Rabu, 19 November 2008

Politisi Busuk, No Way!

Setiap masa kampanye tiba, istilah politisi busuk menjadi sajian hangat yang seolah sudah menjadi menu utama untuk menyambut pesta demokrasi yang sudah sering dilaksanakan di negeri ini. Istilah ini bagaikan penyakit masyarakat seperti miras, narkoba, pekerja seks komersial. Dibenci, namun keberadaannya susah untuk dihilangkan

Dari pemilu ke pemilu, politisi busuk senantiasa lolos dari saringan parpol dan tentu juga masyarakat . Tidak saja untuk legislator yang ada di pusat (DPR), untuk yang bakal ‘mangkal’ di provinsi dan kota pun jumlahnya sudah tidak ketulungan

Dari banyak referensi, ternyata yang dikategorikan sebagai politisi busuk ini banyak cirinya. Bisa jadi mereka adalah koruptor yang menyikat uang rakyat. Bisa juga mereka menipu dengan menggunakan ijazah palsu, perusak lingkungan atau mungkin tersangkut kriminalitas lainnya. Bahkan para politisi yang ganti ‘baju’ pun dikategorikan sebagai politisi busuk

Fenomena politisi ganti partai menjelang pemilu 2009 sangat marak. Alasan mereka ingin menyalurkan aspirasi rakyat, namun kenyataannya adalah hanya ingin menikmati jabatan yang sudah atau akan disandangnya. Buktinya, mereka pindah partai itu bukan karena alasan prinsip, namun lebih karena tidak legowo mendapat nomor sepatu. Lantas kalau begini, bagaimana mereka mau menyampaikan aspirasi, jika visi dan misi partai yang memayungi juga mereka tidak memahaminya.

Sudah cukup? Bagi saya politisi busuk juga dapat dilihat dari keluarganya. Jika caleg keluarganya berantakan karena proses yang tidak ‘alamiah’, seperti adanya perselingkuhan antara suami/istri atau mungkin kedua-duanya

Untuk itu jangan pilih caleg dan partai yang calegnya diisi oleh politisi yang busuk dengan kriteria di atas. Jika poltisinya sudah busuk, apakah mungkin Indonesia bisa wangi? Wallahua'lam Selengkapnya...

Ada Apa dengan LSI?

Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebagai lembaga survei jempolan yang ada di Indonesia akhirnya eksistensinya mulai diragukan. Survei terbaru lembaga yang dikomandani oleh Saiful Mujani ini secara mengejutkan menempatkan Partai Demokrat (PD) dalam posisi puncak dengan mengumpulkan pundi suara sebesar 16, 8 persen.

Tidak tanggung-tanggung, bukan sekedar PKS, PKB atau partai tengah lain yang dijungkalkan, namun partai kelas berat semacam Partai Golkar dan PDIP pun dipaksa takluk. Hasil kontroversial ini pun akhirnya memunculkan keraguan dan ketidakpercayaan yang menjurus melecehkan survei yang mengeluarkan dana besar tersebut.

Berita miring ini bukan saja datang dari kalangan partai, seperti Fuad Bawazier yang mengatakan sudah tidak menaruh percaya kepada LSI. Fuad Bawazier mengatakan seandainya partainya diramal LSI bakal mendapat suara 10 persen pun, ia tetap tidak percaya dengan LSI.

Parahnya, krisis keraguan terhadap LSI juga muncul dari kalangan pengamat. Pengamat politik dari UI, Boni Hargens misalnya, ia menyangsikan hasil survei LSI pimpinan Saiful Mujani. “Saya tidak percaya atas hasil survei LSI Saiful Mujani,” tegasnya kepada inilah.com, Senin (17/11) di Jakarta.

Keraguan yang sama muncul dari Direktur Eksekutif Reform Institut Yudi Latif. Dengan tanpa ada tanda-tanda kenaikan popularitas SBY, popularitas Partai Demokrat langsung meroket. “Saya pribadi juga agak aneh melihat hasil survei LSI,” katanya.
Hal ini menguatkan bahwa indikasi krisis kredibilitas LSI sudah mulai terendus. Walaupun dengan segala dalih LSI menegaskan, pihaknya tak mungkin mengorbankan kredibilitas lembaga hanya karena memuaskan kilen politiknya, namun argumentasinya justru semakin menguatkan bahwa LSI memang tidak independen.

LSI yang menyimpulkan PD mendapat berkah lonjakan suara dari kalangan swing voter adalah hal yang dipaksakan, karena maju mundurnya PD ini sangat bergantung kepada peranan SBY. Padahal saat ini pencitraan SBY dimata rakyat sudah mulai pudar, ditambah dengan keberadaan rupiah yang kian tak berdaya. Bahkan menurut Boni, Indonesia di bawah kepemimpinan SBY dinilainya gagal.

Alasan memilih PD karena faktor iklan pun pasti terbantahkan, karena saat ini yang menjadi jawara iklan adalah PKS dengan seri kepahlawannya dan Prabowo dengan Gerindranya. Iklan PD hanya berjaya ketika bulan puasa.

Kesimpulannya, Survei LSI mengenai pilkada sampai saat ini mungkin masih layak diperhitungkan, Namun untuk pemilu masih perlu dipertanyakan. Sebagaimana yang sering disampaikan Presiden PKS, Tifatul Sembiring yang mengatakan dahulu LSI meramal PKS hanya mendapat 3%, justru berhasil meraup angka yang fantastis di pemilu 2004. Jadi memang independensi LSI perlu dipertanyakan. Ada apa dengan LSI? (ibnusy – inilah.com) Selengkapnya...