Senin, 29 Juni 2009

Isra’ Mi’raj dan Lukisan Peradaban

Oleh: Ibnu Syakir

Saat ini dalam kalender hijriyah kita masih berada pada awal perjalanan bulan Rajab. Sebagai umat Islam, ketika mendengar bulan Rajab, maka yang akan teringat adalah sebuah peristiwa besar pada diri sang Rasul yang ma’shum ketika melakukan perjalanan spektakuler yang populer disebut dengan peristiwa Isra’ Mi’raj.

Spektakuler karena perjalanan di atas adalah rekreasi yang luar biasa. Kendaraannya bukan lagi bus kota, kereta cepat atau pesawat pribadi sekalipun, akan tetapi Buroq. Tujuannnya tidak ke Jakarta, Batam, LA. Bukan pula London, namun Shidratul Muntaha. Urusannya bukan urusan politik, budaya dan ekonomi, namun urusan keumatan

Momentum sejarah tersebut adalah peristiwa yang sangat luar biasa. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha, di Palestina, kemudian dilanjutkan dengan menembus lapisan langit tertinggi (Shidratul Muntaha). “Uniknya”, semua itu ditempuh dalam waktu sehari semalam. Peristiwa mengagumkan yang diterima Rasulullah SAW.

Selain kewajiban sholat lima waktu, pelajaran yang dapat diambil dari Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW adalah sifat tanggung jawab yang besar kepada umatnya untuk melakukan ishlah (perbaikan).

Bayangkan, Rasulullah sudah sampai di Shidratul Muntaha, sebuah tempat yang tidak ada tetesan darah dan air mata. Tempat yang tidak bakal ditemui adanya orang kepayahan, baik karena kelaparan, ketidak adilan, pertikaian dan peperangan antar suku dan kabilah sebagaimana yang terjadi di jazirah Arab dan bumi-bumi lainnya

Namun Rasul lebih memilih untuk segera pulang ke bumi, untuk menemui sahabat-sahabatnya . Untuk menyampaikan sabda-sabdanya. Untuk menyampaikan firman-firman-Nya. Rasul lebih memilih untuk segera ke bumi, untuk mendakwahi sanak kerabatnya dan kaumnya yang pada saat itu masih banyak yang hidup dalam kubangan kesyirikan dan keabsurdan lainnya. Meski resiko yang akan dihadapi tidaklah ringan
********
Namun, saat ini kita menyaksikan orang-orang yang sedang singgah di “Shidratul Muntaha” itu kini banyak yang tidak mau turun lagi ke “bumi”. Di sana, mereka terbawa mimpi bersama kemewahan, kehormatan dan keistimewaan. Mereka telah lupa dengan tugas dan kewajiban pokoknya, yaitu untuk melakukan perbaikan.

Mereka adalah para penguasa yang sibuk dengan kursinya. Mereka dibutakan oleh realitas bahwa masyarakatnya masih banyak yang butuh uluran tangan karena kemiskinan, kebodohan dan seabrek persoalan lainnya

Mereka juga para agamawan yang hanya “berasyik masyuk” dengan ibadah transendentalnya, tanpa peduli dengan kondisi umatnya yang masih diselimuti oleh tindakan amoral. Diperparah mental mereka yang masih tergantung dengan ‘jatah makanan olahan’ dari objek dakwahnya

Mereka juga para pebisnis yang hanya memikirkan perniagaannya bagaimana meraih keuntungan yang besar tanpa berpikir bagaimana kesejahteraan buruh mereka. Mereka juga kaum intelektual yang waktunya hanya dihabiskan dengan diktat dan buku-buku tebal. Bahkan mereka juga adalah masyarakat yang cepat menyerah dan apatis melihat kerusakan

Muhammad Iqbal menyentil model orang-orang seperti di atas dengan senandungnya, “Andai aku adalah Rasulullah. Maka, aku tak akan turun lagi ke bumi. Setelah sampai di Shidratul Muntaha “. Sosok fenomenal legenda sastrawan dunia itu mengkritik, karena mereka terlena dengan manisnya hidup di “Shidratul Muntaha”, sehingga melupakan kewajiban yang sesungguhnya

Peringatan Isra' Mi'raj sebagai motivasi
Menurut beberapa buku sejarah kehidupan Rasulullah SAW (Sirah Nabawiyah), Isra’ Mi’raj adalah “hadiah hiburan” oleh Allah untuk Nabi Muhammad. Saat itu, Rasulullah mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Beliau ditinggal oleh istrinya tercinta, Khadijah, yang setia menemani dan menghiburnya dikala orang lain masih mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, yang (walaupun kafir) tetapi dia sangat melindungi aktivitas dakwah Nabi.

Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, menambah perasaan Rasullah semakin berat dalam mengemban risalah Ilahi. Lalu Allah "menghibur" Nabi dengan memperjalankan beliau, sampai kepada langit dan menemui Allah.

Rasulullah sangat paham, pilihannya untuk kembali ke bumi akan menemui resiko yang dahsyat dari orang-orang kafir Quraisy. Pasca wafatnya Khadijah dan Abu Thalib membuat aksi brutal kaum Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaan kepada Nabi. Namun Al Amin siap menanggung segala macam resikonya

Persis seperti kegelisahan KH. Rahmat Abdullah yang menulis “Seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Tak satu pun. Bila semua pihak menghindar, biarlah saya menanggungnya, semua atau sebagiannya. Saya harus mengambil alih tanggung jawab ini , dengan kesedihan yang sungguh, seperti saya menangisinya seperti saat pertama kali di mata air peradaban modern, beberapa waktu silam … “

Semua berharap, orang-orang yang sedang singgah di “Shidratul Muntaha” itu adalah orang-orang yang siap menanggung dan siap bertanggung jawab atas berbagai persoalan keumatan. Pasti secara gradual, langit yang gelap akan cerah kembali.

Semoga semangat Isra’ Mi’raj dapat menjadi motivasi, sehingga mereka mampu melukis peradaban dengan hasil yang cemerlang, sebagaimana janji-Nya “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (QS: 94: 6). Semoga. Wallahua’alam



Selengkapnya...

Jumat, 26 Juni 2009

Sebelum Sumber Masalah Menjadi Raksasa

Banyak maling uang rakyat masih bisa cengengesan di persidangan. 10 M, 100 M atau bahkan 1 T sampai ber T-T uang rakyat dilahap, mereka tetap enjoy. “Anehnya”, mereka masih mengenakan busana necis bak seorang juru selamat. Sangat kontras dengan kehidupan “bumi” yang tega dan keras. Maling telur, maling ayam atau sandal harus melalui “akademi militer” massa alias jadi bulan-bulanan
********
Seperti biasa, sembari menunggu istri melakukan aksi belanja di sebuah pasar tradisional yang ada di wilayah Sei Beduk, saya lebih memilih jalan-jalan mengelilingi pasar bareng Nazla dan menunggu (lebih tepatnya menjaga) putri sulung kami bermain dengan kucing pasar yang bersih dan lucu.

Hari itu tidak seperti biasa. Hampir setengah jam berlalu, Ummu Bila belum juga nongol dan mengajak kami untuk segera pulang. Tanpa musyawarah, saya langsung menggendong Nazla masuk ke pasar. Alangkah terkejutnya, karena saat itu suasana di dalam pasar sedang “panas” dan “chaos”.

Tak jauh dari tempat langganan istri saya membeli kebutuhan harian, ada seorang yang dihardik secara masal. Alhamdulillah tidak terjadi penghakiman massa. Usut punya usut ternyata orang tersebut membawa tujuh buah telur tanpa bayar alias mencuri. Gara-gara 5 butir telur ayam dan 2 butir telur bebek itulah yang membuat dia harus mengenang kisah pahitnya seumur hidup.

“Kasihan ya Mi, gara-gara 7 telur malu seumur hidup. Emang berapa sih harga semuanya?” Tanya saya ke istri. “Di pasar sering terjadi (pencurian) kok mas, modusnya juga bermacam-macam. Sepertinya bukan karena gak punya duit lho mas, buktinya tadi ketika dikejar dan dihardik rame-rame juga bayar”, terang istri panjang kali lebar.

“Baik sangka dong Mi, mungkin ibu tadi benar-benar lupa, atau memang karena terpaksa mencuri. Mungkin duit yang tadi buat bayar sebenarnya buat beli beras atau lainnya”, tumben, mendadak naluri sosial saya muncul

Saya yakin ada ribuan kasus yang sama di pasar-pasar di seluruh Indonesia. Ambilah pelajaran dari kisah di atas. Jangan sampai rumah kita tiap hari membuang makanan, sementara tetangga kita kelaparan, sehingga membuat mereka nekad untuk mencuri demi mengganjal perut yang memang tak mau diajak kompromi.

