Senin, 21 Desember 2009

Gula Mahal, Kesehatan Rakyat Terpental

GULA PASIR. Siapa sih yang tidak mengenalnya? Nama ini begitu akrab di telinga semua orang. Apalagi bagi para produsen makanan, para pecinta teh dan kopi. Dan tentu untuk kalangan ibu rumah tangga, barang ini sudah menjadi “sahabat” karibnya

Akan tetapi sudah beberapa bulan ini, gula (pasir) tingkahnya sering menjengkelkan. Njengkeli bukan karena rasanya tak lagi manis. Bukan pula karena warnanya berubah putih menjadi hitam. Dia bikin “sakit hati” karena nilai jualnya yang terus saja membumbung tinggi

Para pecinta gula perasaannya semakin teraduk-aduk, lantaran janji pemerintah yang katanya akan menurunkan harga si manis dengan menunjuk distributor khusus bak jauh panggang dari api. Masyarakat hanya diberi janji di koran, namun di tataran realita, harga gula dipasaran tetap saja “menggila”
*****
Saat itu langit sudah gelap. Tak seperti biasanya, pukul 19.30 (biasanya pukul 20.00) saya mendengar bunyi langkah kaki yang khas. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan istri saya. Tak lama bunyi ketukan pintu dan salam (assalamu’alaikum ..) terdengar hampir bersamaan. Anak-anak pun girang menyambut kedatangan ummi mereka yang memang sengaja ditunggu

Terlihat jelas di tangan sebelah kanan istri saya menenteng belanjaan. “Tumben pulang cepat mi. belanja apa itu, gula habis lho?, berondong saya. “Gak ambil pack food biar cepet pulang. Iya ini sudah beli gula. Harganya naik bi jadi Rp. 10.000. terakhir beli Rp. 9.300 lho”, jawab ummu bila

Imbas Gula Mahal

Bagi sebagian orang Rp. 10.000 nilainya tak seberapa. Namun bagi sebagian lainnya, Rp 10.000 sungguh sangat berarti. Apalagi kebutuhan hidup tidak hanya sekedar membeli gula, namun juga beras besarta lauk pauknya. Minyak dan seabrek kebutuhan dapur lainnya. Belum lagi pendidikan, kesehatan dan kebutuhan primer yang jumlahnya masih banyak

Kawan saya di facebook (FB) menimpali status yang saya tulis di grup “Takallam Huna Bil ‘Arobiyyah” tentang mahalnya gula, ternyata di Belitung, Babel harga si manis mencapai 11.000 s.d 12.000. (Ghoolin jiddan huna fi jaziroh belitung tsamanuhu Rp. 11.000 . Wa samiktu tsamanuhu yakuunu Rp. 12.000). Kawan FB yang lain “memprovokasi” bahwa hal di atas merupakan musibah yang sebenarnya

Setelah saya pikir, hal di atas (baca: musibah) ternyata ada benarnya. Bagi produsen makanan berskala besar maupun penjual level kecil, imbas kenaikan harga gula membuat mereka akan mencampur (bahkan mengganti 100 %) dengan gula induk (gula bibit) yang membahayakan kesehatan. It's the real disaster!

Jika hari ini dengan mata telanjang kita dengan mudah melihat makanan atau minuman yang dijajakan di kantin sekolah (terutama SD) jauh dari standard sehat, maka ketika harga gula kian melangit dampakanya pasti akan lebih parah lagi

Ujungnya harapan pemerintah untuk memiliki generasi yang unggul (khawatir) bakal sebatas utopia karena mereka (siswa/i) dari kecil sudah terlalu sering mengkonsumsi makanan yang kurang sehat

Selain berharap kepada Allah, sangat wajar apabila masyarakat berharap bantuan dari para pimpinan mereka untuk menyediakan kebutuhan hidup dengan harga yang terjangkau. Wahai para pemimpin, lebih “fight” lagi dong. Janji-janji kalian sudah kadong ditulis Malaikat lho?


Selengkapnya...

Kamis, 29 Oktober 2009

Revitalisasi Ruh Perjuangan Pemuda

Sejarah mencatat bahwa di negeri manapun perubahan banyak dipengaruh oleh pemuda. Di republik ini peranan historis pemuda pun tidak bisa diabaikan. Hampir dipastikan tidak ada satupun proses transformasi, baik sosial maupun politik dan lainnya yang tidak menyertakan unsur pemuda di dalamnya

Pemuda beserta gagasan segar dan peran aktifnya selalu andil dalam menentukan arah dan nasib bangsa baik saat pra kemerdekaan maupun setelahnya. Pada 1928, para pemuda berkumpul di sebuah gedung di bilangan Kramat Raya, Jakarta. Mereka datang mewakili berbagai daerah dan organisasi pemuda, di antaranya Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Pemoeda Kaoem Betawi dan lainnya.

Inilah bukti konkrit bahwa pemuda Indonesia memiliki semangat yang tinggi untuk memperbaiki negerinya yang sedang terbelit masalah. Dan peristiwa di atas adalah kronologi munculnya sejarah besar yang dikenal dengan nama “Sumpah Pemuda” yang 81 tahun diperingati di negeri ini.

Kiprah pemuda kemudian semakin memuncak ketika menjelang proklamasi kemerdekaan. Mereka (para pemuda) melakukan pengamanan terhadap Soekarno di Rengasdenglok dan mengajaknya segera memproklamirkan Indonesia sebagai Negara yang merdeka

Tumbangnya orde lama yang digantikan dengan orde baru juga tidak lepas dari peranan pemuda (lebih khusus mahasiswa). Tak terkecuali tamatnya riwayat orde baru pun atas desakan para mahasiswa. Bahkan dekade reformasi 1998 adalah bagian dari pembuktian sejarah tentang peranan mahasiswa dalam perubahan sosial yang ada di Indonesia setelah sekian lama “terhenti”

Yang menarik, perjuangan pemuda dari organisasi dan komunitas apapun sejak pra kemerdekaan sampai dekade reformasi memiliki karakter yang khas, yaitu dengan melakukan gerakan bawah tanah, mengkritik langsung dengan demonstrasi menentang neo feodalisme, maupun melakukan gerakan moral (moral force) dalam rangka memberi penyadaran kepada masyarakat.

Kehilangan Ruh Perjuangan
Menengok kembali sejarah Sumpah Pemuda sampai era reformasi 1998 , kita menjadi prihatin ketika membandingkan dengan pemuda di era sekarang. Jika teliti kita akan menemukan berbagai ketimpangan yang ada. Benarkah pemuda Indonesia telah berkhianat dengan sejarahnya sendiri?

Pasca reformasi, gerakan pemuda dan mahasiswa orientasinya sudah mulai mengambang. Mereka masih terbuai dengan euphoria reformasi yang padahal sudah berlalu lebih dari satu dasawarsa. Pola gerakannya mengalami kemandekan. Padahal situasi pra kemerdekaan sampai era reformasi dengan kondisi saat ini jelas berbeda. Namun kenyataannya belum tampak kreasi baru dari pola yang ditawarkan

Diperparah, dengan prilaku amoral yang terus menggerogoti gaya hidup (life style) pemuda. Memang benar masih ada sekelumit pemuda yang memang patut kita banggakan. Baik dari segi prestasi, kreativitas, dan karya emasnya. Tetapi jumlah mereka bisa kita hitung dengan jari. Bandingkan dengan golongan yang antagonis.

Godaan gaya hidup hedonistis kapitalistik yang notabene buah dari globalisasi di kalangan para pemuda begitu kuat. Parahnya, hal ini tidak saja terjadi di kalangan pemuda kota, tapi juga di kalangan pemuda desa karena adanya televisi. Iklan dan sinetron yang menawarkan kenyamanan dan kenikmatan hidup di media elektronik ini demikian gencar dan massif sehingga mampu meruntuhkan sendi-sendi pertahanan para pemuda

Berita di media pun seolah tak pernah berhenti mengupas kehidupan kelam mereka. Mulai dari aksi anarkis hingga aksi yang romantis. Tawuran antar pelajar dan mahasiswa mereka peragakan. Ada pula yang beromantis ria memeragakan aksi mesra layaknya suami istri. Belum lagi yang terjebak narkoba dan penyimpangan lainnya. Ingat, kejadian di atas bukan saja ada di kota metropolitan, namun sudah jamak di seluruh pelosok nusantara

Layaknya fenomana gunung es. Semua kabar buruk itu adalah yang tampak di permukaan. Informasi yang sampai di indera dengar kita sangat mungkin jumlahnya terlalu sedikit daripada realita yang sebenarnya. Bagaikan fenomena bola salju, apabila tidak segera dicarikan solusi jitu, maka akan semakin membesar seiring menggelindingnya bola masalah tersebut

Ilmu, Pembinaan dan Takwa
Saat ini perkembangan zaman sungguh luar biasa, apabila tidak didukung dengan adanya ilmu, moral dan usaha yang keras serta doa, kehidupan kita akan terbelenggu dengan kehidupan hedonis, materialistis dan pragmatis. Akan dibawa ke manakah nantinya para pemuda Indonesia apabila sudah menjadi penimat gaya hidup serba boleh (permisif) itu?

Tidak ada cara lagi selain kita harus kembali ke ajaran agama. Tidak ada cara lain kecuali harus pro aktif dalam memperbaiki diri dan masyarakatnya. “Demi Allah, Sesunggahnya kehidupan pemuda haruslah dengan ilmu dan ketakwaan. Jika tidak ada keduanya dalam diri mereka, maka tidak berartilah kehidupannya.”

