Sabtu, 25 Juli 2009

Jatah Silfiana Sehari Cuma Rp. 500

Jarum jam menunjukan pukul 9.30. Namun saat itu, Sabtu (25/7) merupakan hari yang cukup menggembirakan bagi Silfiana. Gadis kecil berkulit hitam itu tanpa perlu waktu yang lama dapat tumpangan gratis setelah berjalan sekira 1 KM dari sekolahnya di Pancur, Sei Beduk

Serentak wajahnya langsung berbinar, ketika saya mau berhenti dan siap mengantarnya. “Ke Simpang DAM Om. Tapi nanti turun di simpang Panbil ya, Om mau ke Batam Center”. Itulah pengantar awal sebagai deal “ijab kabul”nya. Meski pada akhirnya tetap saya antar sampai Simpang DAM

Dalam perjalanan, saya korek informasi siapa sebenarnya sosok ‘tokoh’ kecil yang satu ini. Namanya Silfiana. Ia sekarang kelas II SD N di bilangan Sei Beduk. Ayahnya berinisial RM asli Lombok bekerja sebagai penyapu jalanan di Dinas Kebersihan. “Ayah kerja di yang dapat Adipura Om” (baca: Dinas Kebersihan dan Pasar), begitu penjelasan polosnya.

Silfiana cerita, setiap hari ayahnya sembari bekerja sekalian mengantarnya. Sedang ibunya, FT, asal Flores seorang ibu rumah tangga tulen. “Mama sama adek di rumah”, urainya

Sekilas tidak ada yang ‘aneh’ dari Silfiana. Namun ketika dia menceritakan bahwa setiap hari dia hanya dijatah Rp. 500 dalam sehari, saya jadi trenyuh. Bayangkan, Rp. 500 di Batam tak sanggup untuk membeli satu gorengan sekalipun. Apalagi untuk ongkos pulang naik Metro Trans, lebih lagi ojek? Uang itu hanya mampu untuk membeli permen 3, 4 maksimal 5 biji saja. Habis itu? Praktis setiap hari dia minta tumpangan gratis

Padahal Nazla sama Bila anak saya yang belum 3 tahun, hampir setiap hari ‘menghadang’ jamu gendong yang lewat di depan rumah. Sorenya sambil nyuapin di fasum perumahan, uminya melakukan ‘suap’ berupa jajan agar mau makan. Belum lagi kalau ke pasar atau belanja ke mini market, minta jatah ini dan itu. Anak-anak atau keponakan anda, saya yakin minimal sama, bahkan sangat mungkin melebihinya

Sedang ini Rp. 500 dipegang oleh anak yang sudah ngerti jajan. Apalagi sinetron telah berhasil mengajarkan kemewahan kepada penikmatnya, tak tekecuali untuk anak-anak. Saya tidak tahu, Silfiana sekeluarga hobi nonton sinetron atau tidak. Semoga tidak.

Namun sayang, Silfiana untuk tahun ini terpaksa tinggal kelas. Dengan malu-malu, ia mengatakan kepada saya kalau tahun ini tinggal kelas. Alibinya, setiap hari (katanya) terus belajar.

Memori saya dipaksa untuk mengingat proses penerimaan murid baru di sekolah “plat merah” belum lama ini yang kocar-kacir. Tidak usah bicara kebobrokan, jika fair play saja, maka sekolah akan mengutamakan calon siswa/i yang memiliki nilai UN yang tinggi. Lantas bagaimana dengan Silfiana kelak?

Mungkin jika dia anak orang berpunya bisa langsung didaftarkan di bimbingan belajar Primagama dan sejenisnya. Sedang yang menjadi kenyataan, ia terlahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai penyapu jalanan, yang setiap hari baru mampu memberi uang saku kepada anaknya Rp 500.