Teng, saya langsung teringat negeri ini. Banyak maling uang rakyat masih bisa cengengesan di persidangan baik di daerah maupun di pusat. 10 M, 100 M atau bahkan 1 T sampai ber T-T uang rakyat dilahap, mereka tetap enjoy. “Anehnya”, mereka masih mengenakan busana necis bak seorang juru selamat. Sangat kontras dengan kehidupan “bumi” yang tega dan keras. Maling telur, maling ayam atau sandal harus melalui “akademi militer” massa alias jadi bulan-bulanan

Sebelum masalah menjadi raksasa kita harus potong eksistensinya. Sepakat dengan statement Hidayat Nur Wahid, para koruptor pantas di dor mati saja kalau nominalnya keterlaluan. Siapapun mereka.

Bukankah “perut” sumber masalah? Lapar masalah, kekenyangan juga jadi masalah. Siapapun kelak pemimpinnya, mereka harus “Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta Menegakkan Supremasi Hukum dan HAM” sesuai tema debat capres putaran pertama. Ya, meski tidak seru, namun setidaknya janji-janji mereka wajib dipertanggung jawabkan.

Komponen trias politica, aghniya dan agamawan serta semua saja harus buka mata dan jangan tutup telinga, sebab masalah di atas adalah realita. Lantas, apa trobosannya?
Selengkapnya...

Minggu, 14 Juni 2009

Wacana Satu Putaran Bagai Bola Salju

Meski wacana menang satu putaran yang dihembuskan oleh timses SBY-Boediono masih pro kontra, namun bagi mitra partai koalisinya wacana tersebut menjadi senjata yang ampuh untuk menggerakan mesin partai

Buktinya, target menang satu putaran juga kembali bergema di Gedung Sumatera Promotion Center, Batam. Penabuhnya tidak lain adalah Muhammad Razikun. Ketua Bapilu DPP PKS pada acara Deklarasi PKS Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) untuk pasangan SBY-Boediono, Ahad (14/6) ini mengatakan, PKS akan all out mengantarkan pasangan nomor dua ini menang dengan cukup satu putaran.

Menurut Razikun, target memenangkan pilpres dengan satu putaran bukanlah hal yang muluk-muluk, mengingat jumlah suara kursi di parlemen maupun suara partai pendukung SBY-Boediono sekitar 60 persen. “Apalagi Tsunami Partai Demokrat dan kesolidan kader PKS bakal disatukan,” jelasnya

Hal senada juga dikatakan oleh Wildan Hadi Purnama. Menurut Ketua DPW PKS Kepri ini, menang dengan cukup satu putaran lebih efektif dan efisien, baik dari sisi anggaran negara maupun terkait dengan jalannya pemerintahan.

Mengutip pendapat Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, Wildan menjelaskan, anggaran untuk pelaksanaan pilpres memakan anggaran sebesar 4 Triliun. “Ini hampir sama dengan biaya pembangunan jembatan Suramadu,” ujarnya

Menurut dia, jika harus memenangkan dengan dua putaran, maka akan semakin banyak anggaran yang dikeluarkan. Selain itu, (menang satu putaran) akan membuat roda pemerintahan akan lebih efektif, karena langsung bekerja tanpa harus menunggu ‘ronde” kedua.

Beberapa hari lalu, wacana menang satu putaran banyak ditanggapi oleh tokoh nasional. Menurut Anggota Majelis Syuro PKS yang juga Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, kemenangan pasangan capres dalam satu putaran akan memaksimalkan waktu dan meminimalkan anggaran. Deni JA berperndapat, jika pemilu presiden berlangsung dua putaran, ketidakpastian dan ketegangan politik akan berlangsung lebih panjang

Sedang menurut pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin, alasan efisiensi dan stabilitas politik adalah alasan yang mengada-ada. “Itu alasan yang dibuat-buat. Kalau mau efisien, ya tinggal tunjuk saja presidennya," kata Irman kepada INILAH.COM di Jakarta

Terlepas dari pendapat di atas, wacana menang satu putaran kini bagaikan bola salju yang terus saja menggelinding. Semakin lama bola itu berputar akan semakin besar pula masyarakat yang akan terpengaruh. Ini dikarenakan alasan yang sangat rasional dan langsung menembus “jantung pertahanan” masyarakat, yaitu alasan keamanan dan perut. Tidak percaya? Buktikan saja!
Selengkapnya...