Demikian sedikit dari bagian nasehat seoarang ulama besar yang memiliki mazhab paling banyak digunakan di negeri ini, yaitu Imam Syafi’i kepada para pemuda kapan dan di manapun jua. Dalam antologi puisinya ia juga bersenandung “Siapa yang tidak mau ta’lim (membina) pada masa mudanya, maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena sejatinya ia telah mati (sebelum mati)”

Semoga 81 tahun Sumpah Pemuda, pemuda Indonesia, baik yang sebagai pelajar, mahasiswa, anggota legislatif dan wiraswasta serta lintas profesi lainnya mampu tampil untuk menjawab tantangan bangsa.

Semoga saat ini, menjelang 28 Oktober, pemuda Indonesia adalah pemuda yang memiliki ketakwaan kepada Tuhannya dan juga memiliki kecakapan intelektual yang dapat didayagunakan, yang pada akhirnya mampu menganggakat citra bangsa di mata masyarakatnya dan juga dunia internasional.

Hal ini selaras dengan keinginan Hasan Al Banna dalam risalat “Dakwatuna Fii Thaurin Jadid” atau “Dakwah Di Era Baru” beliau berseru “Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan tegar. Hati-hati yang baru dan berkibar-kibar. Emosi-emosi yang membara dan menggelora dan ruh-ruh yang memiliki obsesi, visi jauh ke depan yang merenungkan teladan dan tujuan-tujuan yang mulia”. Semoga. Selamat memperingati hari sumpah pemuda. Wallahua’lam.





Selengkapnya...

Bercak Merah SBY dan Kepercayaan Rakyat

Kepercayaan itu adalah barang yang sangat berharga. Begitu yang sering dinasehatkan orang kepada kita agar memahami arti pentingnya sebuah kepercayaan. Kepercayaan yang menggumpal itupun berganti menjadi sebuah harapan kepada orang yang dipercayanya mampu memberi solusi terbaik

Itulah yang dialami oleh rakyat Indonesia terhadap sosok SBY. Hasil kerjanya sebagai presiden pada periode 2004 – 2009 dinilai rakyat dengan tinta biru. Apalagi program andalannya semisal BLT menjadi “jualan” yang laris manis

Terang saja, bersama pasangan barunya (Boediono), SBY pada pilpres lalu mampu memboyong lebih dari 60 persen suara rakyat. Sebuah angka fantastis untuk mengamankan jabatannya cykyp dengan sekali putaran saja. Itu artinya, sebagian besar masyarakat sangat percaya dengan kharisma SBY. Harapan rakyat, SBY akan mampu bekerja lebih baik untuk kepentingan rakyat

Namun sepertinya rakyat jangan terlalu berharap lebih. Meski saat ini belum saatnya memuji atau mencela kepemimpinan SBY, namun setidaknya ada beberapa “bercak merah” yang sudah menempel pada sosok SBY ini. Bercak-bercak merah itu diantaranya adalah

Pertama, skandal century. Ingat, belum juga dilantik, citra SBY mulai digoyang dengan adanya skandal Century di mana dana talangan (bail out) sebesar 6,7 triliun mengalir deras ke Bank Century. Apalagi pasca Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy menyatakan skandal Bank Century tidak melawan hukum “bola”nya jadi semakin liar. Prasangka masyarakat menyimpulkan SBY melindungi Boediono semakin menguat

Kedua, kabinet terlalu akomodatif. Kemenangan 60 persen lebih idealnya SBY berani membentuk kabinet zaken. Namun kenyataannya sekitar 20 pos jabatan menteri dikendalikan oleh wakil parpol. Belum lagi wacana wakil menteri. Selain akan membebani kas Negara, juga keberadaannya masih belum diperlukan.

“Penunjukan wakil menteri dinilai sebagai sesuatu yang tidak perlu. Sebab, posisi itu tidak akan terlalu membawa banyak perbedaan. Termasuk jika dikaitkan dengan adanya beban pekerjaan yang lebih berat dibandingkan kementerian/departemen lain”.
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat politik Universitas Indonesia Andrinof A Chaniago saat berbincang dengan INILAH.COM, di Jakarta, Senin (26/10). "Nggak diperlukan, karena tidak akan mengganggu urusan apapun kalau wakil menteri tidak ada," ujarnya.

Ketiga, wacana kenaikan gaji. Belum juga bekerja, Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi tengah mengajukan usulan kenaikan gaji bagi para pejabat negara, termasuk para menteri. Meski bukan merupakan usulan presiden langsung, namun telunjuk rakyat sudah menuding SBY lah yang harus bertanggung jawab karena SBY sebagai nakhodanya

"SBY sebagai nakhoda kena getahnya. Masyarakat akan ragu dengan komitmen SBY untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang diucapkan pada saat pelantikan," kata peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi saat berbincang dengan INILAH.COM, di Jakarta, Senin (26/10).

Keempat, intervensi KPK. Transkip rekaman rencana kriminalisasi terhadap pimpinan yang mencuat ternyata menyeret nama RI 1 (SBY). Padahal KPK saat ini bagi rakyat adalah lembaga terbaik. Sehingga apabila info yang beredar itu belum dipastikan kebenarannya, namun masyarakat terlebih dahulu “menelan” kabar tersebut

SBY adalah presiden yang sangat diuntungkan karena kharisma di mata rakyatnya. Namun apakah adanya bercak-bercak merah sebagian besar rakyat masih percaya dan berharap lebih kepadanya? Sebagai rakyat itulah yang diharapkan kepada pemimpinnya.



Selengkapnya...

Rabu, 21 Oktober 2009

Mau Zaken atau Akomodatif, Pokoknya Amanah!

Selesai sudah teka-teki besar yang selama ini menggelayuti pikiran masyarakat Indonesia. Para jurnalis pun sudah final dalam mengutak-atik kandidat menteri. Karena meski belum diputuskan secara resmi, proses uji kepatutan dan kelayakan yang ditunjukkan secara transparan membuat publik mengetahui siapa saja yang akan menjadi pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 5 tahun ke depan

Kemenangan pasangan SBY-Boediono saat pilpres lalu yang lebih dari 60 persen, ternyata tidak juga menghasilkan kabinet ahli (zaken cabinet). Terbukti SBY lebih memilih kabinet akomodatif, yaitu dengan menempatkan para profesional juga tetap banyak menyertakan orang-orang yang menjadi wakil dari partai politik (parpol)

Hasil kabinet kompromistis dalam KIB II ini memang sudah diprediksikan oleh banyak orang. Membentuk kabinet zaken di negeri ini adalah pilihan “rumit”. Apalagi kemenangan SBY secara de facto itu dipikul oleh banyak parpol yang memiliki kursi di parlemen (Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB dan PPP). Itu belum termasuk “penumpang gelap” yang dua kali berturut-turut dimainkan oleh Partai Golkar

Ketidak beranian SBY dalam membentuk kabinet yang diisi mayoritas kaum profesional karena takut “dimusuhi” partai-partai politik yang mengikat diri dalam koalisi. Dan sebaliknya, jika seluruh jabatan menteri diisi oleh wakil parpol akan mendapat cibiran dari masyarakat

Idealnya, melihat kemenangan SBY-Boediono pada pilpres lalu, pilihan yang masuk akal adalah pemerintahan SBY akan membentuk kabinet zaken dengan mengambil unsur parpol secara minoritas. Namun yang terjadi adalah sekitar 20 nama dan jabatan menteri itu dikendalaikan oleh orang partai

Sehingga wajar, belum bertugas pun sudah banyak yang meragukan. Salah satunya pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens mencatat setidaknya ada enam pos menteri yang tidak pas. Yakni, pos Menko Ekuin yang bakal ditempati Hatta Rajasa, Menhub yang dijabat Freddy Numberi, Menhan yang diemban Purnomo Yusgiantoro, Menpora dengan Andi Mallarangeng, dan Mendagri yang dijabat Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi (Batam Pos: 20 Oktober)

Namun nasi (hampir) menjadi bubur. Kabinet yang sudah diputuskan ternyata tidak (semuanya) sesuai dengan apa yang kita inginkan. Lepas dari belum adanya sikap plong dari masyarakat terhadap pilihan presiden, kita harus tetap mengedepankan sikap baik sangka terhadap sosok menteri-menteri yang sudah diputuskan tersebut

Harus Amanah
Dari Abu Dzar RA Ia berkata “saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi jabatan kepadaku? Maka beliau menepuk bahuku, kemudian bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sungguh kamu seorang yang lemah, sedangkan jabatan adalah suatu kepercayaan, yang pada hari kiamat merupakan suatu kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi pejabat yang dapat memanfaatkan hak dan menunaikan dengan sebaik-baiknya. (HR. Muslim).

Ada ibrah (pelajaran) yang dapat kita petik dari hadits Rasulullah di atas. Pertama, Hadits di atas memberi gambaran bahwa sejatinya seorang pemimpin (baca: presiden) harus cermat dalam memilih para menteri-menterinya. Penunjukan menteri tidak hanya sebatas balas jasa, kekerabatan maupun pertemanan, namun pertimbangan utamanya lebih ditekankan pada sisi keahlian meski dari kalangan partai politik sekalipun.

Karena jabatan adalah amanah rakyat yang harus dipertanggung jawabkan di dunia sampai akherat, maka sudah selayaknya para menteri pilihan SBY harus orang-orang yang punya visi dan misi kuat, berani, dan bermental baja di samping jujur dan amanah.

