Selasa, 22 April 2008

Petani Dan Ketahanan Pangan

Sepulang dari acara penanaman 1000 pohon yang diadakan PKS dalam rangka Milad ke-10 bersama warga Perumahan Marchelia Batam Centre, pada Ahad (20/1) lalu, tidak biasanya saya ada di depan televisi. Siang itu menjelang sholat dzuhur channel saya parkir di stasiun televisi tertua di Indonesia, siapa lagi kalau bukan TVRI.

Televisi yang dulu berslogan “Menjalin Persatuan Dan Kesatuan” itu mengangkat tema diskusi “Petani dan Ketahanan Pangan”. Sebagai narasumber, hadir saat itu, mantan Cawapres yang sekaligus penasehat HKTI, Siswono Yudho Husodo dan seorang dalang dari Jabar, Kang Ikin.

Yang menarik, ketika masuk dalam kenaikan harga beli gabah dan beras petani, kedua narasumber pendapatnya saling berlawanan. Siswono menganggap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah langkah terbaik, namun persepsi Kang Ikin hal itu justru akan sangat mengganggu masyarakat yang berada di garis kemiskinan untuk mendapatkan beras.

Sekedar informasi, pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah terhadap beras dan gabah petani. Ketentuan ini tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan, yang menggantikan aturan sebelumnya.

Harga pembelian beras petani naik menjadi Rp 4.000 per kilogram dari sebelumnya Rp 3.550 per kilogram. Adapun harga pembelian gabah kering giling naik menjadi Rp 2.000 per kilogram dari semula Rp 1.730 per kilogram. (Tempo Interaktif)

Sebagai anak petani, kabar tersebut tentu sangat menggembirakan, karena yang kita ketahui bersama, saat ini harga-harga alat pertanian dan penunjang lainnya, seperti pupuk dan lainnya semakin melangit saja harganya. Yang lebih dikwatirkan adalah para petani nanti bakal mengadakan mogok tanam, jika harga beli pemerintah senantiasa di bawah modal. Dampaknya akan lebih parah, baik secara ekonomi maupun sosial.

Lantas, bagaimana solusi yang dikelauhkan oleh Kang Ikin adalah dengan memberikan beras bersubsidi (raskin-red) yang tepat sasaran. Ingat T E P A T S A S A R A N.

Menteri Perdagangan, Marie Elka Pengestu mewacanakan surplus beras Indonesia saat ini di ekspor saja adalah ide ngawur yang grusa-grusu. Saya sependapat dengan Menteri Pertanian, Anton Apriantono dan juga Siswono yang memberi solusi untuk tidak di ekspor, namun di beli oleh bulog agar suatu ketika paceklik, masyarakat tidak terlalu kelaparan karena harga berasnya mahal karena bulognya hobi mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam. Semoga ketua Bulog sekarang tidak seperti itu. Jangan tiru pendahulunya yang meringkuk di penjara karena kasus korupsi. Wallahua’lam.

Selengkapnya...

Jumat, 18 April 2008

Bersinergi Menyulam Bahtera

Masih segar dalam ingatan, bagaimana awal mula proses pernikahan kami. “Hanya” berbekal dengan selembar biodata, akhirnya Allah mempertemukan dua hati yang saling berserakan. Pernikahannya pun dilangsungkan sesederhana prosesnya. Tidak ada iringan band atau organ tunggal. Tidak ada siraman, memecah telur dan seabrek tetek bengek yang melelahkan.

Sekali lagi, yang ada adalah kesederhanaan. Pernikahan pun dilakukan bukan di hotel, namun di salah satu Masjid yang ada di kawasan industri Batamindo. Masjid Nurul Iman namanya. Undangan pun tidak ribuan, cuma seratusan. Namun yang hadir Insya Allah orang-orang yang sholeh dari kalangan bawah dan atas. Dari yang belum kerja, habis kena PHK sampai aleg DPRD dan Wawako, Ria Saptarika.

Tak terasa, usia pernikahan kami saat ini sudah melewati tahun kedua. Tepatnya dari 10 April 2006 – 10 April 2008. Apakah mungkin karena diisi oleh kenikmatan-kenikmatan? Semoga saja begitu.

Nazla Rizka Ahsani dan Aghniya Salsabila adalah bukti kekayaan terbesar kami. Hadirnya dua bidadari itu membuat kami semakin tahu akan arti kehidupan. Membuat kami semakin malu pada orang tua, bagaimana mereka dahulu mendidik kami. Terutama saya pribadi.

mencoba membayangkan, mungkin saya lebih nakal dari anak-anak kami, karena saya adalah laki-laki.Apalagi di zaman saya kecil belum ada pempers. Untuk mandi, mencuci dan sesuatu pekerjaan yang menggunakan air, harus nimba di sumur terlebih dahulu. Ditambah, saya adalah keluarga dengan tujuh saudara yang jarak umurnya relatif dekat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika tiga anak saja diantara kami nangis secara bersamaan. Subhanallah. Terimakasih Bapak, terimakasih Ibu.