Selasa, 09 Juni 2009

Meleset, Lembaga Survey Harus Dihukum!

Jagad perpolitikan Indonesia kembali dibikin geger. Gonjang-ganjing ini mencuat seiring dengan hasil survey yang dirilis oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI). Tidak main-main, survey yang dilaksanakan pada 25 hingga 30 Mei 2009 ini hasilnya menempatkan pasangan SBY-Boediono melesat meninggalkan pasangan lainnya dengan persentase yang sangat fantastis

Dalam survei tersebut, SBY-Boediono meraih sekitar 70%, Mega-Prabowo mendapat 18%, dan untuk JK-Wiranto “hanya” 7%. Survei ini memiliki margin error plus minus 1,8 % dengan tingkat kepercayaan 95%.

Ibarat api yang membakar ranting kering, dalam waktu sekejap, hasil LSI ini langsung menyebar dan memanaskan banyak pihak. Berbagai komentar miring dituduhkan kepada LSI dan SBY-Boediono beserta timsesnya. “Kenapa tidak 99% sekalian”, kata JK. Hal senada dikatakan oleh Megawati

Bahkan, bukan saja antar capres dan timsesnya, sesama lembaga survey pun saling mencakar. Lembaga Riset Informasi (LRI) langsung membuat survey “tandingan”. Hasilnya, SBY-Boediono dipilih 33,02% responden, sementara JK-Wiranto mengantongi 29,29%, dan Mega-Prabowo diperkirakan dipilih 20,09%.

Hampir bersamaan dengan LRI, Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melalui metode survei telepon (telepolling) untuk mengungkap preferensi politik masyarakat. Survey ini menempatkan SBY-Boediono mencapai 54,9 persen. Peringkat kedua ditempati pasangan Megawati-Prabowo dengan tingkat elektabilitas 9,7 persen, sedangkan JK-Wiranto sebesar 6,8 persen.

Jika diamati, maka antara LSI dan LP3ES hasilnya ada kemiripan, yaitu dengan menempatkan Mega-Prabowo pada posisi nomor dua. Dan SBY meraih persentase di atas 50%. Berbeda dengan survey LRI yang “menghadiahi” pasangan nusantara, JK-Wiranto persis di bawah SBY-Boediono, dan selisihnya pun tidak terlalu jauh.

Kontan, masyarakat pun dibuat bingung. Apalagi tantangan saling menutup jilid II antara LSI dan LRI apabila prediksinya meleset pun dikumandangkan lagi. Lantas, lembaga mana yang pantas dijadikan referensi. Benarkah ada penggadaian intelektualitas demi mengeruk keuntungan? Atau mungkin sebagai intelektual campaign?

Jika tidak segera direm, yang akan terjadi adalah lembaga survey akan semakin liar dan kian membingungkan. Pasti, menjelang pencontrengan pilpres akan dirilis kembali hasil survey lembaga tertentu untuk menggiring persepsi publik

Melihat prediksi hasil pileg, LSI “lebih aman” dari LRI, mengingat lembaga pimpinan Johan O Silalahi ini pernah meleset jauh menebak siapa yang bakal menjadi jawara pileg 2009. Meski demikian, meminjam istilah Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, survey itu bukan Tuhan yang perlu diikuti dan juga bukan hantu, yang harus ditakuti.

Andai lembaga survey tidak segera “tobat” dalam membingungkan masyarakat, maka masyarakat pasti akan memberi “hukuman” kepada lembaga survey yang meleset. Karena sebenarnya mereka mendambakan lembaga survey yang terpercaya.
Selengkapnya...

Jumat, 05 Juni 2009

Wapres, Ban Serep dan Masa Depan Demokrasi

Oleh: Ibnu Syakir*

Pada Kamis malam (4/5), di “Ring Politik”, sebuah acara politik yang digelar oleh salah satu televisi swasta, Calon Wakil Presiden pendamping Megawati Soekarnoputri, Letjend (Purn) Prabowo Subianto mengatakan bahwa dirinya jika kelak terpilih akan mendapat kewenangan yang tidak sekedar ban serep dalam menjalankan roda pemerintahan

Prabowo dengan jelas mengatakan bahwa ia maju ke gelanggang politik ini untuk memberikan perubahan ekonomi. Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra ini pun terang-terangan sudah disetujui (Megawati) untuk berperan lebih banyak dalam bidang ekonomi

Hal senada juga pernah dikatakan oleh cawapres pasangan SBY, Boediono. Sebagaimana banyak media memberitakan, Boediono menerima tawaran mendampingi SBY, lantaran ia meyakini ada kesempatan baginya untuk memberikan kontribusi kepada bangsa, untuk itu dengan kapabilitas yang dimiliki, ia pun tidak ingin dijadikan ban serep.