Kedua, hadits tersebut juga mengingatkan kepada kita terutama yang di beri kepercayaan untuk mengemban amanat. Bahwa siapa saja yang mensia-siakan dan mengkhianati amanah akan mendapatkan kehinaan dan penyesalan yang besar tidak hanya di dunia bahkan sampai ke negeri akhirat.

Meski memilih menteri adalah hak prerogatif presiden, namun kabinet yang ada sekarang (kabinet akomodatif) tetaplah ada campur tangun parpol sebagai representasi politik parpol pendukung. Untuk itu semestinya parpol dalam menawarkan kadernya haruslah kader yang memiliki kecakapan dan harus rela di-reshuffle manakala tidak memenuhi kualifikasi.

Prof. Dr. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al Misbah mengartikan Amanah adalah sesuatu yang di serahkan kepada pihak lain untuk di pelihara dan di kembalikan bila tiba saatnya atau bila di minta oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari khianat. Ia tidak di berikan kecuali kepada orang yang di nilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang di berikannya itu.

Menurut hemat penulis, kompetensi dan profesionalitas itu bukan monopoli orang-orang yang berada di luar partai politik saja. “Orang partai” juga bisa bersikap profesional, namun ada syarat yang harus dilalui, yaitu parpol harus mereformasi diri terlebih dahulu menjadi organisasi profesional yang diindikasikan dengan adanya kapabilitas dan amanah dari “jagoan” yang diberi tugas menjadi menteri

Kesimpulan
Suksesnya kinerja para menteri adalah kesuksesan presiden. Sebaliknya, buruknya kualitas para menteri juga stigma buat presiden. Ibarat pertunjukan musik, SBY sekarang adalah sebagai dirigen orkestra. SBY lah yang menentukan lagu-lagu yang akan dibawakan dan juga para pemain yang dipilih untuk ikut serta dalam pertunjukan

Ketika rakyat “request” lagu berjudul pemberantasan korupsi, maka prasyaratnya SBY harus menjamin para menteri adalah orang-orang yang bersih dari kasus hukum. Manakala dalam perjalanan ditemukan integritas seorang menteri mengalami kecacatan, maka SBY harus berani memecatnya

Agar “konser” lebih meriah, maka rakyat harus sering diajak “bernyanyi bersama”. Untuk itu syaratnya para menteri yang sudah ditunjuk haruslah orang-orang yang merakyat dan siap dan tahan dengan masukan atau kritikan masyarakat

Intinya untuk bisa menjawab keraguan pengamat, masyarakat dan juga mahasiwa yang melakukan aksi turun ke jalan menyangsikan kepemimpinan presiden pilihan rakyat ini, SBY harus menjadikan kabinet sekarang adalah kabinet ahli. Tak peduli dari kalangan profesional maupun parpol. Mereka harus membantu dalam memudahkan kerja pemerintahan dan juga membentuk nilai positif bagi publik.

Kelak SBY akan dicatat sebagai presiden yang berani melaksanakan prinsip the right man in the right place. Prinsip pertama dan utama kabinet hanyalah meritokrasi. Yang dikerjakan para menteri adalah untuk kepentingan rakyat, bukan partai atau kelompok tertentu. Jika tidak, maka jabatan SBY bakal berakhir dalam keadaan su’ul khotimah. Selamat bekerja. Wallahua’lam



Selengkapnya...

Rabu, 14 Oktober 2009

Political Financing

Hajatan pemilu telah usai. Presiden dan wakilnya yang baru pun sudah diputuskan. Kini yang sedang ngetren dalam pagelaran politik nasional adalah hajatan untuk mencari ketua umum yang baru di berbagai partai politik

Diawali oleh Partai Golkar yang menggelar musyawarah nasional (munas) di Pekanbaru, Riau. Januari tahun depan giliran PAN mengelar Kongres ke-3. Partai berlambang matahari terbit itu mendapuk Batam sebagai shohibul hajatnya. PKS pun sudah berancang-ancang. Dan sudah barang tentu parpol yang lain tinggal menunggu giliran

Namun sayang, Partai Golkar sebagai parpol pembuka dalam melakukan suksesi kepemimpinan justru meninggalkan banyak noktah hitam. Publik mencium aroma tidak sedap para kandidat bagi-bagi uang. Memang sudah diprediksi, politik transaksional bakal tumbuh subur di ajang perebutan ketua umum partai berlambang pohon beringin tersebut

Bertaburan uang dalam memilih pemimpin di Indonesia memang bukan barang baru. Hampir di setiap ajang pemilihan di level apapun, isu permainan uang menjadi berita yang kerap kali tak bisa dihindarkan. Mulai dari pemilihan ketua ranting sampai ketua umum. Memilih ketua fraksi sampai ketua DPR/D. Memilih kepala desa sampai kepala negara. Intinya memilih pemimpin di Indonesia ibarat melakukan pelelangan, siapa yang berani bayar lebih, maka dialah sang pemenang

Sebenarnya buramnya politik uang bukan hanya monopoli partai Golkar saja. Di panggung-panggung munas lain juga banyak terjadi praktek tebar uang untuk meraih posisi ketua umum. Atas nama political financing (pembiayaan politik) bagi-bagi duit dari Rp. 100 juta sampai Rp. 1 M pun harus dilakukan. Meski ada juga parpol yang suksesi kepemimpinananya relatif bersih

Sehingga wajar jika J Kristiadi di Kompas menulis, bahwa ranah politik adalah ajang lelang kekuasaan dan wilayah di mana kepentingan apa pun dapat dijadikan transaksi. Inilah lahan subur bagi para politisi melakukan petualangan, baik untuk memanipulasi kekuasaan, mencari proteksi, menghapus sejarah kelam masa lalu, maupun membangun citra.

Hal ini juga yang menjadi pemicu apatisme masyarakat dalam menggunakan haknya di bilik-bilik suara. Faktor yang menyebabkan tingginya golput, termasuk kian turunnya kepercayaan pada partai politik (salah satunya pada proses suksesi kepemimpinannya). Hal ini dapat dibuktikan dengan partisipasi masyarakat pada pemilu dan pilkada tingkat kesadaran pemilih dalam menggunakan haknya merosot.

Semoga Kongres PAN dan Munas PKS serta partai lainnya mampu memunculkan spirit baru yang mencerdaskan. Kemenangan yang didapat dengan cara yang elegan, sehinga perjuangan melalui partai memang benar-benar mampu diejawantahkan. Bukan yang mengatasnamakan political financing lantas melakukan politik transaksional. Semoga. Wallahua’lam


Selengkapnya...

Kamis, 08 Oktober 2009

Pemuda/i yang Dibenci

Suatu hari di belahan nusantara. Di depan mall kota-kota metropolitan. Di gang-gang kampung terpencil di pelosok negeri. Langit masih gelap tertutup awan, segelap bangsa ini yang ditutupi kabut permasalahan

Sekelompok pemuda asik kongkow. Suit … Suit … Mulut dan tangan mereka usil menggoda wanita-wanita yang lewat di depan mereka. Bualan gombal meluncur deras dari pemuda yang sedang duduk bergerombol. Tak jarang teriakan sumpah serapah memecahkan udara ketika sang wanita berani “melawan”

Sesekali mereka menyelingi dengan menyeruput Vodca atau Anggur Cap Orang Tua secara bergiliran. Atau memamerkan bagaimana cara menghisap mariyuana untuk berbagi “asap-asap surga”. Atau bahkan melakukan “demonstrasi” dengan jenis zat psikotropika yang beda dari biasanya

Di hari lainnya, para wanita berstatus pelajar dan mahasiswa mencari mangsa para pria. Dandanan mereka seksi. Tangannya manja melambai, mengetuk kaca mobil sambil melakukan “transaksi” di jalanan tanpa rasa malu
***
Bulan ini (Oktober). Tak lama lagi Indonesia akan memperingati hari Sumpah Pemuda. Meski latar cerita sejarahnya berbeda, namun ada kesamaan di dalam cita-citanya, yaitu ingin me-recovery bangsa

Hampir tidak ada perubahan di Negara manapun yang tanpa menyertakan pemuda di dalamnya. Di negeri ini pun sama, hampir tidak ada proses transformasi, baik politik, sosial dan lainnya tanpa andilnya mereka (pemuda)

Bung Tomo sang patriot bangsa yang tak henti-hentinya terus memikirkan nasib negaranya. “Cita-cita sejati seorang pejuang besar, ingin mendidik anak-anak muda bangsa menjadi patriot bangsa. Baginya perjuangan tak memiliki arti, bila tak ada generasi penerus yang memiliki jiwa patriot”. Demikian bagian rencana dari Bung Tomo.

Nah, bagaimana dengan pemuda Indonesia saat ini? Memang benar masih ada sekelumit pemuda yang memang patut kita banggakan. Baik dari segi prestasi, kreativitas, dan karya emasnya. Tetapi jumlah mereka bisa kita hitung dengan jari. Bandingkan dengan golongan yang antagonis.

Padahal dalam antologi puisinya, Imam Syafi’i juga bersenandung “Siapa yang tidak mau ta’lim (membina) pada masa mudanya, maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena sejatinya ia telah mati (sebelum mati)”
***
Kemiskinan dan broken home adalah argumentasi yang sering mengemuka. Karena kemelaratan dan runtuhnya keluarga memang kadang manusia jadi kehilangan nurani. Meski jamak juga mereka yang hidup dalam serba boleh (permisif) hanya karena mengekor budaya barat (westernisasi) agar terlihat “modern”.

