Senin, 13 Oktober 2008

Ongkos Politik dan Kursi Kekuasaan

Sama seperti pemilu 2004 lalu, untuk pesta demokrasi 2009 nanti, masyarakat juga tidak sekedar memilih logo partai, tetapi sudah secara lebih khusus mencoblos/mencontreng nama wakil rakyat yang masyarakat inginkan dari partai tersebut. Karena itu, untuk dapat mendongkrak perolehan suara, partai politik (parpol) ramai-ramai menarik simpati massa dengan menggaet tokok-tokoh yang populer

Walaupun langkah ini banyak merugikan kader parpol yang sudah banyak keluar keringat, namun elit parpol tetap kuekueh menempatkan para artis, olahragawan hingga para caleg berkantong tebal. Kiat parpol menggaet tokoh-tokoh tersebut semata-mata sebagai umpan untuk menjaring sebanyak mungkin suara konstituen.

Realitas politik semacam ini mengambarkan parpol tidak percaya diri mengusung kader terbaiknya, sehingga meyakinkan opini bahwa parpol tidak mampu fight tanpa adanya topangan ketenaran untuk meraih suara dari para tokoh eksternal, walaupun kader murni partai harus dipaksa legowo jika posisinya harus diusili

Memang penerapan pemilihan langsung oleh rakyat, memberi kesempatan kepada semua
calon yang memenuhi syarat untuk mendapatkan suara terbanyak dari rakyat. Tentu syaratnya hanya berlaku bagi para publik figur yang ketokohannya sudah tidak diragukan lagi. Namun ada peraturan yang menjadi rahasia umum, bahwa siapapun calegnya (baik kader parpol ataupun tokoh) yang berlomba harus siap dana yang cukup untuk kampanye. Terlebih bagi para caleg yang ketokohannya kurang membumi. Jika tidak berkocek tebal, jalan lainnya adalah dengan menggalang dukungan dana dari berbagai pihak.

Dan saat ini kita banyak menjumpai para caleg yang menuai kontroversi karena mengeluarkan begitu banyak uang. Kontroversial karena mereka ujug-ujug berubah menjadi pahlawan kesiangan dengan membagi-bagikan sembako, menjadi donatur acara tujuh belasan, mengaspal jalan sampai melakukan, safari Ramadhan, open house dan road show menyapa calon konstituennya.

Belum lagi iklan politik yang berwujud konvensional seperti yang memajang potret dan kegiatan di media massa, baik cetak maupun elektronik, baliho, spanduk, round text, kartu nama dan seabrek cara untuk mempopulerkan diri. Sebenarnya hal tersebut wajar, karena bermanuver dalam politik ibarat bumbu penyedapnya, namun harus diimbangi dengan kemampuan kualitas seorang caleg, jika tidak maka justru akan ditertawakan.

Efektifitas Dana
Percaya atau tidak keberhasilan menduduki posisi politik tidak harus serta merta dilakukan dengan cari muka dan ngobral kekayaan. Hal ini sudah banyak dibuktikan, baik yang berkaitan dengan posisi eksekutif maupun legislatif.

Pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Kepri 2004 lalu misalnya, ada seorang calon anggota DPD yang sangat jor-joran dalam berkampanye. Road show ia jalani, bahkan hampir tidak ada media iklan yang tidak tersentuh. Iklan di media cetak, pembuatan kalender, jam dinding, sticker sampai balon udara yang paling besar dan banyak yang menggambarkan dirinya pun hasilnya hanya mampu menduduki peringkat kelima alias tidak jadi

Kandidat yang jor-joran tidak ada jaminan menang. Dana yang memadai hanya akan memberikan keleluasaan bagi seorang kandidat untuk menggenjot popularitas, sosialisasi diri dan peningkatan persepsi jati diri. Memang benar, siapa saja yang akan berlomba harus mempunyai logistik cukup. Semakin besar skala pemilihan yang dilombakan, semakin besar pula dana yang dibutuhkan.