Alhamdulillah dalam mengarungi bahtera dua tahun, tidak ditemukan adanya piring terbang akibat kemarahan tak terkendali. Tidak ada kata-kata kasar yang keluar dari mulut yang telah menelan prilaku setan. Tidak ada istilah ringan tangan buat nabok orang.

Namun bukan berarti keluarga kami luput dari permasalahan. Keluarga sekelas Rasulullah pun pernah dirundung problema, apalagi kami?. Permasalahan tetap ada, namun alhamdulillah justru membuat kami semakin dewasa dalam bersikap. Justru menambah kecintaan dan kemesraan. Jazakillah my beloved wife.

Do’akan kami agar mampu terus menyulam kebaikan. Karena efek kemanfaatan akan dapat dirasakan lebih besar apabila di komunitas terkecilnya (keluarga) mampu menghadirkan kehangatan, kelembutan dan jutaan kenikmatan yang Allah suguhkan setiap saat. Insya Allah. Wallahua’lam.

Selengkapnya...

Selasa, 01 April 2008

Konversi MT Ke G, Bener Tuh?

Untuk membuka postingan di bulan April, saya sengaja tidak mengupas tentang April Mop, karena selain tidak islami tur tidak membumi. Juga sebagian pengunjung blog ini sudah terlalu cerdas untuk memahami sesuatu yang berkaitan dengan budaya yang gak jelas itu.

Postingan kali ini tentang konversi minyak tanah ke gas yang masih saja menuai kontroversi. Saya adalah bagian warga negara yang tidak setuju apabila program di atas dipercepat implementasinya dari 6 tahun menjadi 4 tahun saja. Sehingga secara otomatis, tahun 2011 nanti seluruh rumah tangga sudah melakukan penggantian bahan bakar (fuel switching) terutama dari minyak tanah ke gas elpiji.

Ketidak setujuan saya terhadapa transisi energi ini pun tidak datang begitu saja, namun berdasarkan realita masyarakat (terutama) perekonomiannya semakin “senin-kamis”. Untuk menyelami lebih dalam, saya punya cerita nyata.

Persis Senin menjelang maghrib kemarin (31/3), istri saya cerita kalau gas habis. Ba’da isya saya memesan gas via handphone. Seperti biasa harga (alhamdulillah) belum naik, masih Rp. 75.000;- (NB: bukan Pertamina). Namun ketika selang dimasukan ternyata kepala selang ada masalah. Dan sampai pagi kami tidak bisa menghidupkan kompor.

Karena agar dapur benar-benar bisa ngebul, paginya (hari ini) setelah antar istri kerja, saya langsung beli kepala selang. Saya terkaget-kaget ternyata untuk sebuah kepala selang harganya sampai Rp. 50.000;-. Memang ada sih yang lebih murah, tapi kualitasnya tanda tanya.

Saya langsung connect, bagaimana jika konversi minyak ke gas benar-benar diwujudkan secara nasional- sekedar informasi aksi bagi-bagi tabung gas belum menular ke Batam- Saya khawatir justru sebagian besar masyarakat akan menderita penyakit busung lapar karena tidak kuat membeli gas. Bayangkan saja, untuk kepala selangnya saja 50 ribu!. Saya juga khawatir jangan-jangan tabung gas yang sudah dibagi-bagikan pemerintah kelak masyarakat akan beramai-ramai menjual kompor dan tabung gas yang telah dibagi untuk membeli makanan.

Pemerintah memiliki argumen yang mendukung program konversi ke elpiji. Bagi pemerinyah, langkah ini dapat menghemat subsidi bahan bakar minyak senilai Rp. 22 triliun per tahun, perusahaan lama dan baru (terkait elpiji) akan berkembang, sedangkan tiap kepala keluarga bisa menghemat belanja senilai Rp20.000 hingga Rp25.000 per bulan (Antara).

Tetapi logika penghematan ini agak sulit dipahami. Kenyataannya masyarakat masih rela antri berjam-jam “hanya” untuk mendapatkan lima liter. Bagi mereka kenaikan harga minyak tanah dari waktu ke waktu (walaupun masih disubsidi) sangat memberatkan mereka. Apalagi jika harus dipunahkan subsidinya? Ringkasnya, masyarakat sangat sensitif terhadap harga sebab penghasilan mereka seringkali tak menentu. Wallahua’lam

Selengkapnya...