Tak peduli mereka miskin. Masak bodoh mereka terlahir dari orang tua yang berpenghasilan pas-pasan. Yang penting bergaya

Mereka akan menuai kebencian dari masyarakat dan Negara beserta para pahlawan. Salah siapa? Semoga kisah di atas segera sirna dari bumi Indonesia. Kita harus optimis karena agama mengajarkan keoptimisan. Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda
Selengkapnya...

Senin, 05 Oktober 2009

Etnis Tionghoa: Kalau PKS Saya Percaya

Joko dan seorang pengendara mobil mewah beradu tatap. Tangan si pengendara keturunan Tionghoa kemudian mulai merogoh sakunya. Namun mendadak berhenti. Berganti matanya serius mengeja huruf demi huruf di kertas yang menempel di kardus milik Joko. Tak lama, ia pun mulai membuka perlahan kaca mobilnya seraya memasukan Rp 50 ribu ke kardus, sambil bertutur “Kalau PKS saya percaya”

Itulah sekelumit kisah penggalangan dana yang dilakukan kader-kader PKS Batam untuk membantu para korban gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter yang memporak porandakan beberapa wilayah di Sumatra Barat. Dari menjelang siang sampai malam mereka bergantian “shift” mengejawantahkan kepedulian

Gempa yang diprediksikan bakal merenggut sekira 4000 nyawa ini memang begitu menyedot perhatian dan empati. Di jalanan Batam pun ada begitu banyak organisasi yang ikut turun ke jalan menggalang dana bantuan

Namun “nama besar” PKS rupanya masih bisa diandalkan oleh para “donatur jalanan”. Buktinya banyak sekali para penyumbang yang membaca dahulu kalimat yang lekat di kardus para sukarelawan. Tak jarang para pengendara sengaja memanggil sukarelawan PKS, padahal sebelumnya sudah mondar-mandir sukarelawan organisasi lain ke dekat mobil/motornya

Di sela-sela lampu hijau, seorang sukarelawati curhat. Siswi OSIS SMP Islam Terpadu di bilangan Tiban itu mengatakan, “Om kok bisa dapat banyak sih?” “Yang gesit dan kasih senyum dong”, jawab saya sekenanya. Meski dalam hati menduga, ini lebih karena faktor “bendera” PKS (tentu juga karena takdir)

Meski ada juga sebagaian pengendara yang apatis atau bahkan tidak menaruh kepercayaan. Itu adalah bagian dari potret hidup kehidupan dalam memandang suatu kejadian.

Penjual Koran dan minuman pun “welcome” dengan keberadaan sukarelwan PKS. Sering kali ia memanggil saya memberi tahu ada pengendara yang akan kasih bantuan, meski ia harus gigit jari jajakannya sementara tak laku.

Dan ada satu hal yang membuatnya dapat pelajaran, yaitu setiap waktu sholat tiba para sukarelawan PKS itu menghentikan aktivitas penggalangan dana. Mereka berganti menggalang pahala menunaikan kewajiban kepada Tuhannya. Sholat dulu pak. I … iya, jawab penjual Koran terbata-bata

Ungkapan seorang keturunan Tionghoa itu adalah sebuah harapan. “Takjubnya” tukang Koran melihat kita berhenti dan bergegas sholat juga adalah sebuah keluarbiasaan. Dan itu hanya bagian kecil dari masyarakat yang memilki asa yang sama kepada PKS. Semoga dapat kita bisa menjaga dan menularkannya. Siapapun kita, kader, pengurus, apalagi aleg dan eksekutifnya


Selengkapnya...

Sabtu, 26 September 2009

Menjaga Semangat Ramadhan, Berat Juga Kan?

Mengagumkan! Saat Ramadhan kemarin, ketika panas terik matahari membakar kulit, pernahkah kita meneguk barang setetes-dua tetes air es secara diam-diam untuk menghilangkan kehausan yang luar biasa?

Atau ketika saat usus sudah mulai melilit dan perut pun keroncongan, maukah kita mencoba untuk berlari menuju jalan raya, masuk ke kedai yang banyak di temukan di pinggir jalan? Atau mungkin menuju ke dapur menyantap masakan sisa sewaktu sahur? Jawabnya sekedar terlintas pun sepertinya tidak.

Ya, meski kehausan. Meski sudah terserang lapar. Bahkan meski tak ada yang tahu seandainya kita meminum atau menelannya. ‘Doktrin’ macam apakah yang membuat kita (yang berpuasa) merasa tak pernah lepas dari pengawasan Rabbnya?

Luar biasa! Ketika Ramadhan yang belum lama berlalu, dalam keadaan super lelah, kita masih “memaksakan” diri untuk sholat tepat waktu. Tak lupa berdzikir dan bertilawah Al Qur’an. Mampu bangun sahur dan diteruskan dengan sholat subuh berjamaah di Masjid. Di malam-malam akhirnya pun terjaga untuk menjaring saktinya lailatul qodar.

Sesakit dan seperih apapun fitnah, guncingan dan celaan orang, kita tetap bersabar demi tetap menjaga konsistensi dalam merajut benang-benang ketaatan kepada Allah. Kita pun mampu memaafkan sebelum datangnya sodoran tangan dari sang pencela demi meraih derajat mulia berupa ketakwaan

Namun setalah belum berlalu begitu lama, apa kabarnya sholat lima waktu kita. Apa kabarnya dzikir dan tilawah Al Qur’an kita. Masihkah kita mampu menjaga subuhan di masjid? Dan masihkah menjadi insan-insan pemaaf?

Memang benar kata orang, merawat itu lebih susah daripada membangun. Membangun rumah itu susah dan butuh biaya. Namun lebih rumit lagi merawatnya agar tetap bersih, rapi dan semakin baik. Begitu pula dengan menjaga ketaatan yang penuh dengan godaan

Sholat lima waktu itu susah. Menjaga untuk tetap membaca kalam Allah itu butuh pengorbanan. Bangun malam dan memaafkan orang itu berat. Namun buktinya kita bisa melakukannya ketika Ramadhan. Namun mampukah kita masih merawatnya sampai kini? Semoga. Mari kita saling berdoa dan mengingatkan untuk kebaikan, karena memang menjaga nilai Ramadhan itu memang berat. Saya pun akui sudah mulai kedodoran. Astaghfirullah …



Selengkapnya...

Kamis, 24 September 2009

Lebaran dan Tergerusnya Nilai Spiritual dan Sosial

Untuk bisa tampil “beda” di hari lebaran, memiliki profesi ganda adalah pilihan “beken” bagi sebagian orang di negeri ini, tak terkecuali di Batam. Amatilah, maka kita (pasti) akan menemukan orang-orang yang bergelut dengan tambahan profesi barunya

Memang, di nusantara ini untuk menyambut hari kemenangan sungguh sangat fantastis. Bagi mereka Idul Fitri adalah pesta besar yang wajib dirayakan. Meski harus dengan pengorbanan materi, tenaga, pikiran dan tentu kadang juga jiwa

Sehingga tidaklah aneh manakala kita menyaksikan, baik di televisi maupun secara kasat mata, ada orang yang membawa setumpuk barang yang melebihi batas maksimum untuk keperluan pulang kampung. Berdesakan “hanya” untuk berebut kursi bus dan kereta api ekonomi. Atau yang terpaksa bergelantungan di bibir pintu serta di atas atap kereta api

Belum lagi budaya bermudik dengan menggunakan sepeda motor yang menyertakan seluruh anggota rumah tangga dalam satu kendaraan beroda dua. Pendek kata, mereka tidak peduli melanggar peraturan lalu lintas. Mereka bahkan kurang peduli dengan keselamatan nyawa demi sebuah obsesi dapat berlebaran di kampung halaman

Masalah Klasik
Di tengah hiruk pikuk kebahagiaan menyambut 1 Syawal, ada saja masalah klasik yang senantiasa hinggap, seolah menjadi “orchestra” wajib yang memekakan kuping masyarakat. Bonus satu bulan gaji yang dikenal dengan Tunjangan Hari Raya (THR) tetap tidak mampu “melawan” harga-harga kebutuhan primer, sekunder maupun tersier yang terus saja membumbung tinggi

Ongkos jasa semacam ojek, angkutan kota, bus antar kota antar provinsi serta pesawat juga ikut-ikutan latah harganya melangit dengan alasan lebaran. Bagi yang mendapat THR saja masih berpikir seribu kali, lantas bagaimana dengan yang tidak dapat (THR), semacam petani, pemulung dan profesi lainnya?