Tentu hal di atas juga menjadi pengharapan Jendral (Purn) Wiranto sebagai cawapres dari Jusuf Kalla (JK). Ibarat ketiban durian runtuh, saat diskusi di Graha Pena, JK juga menyatakan jika memang terpilih menjadi presiden, dirinya tidak akan memposisikan wapres sebagai sekadar ban serep atau pembantu. Wapres juga punya peran untuk mengisi kekurangan di pemerintah. “Dibantu itu bukan berarti pembantu,” tegasnya.

Ban Serep dan Masa Depan Demokrasi
Setelah kontrak politik disepakati, mitra koalisi fokus untuk meraih kemenangan. Mesin-mesin koalisi politik pun digerakan. Masing-masing pasangan berkeyakinan dapat memenangkan pertempuran. Namun yang pasti, salah satu diantara tiga ada yang menjadi pemenang. Entah pasangan Mega-Prabowo, Duet SBY-Boediono atau dwi tunggal JK-Wiranto.

Siapapun yang menjadi pemenang, akan muncul banyak persoalan. Selain permasalahan hutang luar negeri dan seabrek problem bangsa, juga persoalan yang menyangkut akad koalisi antar parpol. Adakah jaminan (secure) konsistensi dari perjanjian yang disepakati bersama? Mengingat semua parpol yang berkoalisi (dengan parpol 'induk') memiliki perolehan suara yang njomplang (Jawa: sangat jauh bedanya). Pertanyaannya adalah seberapa kuat ikatan kontrak politiknya?

Dikhawatirkan parpol induk akan berlaku semena-mena. Bukan sekadar dalam tataran power sharing, namun juga dalam hal lainnya. Lihat saja, Mega-Prabowo yang diusung oleh PDIP-Partai Gerindra, jaraknya cukup jauh antara 14,50% dan 4,23%. Untuk SBY-Boediono, perolehan suara Partai Demokrat dengan partai pendukung lainnya juga tidak imbang. Terakhir, JK-Wiranto selisihnya terpaut sampai 11%.

Melihat kondisi di atas, sangat terbuka peluang bagi partai induk (PDIP, Partai Golkar atau Partai Demokrat) untuk melakukan “penghianatan” terhadap anggota koalisi. Kondisi ini diperparah dengan perjalanan kedewasaan politik yang dipraktekan oleh banyak parpol di Indonesia yang masih jauh panggang dari api

Namun, andai SBY-Boediono menang, partai pendukungnya memiliki posisi yang lebih nyaman, karena selain berada dalam daftar partai tengah, PKS, PAN, PPP, dan PKB juga sama-sama memiliki ideologi dan basis massa yang sejenis (Islam). Jika kompak, mereka memiliki bargaining yang lebih kuat. Apalagi posisi cawapres tidak berasal dari parpol

Akan tetapi sebaliknya, jika koalisi ini manut-manut saja, maka akan sangat membahayakan demokrasi. Karena mengingat perolehan suara dan kursi di parlemen, pasangan SBY-Boediono mengantongi lebih dari 50%. Untuk itu, demi kepentingan yang lebih besar, sebaiknya tetap menjadi mitra koalisi yang kritis, seperti yang sudah ditunjukan selama ini.

Ban Serep di Mata UUD 1945
UUD 1945 telah mengatakan bahwa Negara ini dipimpin oleh seorang Presiden dan dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Wakil presiden adalah pengganti Presiden apabila berhalangan tetap. Pada saat Presiden Soekarno, kita mengenang seorang Wakil Presiden yang begitu luar biasa. Begitu juga era Presiden Soeharto yang beberapa kali mempunyai Wakil Presiden

Harus diakui, meskipun mereka (para Wapres) itu hebat, namun mereka tidak pernah memutuskan kebijaksanaan langsung. Bung Hatta dan para wapres Soeharto (Adam Malik cs) tidak banyak diberi kewenangan dalam menjalankan pemerintahan. Tetapi “anehnya”, saat itu tidak pernah ada istilah ban serep atau bamper untuk posisi setinggi wapres

Tetapi justru setelah reformasi, istilah ban serep tumbuh subur. Padahal mulai pemilu 2004, pilpres dilaksanakan dengan cara yang berbeda, yaitu melalui pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga secara tidak langsung eksistensinya harus memiliki peran lebih pada bidang-bidang tertentu

Kesimpulannya bahwa posisi Wapres adalah pekerjaan strategis. Wapres bukanlah ban serep dalam pemerintahan. Wapres jangan sekedar bertugas meresmikan proyek-proyek, karena jabatan orang nomor dua tidak hanya sebagai hiasan politik.

