Rabu, 13 Agustus 2008

Kisah Pencuri Telur & Koruptor

Seperti biasa, sembari menunggu istri melakukan aksi belanja di Pasar Pancur, sebuah pasar tradisional yang ada di wilayah Sei Beduk, Batam, saya lebih memilih jalan-jalan mengelilingi pasar bareng Nazla atau menunggu (lebih tepatnya menjaga) putri sulung kami bermain dengan kucing pasar yang bersih dan lucu.

Hari itu tidak seperti biasa. Hampir setengah jam berlalu, Ummu Bila belum juga nongol dan mengajak kami untuk segera pulang. Tanpa musyawarah, saya langsung menggendong Nazla masuk ke pasar. Alangkah terkejutnya, karena saat itu suasana di dalam pasar sedang “panas” dan chaos.

Tak jauh dari tempat langganan istri saya membeli kebutuhan harian, ada seorang yang dihardik secara masal. Alhamdulillah tidak terjadi penghakiman massa. Usut punya usut ternyata orang tersebut membawa tujuh buah telur tanpa bayar alias mencuri. Gara-gara 5 butir telur ayam, dan 2 butir telur bebek itulah yang membuat dia harus mengenang kisah pahitnya seumur hidup.

“Kasihan ya Mi, gara-gara 7 telur malu seumur hidup. Emang berapa sih harga semuanya?” Tanya saya ke istri. “Di pasar sering terjadi (pencurian) kok mas, modusnya juga bermacam-macam. Sepertinya bukan karena gak punya duit lho mas, buktinya tadi ketika dikejar dan dihardik rame-rame juga bayar”, terang istri panjang lebar.

“Baik sangka dong Mi, mungkin ibu tadi benar-benar lupa, atau memang karena terpaksa mencuri. Mungkin duit yang tadi buat bayar sebenarnya buat beli beras atau lainnya”, mendadak naluri social saya muncul

Saya yakin ada ribuan kasus yang sama di pasar-pasar di seluruh Indonesia. Ambilah pelajaran dari kisah di atas. Jangan sampai rumah kita tiap hari membuang makanan, sementara tetangga kita kelaparan, sehingga membuat mereka nekad untuk mencuri demi mengganjal perut yang memang tak mau diajak kompromi.

Teng, saya langsung teringat statement Hidayat Nur Wahid yang setuju para koruptor untuk di dor mati saja kalau nominalnya keterlaluan, atau minimal diberi seragam yang khas pencuri uang rakyat dan diberi fasilitas yang pas-pasan ketika sudah di penjara sebagaimana usul ICW.

Jadilah hamba-hamba yang bersyukur. Semoga kita dapat mengambil ibrah.

Selengkapnya...

Sabtu, 09 Agustus 2008

Politisi Atau Bajing Loncat?

Tidak dipungkiri memang masih banyak para pelaku politik di negeri ini yang mengadopsi gaya bajing loncat dalam mencari makan. Karena syahwat kekuasaannya tinggi, kadang hanya karena soal sepele, mereka rela pecah kongsi dan membentuk partai baru

Hari ini banyak dijumpai sebagian besar partai memiliki “saudara kembar”. PDIP VS PDP (termasuk juga banyak partai yang mengusung symbol Soekarno) , Golkar VS Hanura, PAN VS PMB, PDS VS PKD Indonesia, PPP VS PBR dan PKB VS PKNU serta masih ada lainnya.

Seperti kata pepatah, “tidak ada asap kalau tidak ada api”. Perpecahan di tubuh banyak parpol pasti ada penyebabnya. Bisa karena petingginya yang sok-sokan atau mungkin juga karena bawahannya kepengin jadi pimpinan. Intinya, warisan system oligaki masih dominan.

Ada juga yang merasa “lahannya” sudah habis, mereka tanpa malu pulang lagi ke kandangnya. Zainuddin MZ misalnya. Kyai sejuta umat ini dahulu adalah tokoh PPP, kemudian putus hubungan dan mendirikan PBR, namun saat ini dia kembali lagi ke PPP.

Tidak cuma satu itu model politisi di Indonesia. Di belakang nama Zainuddin MZ, ada juga Rhoma Irama yang sudah lelah keliling partai balik juga ke PPP. Fuad Bawazier juga, sempat nongkrong di PAN, nglamar PKS tapi ditolak, kemudian sekarang bergabung di Hanura. Tentu masih ada serentetan nama yang bejibun banyaknya baik di pusat maupun daerah.

Anehnya, partai-partai yang kedatangan politisi semacam ini justru bangga dan saling claim. Bahkan mereka membuat istilah “kedatangan darah segar dari partai lain”. Padahal model politisi seperti itu tidak ubahnya seperti orang yang tidak punya prinsip. Bahasa kasarnya Muhaimin cs adalah “mereka itu bagaikan anasir-anasir jahat” yang siap ngeroposi partai yang ia labuhi.

Tapi memang begitulah kerjaannya partai tak bersistem. Partai justru ndompleng ketenaran seseorang. Berbeda dengan partai kader, yang akan memunculkan orang yang dahulu bukan siapa-siapa menjadi tokoh besar. Partai apakah itu?

Selengkapnya...