“Lagu Wajib” yang menyelinap di ruas-ruas kebahagiaan Idul Fitri inilah yang menjadikan hari kemenangan umat Islam menjadi mahal. Yang menjadi lebaran perlu modal besar. Sehingga mengharuskan setiap orang bekerja ekstra keras untuk memenuhi konsumsi lebaran

Apalagi sudah sekian lama, esensi hari kemenangan bergeser ke arah “materi”. Dandanan trendy, baju bagus dengan berbagai macam aksesoris. Sepatu, perhiasan dan kendaraan menjadi kultur baru yang berjalan seirama dengan syahdunya nuansa silaturahim bersama keluarga dan masyarakat. Rasanya tidak mantap manakala tidak dengan style yang “wah”

“Desertasi” masyarakat yang mengatakan bahwa lebaran adalah modal besar adalah penyebab sebagian orang (termasuk saya) yang terpaksa untuk memacu keringat lebih cepat keluar. Menegangkan otak untuk mencari terobosan agar “periuk” lebaran tetap aman

Yang jadi buruh maupun PNS (apalagi honorer) di waktu yang senggang nyambi menjadi tukang ojek atau berwiraswasta dadakan. Yang pejabat kadang harus memeras pengusaha. Pengusahanya memeras masyarakat dengan harga yang tinggi. Rakyat juga berharap dapat “angpau” dari para pemimpinnya. Ya, mirip siklus atau rantai makanan makhluk hidup

Bagi yang PNS, buruh apalagi pengusaha dan pejabat, kebutuhan berhari raya mungkin masih tercover. Namun bagaimana apabila mereka berprofesi ganda sebagai pemulung sekaligus pengemis seperti yang saya temui? Dan ini dilakukan oleh sekelompok anak kecil

Di saat hari masih gelap. Suara adzan subuh saja belum juga tenggelam. Di saat banyak anak seusianya masih terlelap merampungkan mimpi-mimpi indahnya, sekumpulan anak-anak justru sudah berkeliling menggendong karung putih lusuh yang diletakan di punggungnya, mengais rezeki dari sisa-sisa barang yang tak diperlukan lagi dari pemilik rumah

Mereka tidak mempedulikan papan yang tertulis “Pemulung Dilarang Masuk” di pintu masuk perumahan kami demi untuk bisa berlebaran layaknya teman-teman seumuran mereka. Sorenya (menjelang berbuka) dengan masih menenteng karung lusuh, mereka mendekat, menghiba dan meminta selembar rupiah untuk menyambung hidupnya

Uniknya, pemulung kecil itu semuanya perempuan dan Uniknya lagi mereka hanya “ngorbit” di saat bulan Ramadhan. Tidak di bulan-bulan lainnya. Apakah untuk memenuhi konsumsi hari raya? Jawaban pastinya itu yang saya belum tahu
*****
Kita tahu nilai-nilai spiritual dan sosial Idul Fitri sudah sekian lama tergerus oleh kultur konsumerisme. Meski sangat susah merubahnya, namun meski kita harus merubahnya, agar kita tidak jadi “korban” yang selanjutnya. Wallahua’lam



Selengkapnya...

Kamis, 27 Agustus 2009

PDIP-Golkar Merapat, Siapa yang Untung?

Rumor bakal merapatnya Partai Golkar (PG) dan PDIP ke kubu SBY semakin hari kian santer. Koalisi tambun itu akan mengancam jalannya pemerintahan karena bakal matinya mekanisme checks and balances. DPR dikhawatirkan tidak lebih sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah, sama seperti zaman Soeharto. Namun bisa saja bakal ada permainan politik lain, maka siap-siap saja SBY “dikadali”

Secara nyata, PDIP dan PG adalah musuh yang secara vis a vis berebut tahta politik tertinggi di negeri ini bersama SBY dari Partai Demokrat yang didukung rekan partai koalisi. Kemarin “bermusuhan” kemudian secara mengejutkan akan menjadi pendukung pemerintah. Ada apa ini?

SBY nantinya bakal dikadali lantaran ketika PDIP dan PG sudah mendapatkan kekuasaan dari hasil sharing power, mereka akan menunjukan watak aslinya, yaitu menjadi “musuh yang abadi”. Realita di lapangan, kedua partai besar tersebut tidak memiliki “kesetiaan politik” dalam mengusung agenda koalisi. Hal ini wajar, karena secara psikologi, sebagai partai “besar” pasti ingin menancapkan pengaruhnya di masyarakat

Selanjutnya, dengan masuknya PDIP dan PG secara de facto telah merusak bangunan rumah koalisi yang selama ini sudah dibangun. Partai-partai koalisi merasa dizalimi lantaran partai yang tidak berkeringat dan menjadi rival justru mendapat kue yang lebih enak lagi lezat

Apabila bila benar terjadi (masuk ke kabinet) maka ujungnya adalah tidak “ikhlas”nya kerja dari partai yang berbasis massa dari Islam ini. Inilah kerugian ganda apabila SBY jadi menerapkan strategi baru yang diberi label “rekonsiliasi” politik ini

PDIP pun setali tiga uang. Partai yang dipimpin oleh Megawati ini pun bakal mendulang kerugian. Pasalnya di lapisan grass root, banyak kader moncong putih ini yang tetap menginginkan PDIP berada pada jalur oposisi. Selain itu, kesan plin plan bakal lebih lekat untuk PDIP ini. Apalagi barter yang didapat “hanya” Ketua MPR dan jabatan menteri yang kurang “basah”.

Jika semuanya rugi, lantas siapa yang untung dari merapatnya PG dan PDIP? Satu-satunya partai yang beruntung adalah PG karena umur politiknya terselamatkan. Kekuasaan bagi PG adalah nafasnya. Manakala masih diberi kekuasaan, tandanya PG bakal masih hidup bahkan untuk kasus sekarang akan lebih dahsyat lagi mengoyak-ngoyak peta politik nasional pada 2014. Buktikan saja!



Selengkapnya...

Selasa, 25 Agustus 2009

Ketika Mas Gagah Pergi

Karya: Helvy Tiana Rosa

Mas Gagah berubah!. Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!. Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja… ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji.

Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.

Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak.

Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol. Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih koskosong nggak sih ?”

“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?”

Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?
“Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He…he…he..” kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat !

Itulah Mas Gagah!. Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah ! Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
–=oOo=–
“Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!

“Assalaamu’alaikuuum!” seruku. Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah. “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.

“Matiin kasetnya !” kataku sewot. “Lho emang kenapa ?” “Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab… , masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut. “Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !” “Bodo !”

“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek…, mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar.”

“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!” “Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”

“Pokoknya kedengaran!”. “Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho !” “Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya?

“Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !” begitu kata Mas Gagah.
Oalaa !
–=oOo=–

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma ‘adik kecil’nya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat tepat waktu, berjama’ah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam.

Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,”Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu !”

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga mama menegurnya.. “Penampilanmu kok sekarang lain, Gah?’. “Lain gimana, Ma ?” “Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”

Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.” Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino,” komentarku menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.”

Mas Gagah cuma terawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.
Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan.

Dan…yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah? “Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang !”

“Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. “Gita lihat khan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”

Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?

Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. “Baca!”
Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!”
Si Mas tersenyum.

“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya, Dik Manis !?”

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi nuntut ‘ilmu putih’? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun…, akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
–=oOo=–

“Mau kemana, Git!?” “Nonton sama teman-teman.” Kataku sambil mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!” “Ikut Mas aja, yuk!”

“Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat.

Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

“Assalaamu’alaikum!” terdengar suara beberapa lelaki. Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.

“Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng.

Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome!
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt !”

Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab…, yaaa begitu deh!!
–=oOo=–

“Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!” seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

“Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

“Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham.”

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.

“Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita…, meski kita kini punya pandangan yang berbeda,” ujar Tika tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…,” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Ana.”
“Mbak Ana ?”

“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!” “Hidayah ?” “Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Ana!”
–=oOo=–

“Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan…, eh Mas Gagah !” tegurku ramah. “Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

“Dari rumah Tika, teman sekolah,” jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?” tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, ganbar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku ke-Islaman..
“Cuman lagi baca !” “Buku apa ?”

“Tumben kamu pengin tahu?”
“Tunjukin dong, Mas…buku apa sih?” desakku.
“Eit…, Eiiit !” Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. “Nih!” serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah.

“Nah yaaaa!” aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku ‘Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam’ itu..
“Maaaas…”
“Apa Dik manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa ?”
“Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab…,” tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!!

“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di Belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit…”

Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…

“Kok…tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah !” Ujarku sekenanya.
“Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal demikian. Aku ngerti deh meski nggak mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!
–=oOo=–

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau ke tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.

“Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku. Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu.

Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek!
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab, Git !” pinta Mas Gagah suatu ketika.

“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!”
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama”. Memang sudah beberapa hari ini mama berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas, di beliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.

“Gita mau, tapi nggak sekarang…,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!

“Ini hidayah, Gita!” kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!” “Lho?” Mas Gagah bengong.
–=oOo=–

Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas Gagah-ku !”

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih?

Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yamh dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar! Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.

“Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri,” kata Mas Gagah. Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di hati ini.
–=oOo=–

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdalah.

Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.

“Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!” kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang.

“Mas Gagah belum pulang,” kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??!” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid.”. “Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.

“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !” Mama tertawa. Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
–=oOo=–

Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh…” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

“Nginap barangkali, Ma?” duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !!” Telpon berdering.

Papa mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah???”
“Ada apa , Pa?” tanya Mama cemas.
“Gagah…, kecelakaan…, Rumah Sakit… Islam…,” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaaahhh!!!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
–=oOo=–

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis.

Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.
“Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!” kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku, “Sabar, Sayang…, sabar.”
Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas…Gagah…, Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas… Gagah…,” bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…, Gita, Mama dan Papa butuh Mas Gagah…, umat juga.”

Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama ibu, bapak, dan Gi…”. “Gita..” suaraku serak menahan tangis.
“Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!

“Mas…, ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik. Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu. Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai.. jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya. Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

“Dzikir…, Mas,’ suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang…
“Gi…ta…”. Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
“Gita di sini, Mas…”. Perlahan kelopak matamya terbuka. Aku tersenyum.
“Gita… udah pakai… jilbab…,” kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.

“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…,” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!

Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…, Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

“Laa…ilaaha…illa…llah…, Muham…mad…Ra…sul…Al…lah…,” suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar.

Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.
Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi.
Selamat jalan, Mas Gagah !
–=oOo=–
(Epilog)
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun Sayang,

Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.
Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini…

Setitik air mataku jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, Insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!”
“Kok nanya gitu?”
“Lha, Mas Gagah ada jenggotnya!”
“Ganteng kan?”
“Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong ! Jihad itu… “

Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai.
Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan, Mas Gagah!