Wapres mempunyai kewenangan dan kewajiban yang sama dengan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan memajukan peradaban bangsa. Untuk itu seyogyanya ia berhak menangani dan bertanggung jawab atas bidang-bidang tertentu. Hal ini tentunya dengan koordinasi bersama dengan Presiden.

Siapa pun yang terpilih, koalisi dengan parpol pendukung harus diteruskan dengan berkoalisi dengan rakyat, melalui program yang pro rakyat dan mencerdaskan. Hal ini sebagai tanggung jawab mengaplikasikan platform mereka untuk mensejahterakan dan mencerdaskan rakyat. Wallahua’lam

*. Anggota Centre for Strategic and Policy Studies (CSPS) Batam

Selengkapnya...

Rabu, 03 Juni 2009

TKW Juga Harus Diperlakukan Seperti Mano

Manohara Odelia Pinot. Itulah nama yang begitu menyedot perhatian nasional saat ini. Kisah pilu dan “aksi pembebasannya” telah sukses merebut pemberitaan media. Semua kelas pun mengomentarinya. Mulai rakyat biasa, mahasiswa, selebriti, bahkan sudah menjadi urusan Negara.

Masalah yang semula hanya urusan rumah tangga, seolah dipaksa untuk menjadi persoalan Negara. KBRI, Dubes dan Deplu turun tangan. Bahkan Presiden pun memberi komentar. Tidak itu saja, proses kepulangan Manohara pun melibatkan banyak Negara. INILAH.COM menulis, dalam proses pembebasannya menggunakan taktik yang disusun pihak AS, KBRI, dan kepolisian Singapura.

Perlakuan di atas sungguh berbeda dengan kisah yang dialamiCeriyati, TKW asal Brebes. Atau mungkin kisah Siti Fathonah, seorang tenaga kerja wanita asal Cilacap yang tewas pada September 2008. Hasil otopsi membuktikan bahwa korban tewas akibat penganiayaan. Pada saat itu, pemerintah tidak all out memperjuangkan warga negaranya.

Atau kisah Ngatmiatun TKW asal Grobogan, Jawa Tengah yang sepulang dari bekerja di Malaysia fisiknya lumpuh dan mentalnya terganggu. Atau kisah Nitasari (18 tahun) TKW asal Kebumen yang sepulang dari bekerja di Malaysia mentalnya terganggu sehingga tidak dapat diajak berkomunikasi (eramuslim.com). Belum lagi deretan panjang kisah sedih TKW yang teraniaya di negeri orang yang setiap tahun terus menelan korban

Pertanyaan besarnya adalah, apakah sikap diskriminatif sudah menjadi watak pemimpin kita dalam memperlakukan warganya? Apakah karena TKW sekedar (maaf) pembantu dan Manohara adalah mantan model sekaligus sebagai menjadi istri raja?

Padahal jelas, para TKW adalah anak bangsa tulen yang menyumbangkan devisanya melalui tetesan keringat mereka. Tidak layak kah mereka mendapat empati yang lebih dari pemimpin kita?

Sedang menurut KBRI, Mano memiliki dua kewarganegaraan, yakni AS dan Indonesia. “Yang bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda, Amerika Serikat dan Indonesia, makanya Manohara bisa menghubungi Kedutaan Amerika Serikat di Singapura,” jelas Juru Bicara Departemen Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, kepada INILAH.COM, di Departemen Luar Negeri, Jakarta, Senin (1/6) siang.

Siapapun mereka (Mano dan TKW) sudah seharusnya tugas pemerintah untuk memberikan perlakuan yang sama kepada warga negaranya apabila ditimpa masalah. Karena hak asasi tidak mengenal kasta. Untuk itu TKW juga harus diperlakukan sama seperti Manohara wahai pemimpin. Wallahua’alam
Selengkapnya...