Allah anugerahilah bangsa ini jalan cinta sebagaimana Engkau telah anugerahkan kepada para Nabi. Cinta yang sesungguhnya. Bukan cinta yang tersekat diantara masa. Cinta dan sayang yang tidak ada jarak diantara penanggalan. Namun bagaikan cinta dan sayangnya Engkau yang telah memberikan kami kenikmatan.

Jalan Para Nabi Adalah Jalan Cinta

Kita Adalah Anak-Anak Cinta

Dan Cinta Adalah Ibu Kita

(Jalaluddin Rumi: The Way of Love)

Selengkapnya...

Mari Belajar dengan Mereka

Berhubung dari kemarin malam si kecil Nazla pilek, paska maghriban saya tidak bisa berlama-lama. Ba’da salam, tentunya setelah dzikir sebentar saya langsung cabut menuju toko obat. “Bu, beli obat pilek buat anak-anak yang dosisnya rendah”, begitu kata saya kepada pelayan sesuai pesan istri.

Sekedar info, persis sebelah kanan toko obat tersebut ada sebuah mini market yang sangat laris dan di depannya ada kedai kecil yang menjajakan martabak manis dan martabak telor kesukaan saya. Kedua tempat tersebut sudah menjadi langganan kami dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan juga memenuhi hasrat saya jika sudah “nyidam” makan martabak telor yang kalau tidak mampu di rem bisa tiap hari.

Ada pemandangan menarik. Di mini market tertulis, “Maaf, tutup sedang sholat”. Sedang di kedai martabak tak tampak barang seorang penjual pun. Iseng saya tanya ke pelayan obat kemana gerangan mereka. “Lagi pada sholat pak. Tiap hari memang begitu”, jawabnya. Subhanallah.

Swear, saya langsung teringat film Shirah Nabawiyah yang menggambarkan bagaimana mereka meninggalkan dagangannya ketika terdengar adzan sehingga membuat saudagar non muslim keheranan. Jika bumi Batam bagaikan Mekkah itu wajar. Tapi ini Batam bung! Subhanallah.

Apalagi tidak jauh dari tempat tersebut sudah dibuka mini market milik etnis tionghoa yang tentunya jika waktu sholat tiba tetap dibuka. Kedainya pun tanpa ada sedikitpun pengamanan. Hanya model kaki lima. Padahal Batam kategorinya kota kurang aman. Setidaknya telur, adonan, minyak dan lainnya rawan pencurian. Namun mereka terlihat nyaman.

Mungkin mereka sangat memahami hakekat ma’rifatullah (mengenal Allah) sehingga tercipta keamanan. “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah yang akan mendapat KEAMANAN dan mereka orang-orang yang mendapat PETUNJUK” (QS: Al An’am: 82)

Sudah seberapa seringnya kita menomor sekiankan Allah? Padahal nikmatnya tidak pernah terlupakan walau sedetik pun. Baik dalam keadaan sadar apalagi tak sadar. Siapapun mereka kita harus mampu mengambil pelajaran. Wallahua’lam

Selengkapnya...

Senin, 11 Februari 2008

Bagi Saya, Itu Kekeliruan!

Di sebuah tempat tak sengaja saya bertemu dengan salah seorang teman lama kakak saya. Setelah mengobrol ringan, seperti biasa, ia pun bertanya (tentunya) tentang kabar kakak saya. “Alhamdulillah sehat, cuma agak sakit lehernya karena terkilir saat main badminton”, jawab saya apa adanya.

“Lha Ustadz kok main badminton, ya begitulah”, tak lama keluar komentar perdananya. “Kalau Ustadz harusnya ngapain mas?”, kejar saya sekaligus tunggu jawaban. “Ustadz itu dirumah, kaji kitab, ngajar santri atau isi pengajian. Ustadz kok main main badminton”, ulangnya. Asli saya diam.

Bagi saya pemahaman di atas adalah salah kaprah bener ora lumrah. Bagaimana tidak,seandainya semua Ustadz hanya berkutat dengan kitab dan isi kajian, maka saya prediksikan energi mereka hanya mampu bertahan 5 – 10 tahun saja. Setelah itu? Mereka akan sakit-sakitan. Dan akhirnya ilmu mereka tak lagi mampu menyirami lahan da’wah yang tak mengenal jarak dan waktu. Bukankah Rosulullah menganjurkan umatnya untuk latihan memanah dan berenang?

Kekeliruan umum lainnya adalah seorang Ustadz haram memasuki wilayah politik. Walaupun toh ada beberapa Ulama yang menjauhkan diri dari kekuasaan, namun tindakannya tersebut tidak menyimpulkan semua Ulama yang terjun ke dunia politik adalah salah. Karena logikanya, seandainya tidak ada orang baik di parlemen, bukankah nanti kerusakannya tambah parah?

Yang terpenting adalah ketika main badminton harus bisa atur waktu. Mana waktu untuk pribadi, untuk keluarga dan untuk ummat. Jika sudah masanya sholat tiba juga harus menjadi teladan untuk mendirikan tiang agama tersebut. Pun juga dengan ulama yang terjun sebagai politikus. Mereka harus amanah dan bisa memberikan pencerahan akhlak kepada dirinya dan orang disekitarnya. Untuk itu mereka harus mempersiapkan kecakapan intelektual sehingga menjadi Ulama yang kredibel yang tahan godaan serta bisa memperbaiki keadaan.