Untuk itu para caleg harus cerdas dalam membelanjakan kebutuhan politiknya, jika tidak maka justru hanya akan dijadikan “Mesin ATM” bagi para konstituennya. Idealnya dana tersebut hanya sebagai jembatan untuk mengenalkan ke publik bahwa caleg itu berisi dan bervisi, bukan berlagak Sinterklas yang hobi membagi-bagikan uang.

Tingkat kecerdasan masyarakat (baca: pemilih) yang semakin tinggi juga dapat mengakibatkan politikus boros terjerembab dalam blunder politik. Dana yang dikeluarkan kandidat (dana sendiri, pinjaman maupun pihak ketiga) untuk kampanye dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pencalonannya dipahami masyarakat sebagai investasi politik.

Berbicara soal investasi, maka bayangan pemilih adalah bagaimana agar modal itu dapat kembali dengan cepat yang umumnya melalui skenario pembagian penggarapan potensi sumber daya alam di daerah atau mendapatkan proyek-proyek APBD. Atau mungkin melakukan kongkalikong dengan dengan berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Dan inilah masalahnya sehingga konstituen pun akan kabur.

Kredibilitas Caleg
Memang diakui, persepsi bahwa politik hanya untuk orang berkantong tebal juga masih melekat di kalangan masyarakat terutama di kalangan politisi praktis. Apalagi dominasi uang dalam politik ini masih dipraktekan oleh banyak caleg. Oleh karena itu dibutuhkan program penyadaran masyarakat yang tepat sasaran

Jika pemilu legislatif hanya menampilkan caleg orang berpunya, maka yang timbul justru paradoks demokrasi. Selayaknya caleg tidak tertuju pada kemampuan financial yang justru mempertontonkan parade kemiskinan konstituennya. Seharusnya para caleg lebih mengedepankan aspek visi dan misi agar dikatakan layak dan pantas menjadi seorang wakil rakyat

Memang tidak ada sebuah syarat baku yang sama diterapkan di seluruh dunia untuk menguji kelayakan dan kepantasan seorang wakil rakyat. Namun setidaknya, seorang caleg harus memiliki kredibilitas yang ditopang oleh tiga pondasi yang bernama kejujuran, keahlian dan dipersepsikan objektif oleh banyak orang

Bagi calon wakil rakyat yang tidak memiliki modal cukup, anda tidak perlu berkecil hati karena dari ratusan ribu caleg yang berlaga di pusat maupun daerah pada Pemilu 2004 lalu, hanya ada dua caleg yang melampaui Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), mereka adalah Hidayat Nur Wahid dari PKS dan Saleh Djasit dari Partai Golkar. Sayang Saleh Djasit “mengotori” prestasinya dengan kasus tender mobil pemadam kebakaran yang harus membuat dirinya mendekam di jeruji besi.

Jadi, jika anda wahai para caleg hanya berkampanye untuk sekedar mendongkrak popularitas, tanpa dibarengi dengan tiga pondasi di atas, maka bersiaplah anda untuk kecewa ditinggalkan pemilih atau akan mengikuti jejak Saleh Djasit yang ada di hotel prodeo. Dan bagi caleg berkantong tipis yang tidak memiliki visi bersiapalah anda menangis dua kali, menangisi kemiskinan dan menangisi kenekadan anda.

Politik memang membutuhkan biaya. Namun rakyat ingin agar ongkos yang dikeluarkan itu masih dalam frame yang “wajar”, bukan perdagangan politik ekonomi yang penuh intrik dan “patgulipat”. Maka sudah sepatutnya masyarakat meneropong kembali kekayaan calegnya didapat dari jalan yang halal atau sebaliknya? Wallahua’lam

Ibnu Syakir
Sekretaris Forum Kajian Politik dan Agama (Forkalima) Batam Selengkapnya...