Selengkapnya...

Selasa, 11 Agustus 2009

Menakar Peluang Pemimpin Muda Di Kepri

Meski masih diadakan pada pertengahan 2010 mendatang, namun hajatan pesta Pemilihan Gubernur di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sudah ramai dibicarakan orang. Ramai media memberitakan bakal kandidat yang siap, mau dan layak untuk memimpin Kepri

Gayung pun bersambut. Partai-partai besar di Kepri beramai-ramai menyongsong perhelatan politik lokal ini. Setelah Partai Demokrat siap meramaikan bursa pilgub dengan kader terbaiknya, PDIP pun menyusul. Dan yang pasti Partai Golkar dan PKS juga sudah menakar siapa kadernya yang bakal dijadikan sebagai jagoan untuk meraih tahta politik tertinggi di provinsi ini

Partai politik sudah mulai menggadang-gadang atau bahkan mengelus-elus kandidat mana yang kelak akan mereka usung (maupun dukung). Tentu apa yang dilakukan masih sebatas “kuda-kuda”, mengingat kodrat politik sendiri yang bersifat sangat dinamis

Saat ini sudah bermunculan nama-nama yang secara tegas siap dicalonkan sebagai gubernur. Nama Huzrin Hood sudah mengemuka. Bahkan tokoh tempatan yang juga mantan Bupati Kabupaten Kepulaun Riau ini sudah mendeklarasikan diri sebagai calon pemimpin tertinggi provinsi ini. Selain itu ada Nyat Kadir yang secara terang-terangan siap dicalonkan menjadi Gubernur.

Selain nama-nama di atas, wakil rakyat terpilih dari Partai Golkar, Harry Azhar Aziz juga santer disebut layak menjadi Gubernur kedua Kepri. Tentu tidak ketinggalan incumbent, Ismeth Abdullah. Meski belum terbuka akan bertarung kembali, namun hampir dipastikan akan ikut berlaga menjaga kursinya. Selain itu Wakil Gubernur H.M Sani juga sepertinya bakal beradu keberuntungan di bursa kandidat Kepri 2010 mendatang

Nama-nama pendampingnya juga bermunculan. Sebagian besar adalah para petinggi di kota/kabupaten di Kepri, semisal Ahmad Dahlan, Ria Saptarika, Nurdin Basirun, Saptono Mustakim dan Walikota Tanjungpinang, Suryatati A Manan

Di Mana yang Muda?
Dalam konteks nasional, wacana pemimpin muda memang sudah lama digulirkan di negeri ini. Wacana itu terus saja menggelinding. Ibarat bola salju, semakin lama berputar maka bola itu semakin membesar. Tak lama muncul tokoh-tokoh muda menawarkan solusi untuk bangsa ini.

Wacana ini muncul seiring dengan tampilnya tokoh-tokoh muda dunia menjadi orang nomor satu di negaranya. Sebut saja Evo Morales, Presiden Bolivia yang berusia 49 tahun, kemudian dari Amerika Serikat muncul Barack Obama, 47 tahun. Dari benua lain ada nama Mahmoud Ahmadinejad yang terpilih menjadi Presiden Iran pada usia 49 tahun

“Perlawanan” dominasi tua di kancah perpolitikan nasional bahkan sekarang saat ini sudah menetes ke daerah-daerah. Wacana pemimpin muda sudah mampu menetaskan hasilnya. Lihat saja, di Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat, sebagian besar rakyat menghendaki kalangan muda untuk mengganti tongkat estafet yang sudah lama dibawa oleh para pemimpin yang sudah sepuh. Sehingga terpilihlah Syahril Yasin Limpo, Ahmad Heriawan dan Muhammad Zainul Madjdi sebagai Gubernur

Namun “aneh”, untuk konteks pemilihan gubernur di Kepri khususnya, semangat menghadirkan pemuda sebagai pemimpin sepertinya kurang mendapat dukungan yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari nama-nama calon kandidat gubernur yang sudah mengemuka saat ini, tidak ada satupun yang berusia di bawah 50 tahun.

Padahal sejarah telah membuktikan Muhammad sang ma’shum diangkat menjadi utusan Allah ketika berumur 40 tahun. Lewat ‘tangan dingin’ kepemimpinannya, menjadi cikal bakal perkembangan Islam sampai ke seluruh penjuru dunia sampai saat ini

Umar Ibn Abdul Aziz menggantikan posisi Khalifah Sulaiman Ibn Abdul Malik pada masa Khalifah Bani Umayah ketika berumur 36 tahun. Di zaman pemerintahannya berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mengkondisikan negaranya seperti saat empat khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) memerintah. Kebijakannya dan kesederhanaan hidupnya pun tak kalah dengan Khulafaur Rasyidin. Karena itu banyak ahli sejarah menjuluki beliau dengan Khulafaur Rasyidin kelima

Bahkan Sejarah Indonesia mencatat tampilnya anak-anak muda sebagai pemimpin bukanlah sesuatu yang baru. Soekarno dipilih sebagai presiden pertama pada usia 44 tahun. Penerusnya, Soeharto, dilantik sebagai presiden kedua saat berusia 46 tahun.

Usia tidak menjadi satu-satunya faktor yang menentukan seseorang bisa terpilih dan mampu memimpin. Rumus kepemimpinan hanya akan berjalan manakala di topang dengan empat karakter kepemimpinan sebagaimana yang yang diwarisakan dalam risalah kenabian.

Pertama, Shidiq. Dalam konteks kekinian berarti modal awal seorang pemimpin adalah moralitas yang tangguh. Kedua, Tabligh. Maksudnya komunikatif. Dekat dengan rakyat dan bukan tipe “Kacang lupa akan kulitnya”. Juga memiliki dan mampu membuat jaringan seluas-luasnya, baik dalam area lokal, nasional maupun internasional untuk kelancaran “investasi” modal politik dan juga investasi untuk Kepri

Ketiga, Amanah, yaitu sikap profesional yang diwujudkan dengan tidak melakukan korupsi, cekatan dalam bertindak dan mampu memberi solusi. Terakhir adalah Fathonah. Yaitu memiliki kapabilitas dalam menyelesaikan permasalahan. Memahami betul masalah dan solusi yang akan diberikan.

Kesimpulan
Kemunculan orang-orang muda dalam kancah politik adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin terelakkan. Saat perjalanan tidak lancar, macet atau tidak seperti yang diharapkan, maka orang-orang mudalah yang punya kewajiban memimpin barisan perubahan. Justru aneh kalau orang-orang muda malah tiarap, cuek dan apatis dengan apa yang terjadi di sekelilingnya

Berbicara peluang, hasil pilkada Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat membawa angin segar bagi generasi muda calon pemimpin yang akan maju sebagai kandidat Gubernur Kepri. Asal memiliki empat modal besar di atas, maka peluangnya justru lebih besar, karena pemuda tidak memiliki beban masa lalu

Untuk kasus Pilgub Jabar, kurang apa Danny Setiawan. Sebagai incumbent Gubernur Jabar. Bahkan sebelumnya, hasil survey berbagai lembaga menempatkan sebagai pemenang. Sementara Agum Gumelar, tokoh nasional yang sempat menyemarakkan bursa pemilu presiden-wapres 2004. Kenyataannya, Ahmad Heriawan dan Dede Yusuf yang berslogan HADE menjadi pemenang.

Kemudian kemenangan Syahril Yasin Limpo terhadap “atasannya”, Amin Syam dalam perebutan kursi Gubernur Sulawesi Selatan. Ini adalah bentuk kepercayaan dan keinginan yang nyata dari masyarakat terhadap sosok muda untuk menjadi pemimpin.

Bisa jadi masyarakat Kepri jenuh dengan calon tua yang dianggap mewarisi birokrasi pemerintahan yang tidak menghadirkan perubahan dan kesejahteraan. Bisa jadi masyarakat menginginkan sosok muda yang idealis, sederhana, tetapi berani menggariskan masa depan provinsi ini lebih baik.

Ayoo, mumpung masih cukup waktu untuk memompa popularistas, dukungan partai politik dan ujungnya adalah elektabilitas yang signifikan serta campaign management lainnya. Beranikah tokoh-tokoh muda Kepri? Semoga. Wallahua’lam



Selengkapnya...

Senin, 10 Agustus 2009

Benarkah Itu Noordin M Top?

Beberapa hari ini berbagai media cetak dan elektronik memberitakan informasi tentang tewasnya buronan gembong teroris kelas kakap, Noordin M Top dalam aksi penyergapan layaknya film aksi yang terjadi di Desa Beji, Kecamatan Kedu, Temanggung, Jawa Tengah

Anehnya, sampai hari ini (Senin, 10/8) kepastian siapa yang tewas dalam aksi baku tembak di rumah yang letaknya di tengah persawahan itu, pihak Polri belum berani mempublikasikan (siapa sebenarnya yang tewas). Kepastian identitasnya menurut Kapolri, Bambang H Danuri menunggu tes DNA (Deoxyribonucleic Acid). Tentu setelah di cross check dengan sampel dari keluarga teroris kelahiran Malaysia itu

Meski ada masyarakat yang 100 persen percaya dengan berita kematian Noordin tanpa harus menunggu tes DNA, namun di sisi lain kelambanan pengumuman Polri ini juga berujung dengan ketidak percayaan sebagian masyarakat terkait siapa yang tewas sebenarnya. Apalagi kinerja Densus 88 dalam mengidentifikasi teroris sering meleset, seperti pengidentifikasian terhadap jenazah dalam pengeboman hotel berbintang terbaru di Jakarta baru-baru ini, Ritz Carlton dan JW Marriot

Bahkan Sidney Jones dan pengamat terorisme, Al Chaidar tidak percaya bahwa mayat yang tewas adalah sosok yang selama ini dicari oleh polisi. Kepada INILAH.COM Al Chaidar mengatakan ada kejanggalan yang menguatkan jika satu orang yang tewas tersebut bukanlah Noordin M Top

Kejangggalan-kejanggalan tersebut adalah, polri tidak berani segera mengumumkan siapa sosok yang tewas, tidak melekatnya rompi dalam tubuh Noordin saat ditemukan tewas. Karena mengenakan rompi bunuh diri merupakan kebiasaan para pelaku teror bom. Yang ketiga, agak aneh jika Noordin terlihat sendiri ketika tewas

"Ini aneh, biasanya dia akan selalu pake bom rompi, atau minimal ada bom rompi di dekat-dekat dia yang bisa dipakai kalau perlu dan juga selalu dikelilingi oleh orang-orang kepercayaannya seperti kurir atau pengawalnya," beber Al Chaidar.