Tapi memang itu butuh proses yang agak panjang. Semoga kita tetap mampu bersabar. Do’akan mereka untuk senantiasa istiqomah dalam lurus jalan-Nya. Semoga. Wallahua’lam

Selengkapnya...

Selasa, 05 Februari 2008

Secuil Cerita Aghniya Salsabila

Malam itu seperti biasa. Sebelum terlelap kami bercengkrama ringan sebagai pengantar tidur, namun saya dikagetkan suara istri, “Mas basah apa ini ya?”. Tak lama reflek istri saya berdiri dan tiba-tiba “Pyar, mas air ketubannya sudah pecah”. Panik kami semua.

Kami pergi ke Bidan dekat rumah. Mungkin karena panik tensi istri mendadak melonjak menjadi 140. “Jangan panik mbak dan kalau mau melahirkan di dokter (karena kebetulan istri minta melahirkan di dokter tempat Nazla lahir dulu) jangan sampai telat dari enam jam”, begitu nasehat Bidan.

Tanpa membuang waktu saya langsung keluar mencari taksi. Ringkas cerita sampai jualah di Batam Medical Centre (BMC), rumah bersalin pilihan istri. Namun “aneh” sampai di BMC istri saya belum juga merasakan mulas dan sakit layaknya orang mau melahirkan. Istri membayangkan bagaimana lebih sakitnya dirangsang. Asli kami tambah panik.

Saya mencoba untuk menenangkan. “Sabar, istighfar, berdo’a dan ini adalah perjuangan Mi”, begitu suntikan saya agar timbul optimis. Alhamdulillah selang tiga jam, kurang lebih pukul 01:00 istri mulai merasakan sakit. Jika sudah seperti itu, maka muka, tangan dan rambut saya menjadi “bulan-bulanan”. Alhamdulillah-nya lagi saya juga bisa sabar.

Walaupun belum pernah merasakan bagaimana dahsyatnya kontraksi, setidaknya saya bisa membayangkannya. Ini karena Allah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat menemani saat-saat yang mendebarkan sekaligus menyenangkan. Taruhannya pun tidak tanggung-tanggung. Nyawa!.

Tepat pukul 2:55 istri masuk ke “ruang operasi”. Sakit dan sakit adalah ritme yang senantiasa disenandungkan istri saya. Bagi saya remasan ke muka, ke tangan dan jambakan ke rambut saya tidaklah mengapa. Namun ketika istri mengatakan “Mas, sudah tidak kuat” adalah kata yang paling saya takutkan.

Akhirnya segala puji bagi Allah, pukul 4:25 lahirlah putri kedua kami dengan selamat dan normal pula. Berat 3 Kg dan Tinggi 47 CM. Sekali lagi Alhamdulillah. Aghniya Salsabila adalah nama anak ini. Swear sebelumnya saya ingin nama “Ghina”, namun istri protes kuatir diplesetkan menjadi “Hina”, maka jalan tengahnya adalah “Aghniya”. Arti bebas Aghniya Salsabila adalah “Orang kaya (apa saja: harta, ilmu, sabar dll) yang kekayaannya seperti air mata surga yang senantiasa mengaliri untuk orang lain”Aamin.

Selengkapnya...

Sabtu, 02 Februari 2008

Penyelewengan Kita

Ada beberapa kalimat nyunah yang populer di kalangan umat Islam pada umumnya. Ada salam khas umat Muhammad, “Assalamu'alaikum …” . Setelah itu ada ungkapan kesyukuran Alhamdulillah. Dan yang ini tak kalah populer dari pendahulunya, apa lagi kalau bukan Insya Allah.

Bagi umat Islam Indonesia khususnya, kalimat yang diucapkan saat seseorang ingin melakukan janji ini begitu mempesona bak bunga. Saking indahnya membuat siapapun berkeinginan menjamah bahkan memetiknya. Seperti biasa, ada yang mampu merawatnya, namun tak sedikit yang mencampakannya.

Menurut wikipedia.org Insya Allah adalah ucapan seseorang yang menyertai pernyataan akan berbuat sesuatu pada masa yang akan datang. Dengan mengucapkan perkataan ini seorang muslim telah berjanji untuk melakukan perbuatan tersebut kecuali tidak memungkinkan pada saat akan dilakukan.

Bahasa mudahnya adalah ketika kalimat Insya Allah sudah diucapkan oleh seorang muslim/ah, maka janji yang disepakati itu 99,99% pasti jadi. Yang 0,01% adalah faktor X yang merupakan kehendak lain dari Allah. Nilai filosofisnya (diantaranya) menunjukan bahwa manusia itu lemah karena dapat terkalahkan oleh 0,01%.

Namun realitanya, kalimat tersebut sudah terdistorsi oleh kita, umat muslim sendiri. Sehingga kalimat tersebut mengalami penyelewengan makna. Yang dipahami sekarang Insya Allah tak ubahnya kalimat keragu-raguan, atau bahkan ketidak sanggupan memenuhi janji. Inilah bukti penyelewengan kita!.

“Jangan Insya Allah dong”, itu adalah pernyataan yang sering kita dengar ketika seseorang ngebet ingin sesuatu. Padahal penggunaan kalimat tersebut datangnya tidak ujug-ujug, namun menggunakan wahyu yang disampaikan oleh dzat yang maha benar. Astaghfirullah, lagi-lagi kita berbuat dosa.

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu ’sesungguhnya aku akan mengerjakan esok,’ kecuali (dengan mengucapkan) Insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah ‘mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.'’ (QS Al-Kahfi: 23-24) Wallahua’lam.

Selengkapnya...