Namun, meski belum mengeluarkan pernyataan definitif, polisi meyakini bahwa orang yang tewas dalam ajang baku tembak di Desa Beji itu adalah Noordin M Top. Polisi pun membeberkan alasan-alasannya, salah sastunya adalah pelacakan komunikasi elektronik orang-orang kepercayaan teroris berkebangsaan Malaysia itu

"Kami sudah mengintai orang itu selama satu minggu. Kami ikuti ke mana pun dia pergi. Kami potret, bahkan kami tahu dia itu makan di mana. Kami juga tahu dia sempat tidur di kuburan," ujar seorang sumber Kompas.com di kepolisian dalam perbincangan, Senin (10/8) pagi.

Masyarakat kini sedang menunggu, siapa identitas sebenarnya pria yang tewas dalam pertempuran menegangkan itu. Jika memang benar Noordin M Top, maka layak Polri diberi apresiasi. Namun apabila meleset, maka sudah dipastikan reputasi kepolisian beserta intelejennya pantas diragukan. Ujungnya terorisme menjadi ancaman yang abadi di bumi pertiwi ini.



Selengkapnya...

Sabtu, 25 Juli 2009

Jatah Silfiana Sehari Cuma Rp. 500

Jarum jam menunjukan pukul 9.30. Namun saat itu, Sabtu (25/7) merupakan hari yang cukup menggembirakan bagi Silfiana. Gadis kecil berkulit hitam itu tanpa perlu waktu yang lama dapat tumpangan gratis setelah berjalan sekira 1 KM dari sekolahnya di Pancur, Sei Beduk

Serentak wajahnya langsung berbinar, ketika saya mau berhenti dan siap mengantarnya. “Ke Simpang DAM Om. Tapi nanti turun di simpang Panbil ya, Om mau ke Batam Center”. Itulah pengantar awal sebagai deal “ijab kabul”nya. Meski pada akhirnya tetap saya antar sampai Simpang DAM

Dalam perjalanan, saya korek informasi siapa sebenarnya sosok ‘tokoh’ kecil yang satu ini. Namanya Silfiana. Ia sekarang kelas II SD N di bilangan Sei Beduk. Ayahnya berinisial RM asli Lombok bekerja sebagai penyapu jalanan di Dinas Kebersihan. “Ayah kerja di yang dapat Adipura Om” (baca: Dinas Kebersihan dan Pasar), begitu penjelasan polosnya.

Silfiana cerita, setiap hari ayahnya sembari bekerja sekalian mengantarnya. Sedang ibunya, FT, asal Flores seorang ibu rumah tangga tulen. “Mama sama adek di rumah”, urainya

Sekilas tidak ada yang ‘aneh’ dari Silfiana. Namun ketika dia menceritakan bahwa setiap hari dia hanya dijatah Rp. 500 dalam sehari, saya jadi trenyuh. Bayangkan, Rp. 500 di Batam tak sanggup untuk membeli satu gorengan sekalipun. Apalagi untuk ongkos pulang naik Metro Trans, lebih lagi ojek? Uang itu hanya mampu untuk membeli permen 3, 4 maksimal 5 biji saja. Habis itu? Praktis setiap hari dia minta tumpangan gratis

Padahal Nazla sama Bila anak saya yang belum 3 tahun, hampir setiap hari ‘menghadang’ jamu gendong yang lewat di depan rumah. Sorenya sambil nyuapin di fasum perumahan, uminya melakukan ‘suap’ berupa jajan agar mau makan. Belum lagi kalau ke pasar atau belanja ke mini market, minta jatah ini dan itu. Anak-anak atau keponakan anda, saya yakin minimal sama, bahkan sangat mungkin melebihinya

Sedang ini Rp. 500 dipegang oleh anak yang sudah ngerti jajan. Apalagi sinetron telah berhasil mengajarkan kemewahan kepada penikmatnya, tak tekecuali untuk anak-anak. Saya tidak tahu, Silfiana sekeluarga hobi nonton sinetron atau tidak. Semoga tidak.

Namun sayang, Silfiana untuk tahun ini terpaksa tinggal kelas. Dengan malu-malu, ia mengatakan kepada saya kalau tahun ini tinggal kelas. Alibinya, setiap hari (katanya) terus belajar.

Memori saya dipaksa untuk mengingat proses penerimaan murid baru di sekolah “plat merah” belum lama ini yang kocar-kacir. Tidak usah bicara kebobrokan, jika fair play saja, maka sekolah akan mengutamakan calon siswa/i yang memiliki nilai UN yang tinggi. Lantas bagaimana dengan Silfiana kelak?

Mungkin jika dia anak orang berpunya bisa langsung didaftarkan di bimbingan belajar Primagama dan sejenisnya. Sedang yang menjadi kenyataan, ia terlahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai penyapu jalanan, yang setiap hari baru mampu memberi uang saku kepada anaknya Rp 500.

Lantas, bagaimana nasib Silfiana-Silfiana lainnya yang (maaf) miskin dan bodoh. Haruskah mereka menyandang stigma ketiga yaitu, putus sekolah atau tidak sekolah. Wahai pembuat kebijakan, seriuslah untuk mengurus mereka. Jangan sampai sudah miskin, bodoh, tidak sekolah pula!. Astaghfirullah …


Selengkapnya...

Rabu, 22 Juli 2009

Musyawarah dan Kemaslahatan Konklusi

Banyak media memberitakan, saat ini kerap ditemui adanya gesekan yang mengarah perpecahan yang terjadi antar personal maupun institusi. Parahnya benih-benih perpecahan itu bukan hanya “monopoli” lembaga politik saja, namun sudah menjalar ke hampir semua lembaga, tak terkecuali lembaga terkecil seperti keluarga maupun lembaga “suci” yang dinisbatkan kepada organisasi massa maupun politik yang berideologi agama

Sudah menjadi rahasia umum, manakala organisasi melakukan pergantian struktur kepemimpinan, maka hampir dipastikan bakal ada perpecahan. Sangat sedikit parpol yang dalam suksesi kepemimpinannya berjalan mulus.

Di sisi lainnya, setiap hari infotainmen mengabarkan sejumlah pasangan selebriti yang keluarganya berantakan. Celakanya informasi di atas menjadi referensi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga pertengkaran dan perceraian menjadi tak terelakan lagi

Mengapa hal itu terjadi? Lantaran semuanya berharap kepentingan pribadinya lah yang harus diakomodir. Meski demikian, sebenarnya memiliki keinginan adalah fitrah manusia, untuk itu agar tidak liar, Islam mewajibkan musyawarah dalam menentukan segala sesuatu. Tentu dalam batasan yang tidak melanggar syariat yang sudah ditetapkan oleh nash (Al Qur’an dan Sunnah)

Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa, musyawarah merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Hal ini karena dalam kehidupan berjamaah, ada banyak kepentingan, kebutuhan maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi secara bersama-sama agar bisa terjalin kerjasama yang apik. Untuk itu dalam proses musyawarah itulah, harus berlangsung apa yang disebut dengan dialog dua arah.

Menurut Wikipedia, musyawarah adalah proses deliberasi atau berembuk yang mempertimbangkan semua sisi dari sebuah isu. Sedang menurut Ahmad Yani dalam “Musyawarah Dalam Kehidupan Seorang Muslim”, musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.

Regulasi Rabbani
Allah menciptakan manusia dengan keinginan dan isi otak yang berbeda-beda. Andai tidak ada “the rule of game”, maka dapat dipastikan akan timbul permasalahan. Petunjuknya adalah adanya regulasi Rabbani yang disebut dengan musyawarah, baik dalam skala keluarga sampai bernegara

Di dalam Al-Qur’an, sedikitnya terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang syura. “Dan (bagi) orang–orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka ….” (QS: 42: 38). Kemudian QS: 3: 159 “…. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahkan dengan mereka dalam urusan itu ….”

Ayat pertama (QS: 42: 38) masuk dalam kelompok Surat Makkiyah (surat yang turun di Mekah) sedangkan ayat kedua (QS: 3: 159) dikategorikan sebagai Surat Madaniyah (surat yang turun di Madinah). Itu artinya perintah bermusyawarah sudah ada sejak awal Islam dan eksistensinya tetap berlanjut sampai Islam masuk dalam wilayah daulah Islamiyah

Di ayat yang ketiga “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya …” (QS: 2: 233)

Dari ayat-ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa musyawarah menempati posisi yang istimewa dalam Islam. Pertama, musyawarah keberadaannya persis di bawah perintah mendirikan sholat. Oleh sebab itu, masyarakat yang mengingkari atau mengabaikan syura dapat dianggap sebagai masyarakat yang cacat dalam komitmen terhadap salah satu bentuk ibadah.

Kedua, dalam menghadapi persoalan harus menjadikan musyawarah sebagai jalan keluar, karena tanpa musyawarah akan kehilangan kemaslahatan dan yang ketiga secara khusus dalam persoalan rumah tangga kesepakatan suami dan istri berjalan melalui mekanisme musyawarah

Musyawarah dan Politik Indonesia
Semasa orde Baru, kalimat musyawarah (mufakat) suaranya nyaring terdengar. Namun sayang, kalimat yang nyunah tersebut disalah artikan sebagai retorika untuk mengontrol kebebasan politik

Secara pendek kata musyawarah dalam konteks politika orba berarti memaksa peserta rapat untuk menerima keputusan penguasa atau kelompok yang berkuasa. Musyawarah secara halus berarti intimidasi, menekan atau mendesak (wikipedia.com)

Padahal dalam persoalan politik kenegaraan pada masa Rasulullah memimpin senantiasa menggunakan jalur musyawarah. Dalam sejarah Nabi kita dapati bagaimana Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya.

Ketika hendak berhijrah ke Madinah, beliau kumpulkan sahabat-sahabat utama untuk bermusyawarah guna membicarakan strategi penting perjalanan hijrah. Bahkan dalam masalah perang sekalipun prinsip musyawarah tetap dilakukan, padahal Nabi Muhammad adalah orang yang mulia dan mendapat akses wahyu langsung dari Allah

Kesimpulan
Manakala musyawarah telah dilaksanakan dengan baik, ada banyak hikmah yang akan diperoleh bagi kaum muslimin dalam kehidupan berjamaah. Ali ibn Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam mussyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindrakan celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati dan mengikuti atsar (Yunahar Ilyas: Kuliah Akhlaq: 232)

Sebaliknya, siapapun yang meninggalkan syura dalam menyelesaikan persoalannya, maka secara nyata telah melakukan ‘pembangkangan’ terhadap perintah agama, karena musyawarah merupakan sifat yang melekat dalam tubuh umat Islam, seperti halnya sholat, puasa, zakat dan pilar Islam lainnya.

Sebenarnya musyawarah bukan monopoli umat Islam saja, prinsip ini merupakan bagian integral fitrah manusia baik secara individu maupun kelompok. Hal ini sebagaimana dalam Kisah Ratu Balqis terkait dengan surat Nabi Sulaiman (lihat QS: 27: 32-33) dan kisah Fir’aun setelah mengetahui kekuatan Nabi Musa (QS: 26: 34-37) Wallahua’lam
Selengkapnya...

Jumat, 10 Juli 2009

2009, Awal Kiamat Golkar?

Ketika menyebut Partai Golkar (Golkar), semua orang pasti mengenalnya. Dari orang awam apalagi bagi para intelektual, nama Golkar begitu familiar bagi mereka. Entah itu terkenal karena sesuatu yang positif maupun negatif.

Hal ini wajar, karena sejak mulai berdiri, kader-kadernya selalu menjadi bagian dari kekuasaan di negeri ini. Sekitar 40 tahun Golkar mendominasi jalannya pemerintahan republik ini

Riak-riak kecil perbedaan dalam tubuh internalnya, tidak membuat partai yang identik dengan cap orde baru ini berantakan. Golkar mampu mengemas perbedaan menjadi ‘bumbu penyedap’ yang justru menggairahkan rasa perjalanan partainya.

Bahkan di awal reformasi, Golkar yang berada di titik nadir kepercayaan masyarakat, rupanya tetap terbukti ampuh dengan mampu memperoleh suara yang signifikan dan duduk pada urutan kedua setelah PDIP pada pileg 1999. Lima tahun kemudian Golkar mampu menjelma menjadi pemenang kembali.

Apa rahasia ‘kehebatan’ Golkar? Selain memiliki SDM yang bagus, kehebatan lain sehingga memiliki kemapanan politik ini karena Golkar senantiasa berada dalam lingkaran kekuasaan. Bagai ikan, kekuasaan bagi Golkar adalah airnya.

Namun, jangan kaget manakala mulai tahun 2009 nama Golkar bakal semakin tidak terdengar. Pasalnya partai pemenang pemilu 2004 ini keok dalam ajang pileg dan pilpres, yang imbasnya adalah sangat mungkin tidak kebagian kue power sharing. Inilah sumber petaka utamanya

Benih-benih kehancuran Golkar sudah mulai tersebar. Jeblok di pileg, dari rangking pertama, turun ke peringkat tiga. Tuah Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden rupanya tidak cukup ampuh untuk mendongkrak suara partai berlambang pohon Beringin ini.

Bahkan diajang pilpres, pasangan JK-Wiranto jadi juru kunci, dengan meraih perolehan persentase suara yang lebih kecil dari suaranya ketika pileg. Basis suaranya merosot tajam, seperti di Kepri, Riau dan Babel. Bahkan hampir di seluruh provinsi.

Namun, semua itu tergantung SBY. Apakah akan tega memunahkan Golkar atau tidak. Namun SBY juga harus ingat, kader-kader Golkar ujar salah satu Ketua DPP Golkar, Zainal Bintang, malah bisa merepotkan citra pemerintahan SBY nantinya jika direkrut dalam kabinet. “Partainya saja dikhianati apalagi SBY “, terangnya.

Kemudian, partai koalisi juga harus tegas untuk menutup pintu bagi partai yang tidak berkeringat mendapat jatah menteri. Suara PKS yang menolak Golkar ditarik dalam kabinet SBY, harus disambut oleh rekan partai koalisi lainnya. Apalagi, menurut pengamat politik, Bachtiar Ali SBY tanpa Golkar pun dirinya bisa mulus menjalankan kekuasaan. Karena kekuatan SBY di parlemen begitu signifikan.

Memang sepertinya Golkar harus mulai berani membuka lembaran baru menjadi oposisi. Mungkin kelihatan ‘gambling’. “Kalau Golkar jadi oposisi, check and balance jadi lebih kuat di parlemen. Siapa tahu bila Golkar jadi oposisi akan lebih baik dari PDIP," ujar Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq kepada INILAH.COM, Jakarta, Jumat (10/7).

Tentu, Golkar juga harus menata diri kembali agar tidak ‘punah’ pada 2014. ”Konsolidasi diperlukan agar partai ini lebih besar dan solid sehingga bisa dipercaya rakyat pada 2014,” cetus analis politik Universitas Indonesia, Bachtiar Ali bisa dijadikan sebagai obat kegagalan



Selengkapnya...

Senin, 06 Juli 2009

Muhammadiyah (sudah) Berubah

Adanya pergeseran figur kepemimpinan dalam tubuh Muhammadiyah dari kalangan ulama ke akademisi (juga politisi) adalah hal yang tidak terlalu merisaukan saya sebagai anak yang lahir dari rahim keluarga Muhammadiyah. Namun, apabila ormas yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini sekarang menjadi kagetan dan meledak-ledak, maka itu adalah hal yang justru melemahkan bagi organisasi yang didirikan pada tahun 1912 ini

Muhammadiyah dahulu dikenal sebagai gerakan dakwah yang puritan dan modern. Beberapa kali Majlis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa yang pada awalnya kontroversial, namun lambat laun ternyata diamini oleh banyak orang, termasuk yang mengkritiknya.

Pada saat itu di sana duduk ulama dakwah sekaliber KH AR Fahruddin yang memiiliki keluasan ilmu. Disusul KH A. Azhar Basyir, MA, seorang akademisi yang sekaligus ulama yang menguasai bidang ilmu fiqih yang diakui oleh dunia Islam. Belum lagi kepemimpinan para tokoh sebelumnya, semacam Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansyur dan lainnya

Muhammadiyah juga familiar dengan jumlah amal usaha yang luar biasa. Ada PKU Muhammadiyah yang tersebar di banyak kota di Indonesia, ada panti asuhan dan banyak lainnya. Bidang pendidikan juga digarap oleh ormas yang lahir di daerah Jogja ini.

Namun lambat laun Muhammadiyah mengalami perubahan. Diawali di penghujung kepemimpinan Amien Rais sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah (sebutan Ketua Umum pada masa itu) yang membawa gerbong Muhammadiyah ke politik praktis. Prof. Syafii Ma’arif juga belum bisa mengembalikan Muhammadiyah sebagai “macan” dakwah. Terakhir, Din Syamsudin sebagai pucuk pimpinan ternyata gaya kepemimpinannya lebih politis dari lainnya.

Diajang pilpres ini, Muhammadiyah tidak malu-malu dijadikan sebagai kendaraan politik oleh pengurus-pengurusnya. Di banyak kegiatan tabligh akbarnya, secara terang-terangan sang da’i mengajak jama’ah untuk memenangkan salah satu kandidat pilpres 2009

Bahkan terbaru, Din Syamsudin menjadi fasilitator atas tuntutan penyelesaian daftar pemilih tetap (DPT) oleh pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta Ahad (5/7)

Memang benar, politik dan Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan, namun apabila fenomena dukung-mendukung di ajang resmi (tabligh akbar), apalagi memanfaatkan amal usaha (Gedung Dakwah PD, PW atau PP Muhammadiyah) dijadikan sebagai ajang kampanye, jelas bukan merupakan budaya Muhammadiyah.

Jadi jangan sampai karena ulah segelintir elit, tujuan Muhammadiyah jadi berubah
Selengkapnya...