Lantas, bagaimana nasib Silfiana-Silfiana lainnya yang (maaf) miskin dan bodoh. Haruskah mereka menyandang stigma ketiga yaitu, putus sekolah atau tidak sekolah. Wahai pembuat kebijakan, seriuslah untuk mengurus mereka. Jangan sampai sudah miskin, bodoh, tidak sekolah pula!. Astaghfirullah …


Selengkapnya...

Rabu, 22 Juli 2009

Musyawarah dan Kemaslahatan Konklusi

Banyak media memberitakan, saat ini kerap ditemui adanya gesekan yang mengarah perpecahan yang terjadi antar personal maupun institusi. Parahnya benih-benih perpecahan itu bukan hanya “monopoli” lembaga politik saja, namun sudah menjalar ke hampir semua lembaga, tak terkecuali lembaga terkecil seperti keluarga maupun lembaga “suci” yang dinisbatkan kepada organisasi massa maupun politik yang berideologi agama

Sudah menjadi rahasia umum, manakala organisasi melakukan pergantian struktur kepemimpinan, maka hampir dipastikan bakal ada perpecahan. Sangat sedikit parpol yang dalam suksesi kepemimpinannya berjalan mulus.

Di sisi lainnya, setiap hari infotainmen mengabarkan sejumlah pasangan selebriti yang keluarganya berantakan. Celakanya informasi di atas menjadi referensi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga pertengkaran dan perceraian menjadi tak terelakan lagi

Mengapa hal itu terjadi? Lantaran semuanya berharap kepentingan pribadinya lah yang harus diakomodir. Meski demikian, sebenarnya memiliki keinginan adalah fitrah manusia, untuk itu agar tidak liar, Islam mewajibkan musyawarah dalam menentukan segala sesuatu. Tentu dalam batasan yang tidak melanggar syariat yang sudah ditetapkan oleh nash (Al Qur’an dan Sunnah)

Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa, musyawarah merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Hal ini karena dalam kehidupan berjamaah, ada banyak kepentingan, kebutuhan maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi secara bersama-sama agar bisa terjalin kerjasama yang apik. Untuk itu dalam proses musyawarah itulah, harus berlangsung apa yang disebut dengan dialog dua arah.

Menurut Wikipedia, musyawarah adalah proses deliberasi atau berembuk yang mempertimbangkan semua sisi dari sebuah isu. Sedang menurut Ahmad Yani dalam “Musyawarah Dalam Kehidupan Seorang Muslim”, musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.

Regulasi Rabbani
Allah menciptakan manusia dengan keinginan dan isi otak yang berbeda-beda. Andai tidak ada “the rule of game”, maka dapat dipastikan akan timbul permasalahan. Petunjuknya adalah adanya regulasi Rabbani yang disebut dengan musyawarah, baik dalam skala keluarga sampai bernegara

Di dalam Al-Qur’an, sedikitnya terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang syura. “Dan (bagi) orang–orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka ….” (QS: 42: 38). Kemudian QS: 3: 159 “…. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahkan dengan mereka dalam urusan itu ….”

Ayat pertama (QS: 42: 38) masuk dalam kelompok Surat Makkiyah (surat yang turun di Mekah) sedangkan ayat kedua (QS: 3: 159) dikategorikan sebagai Surat Madaniyah (surat yang turun di Madinah). Itu artinya perintah bermusyawarah sudah ada sejak awal Islam dan eksistensinya tetap berlanjut sampai Islam masuk dalam wilayah daulah Islamiyah

Di ayat yang ketiga “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya …” (QS: 2: 233)

Dari ayat-ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa musyawarah menempati posisi yang istimewa dalam Islam. Pertama, musyawarah keberadaannya persis di bawah perintah mendirikan sholat. Oleh sebab itu, masyarakat yang mengingkari atau mengabaikan syura dapat dianggap sebagai masyarakat yang cacat dalam komitmen terhadap salah satu bentuk ibadah.

Kedua, dalam menghadapi persoalan harus menjadikan musyawarah sebagai jalan keluar, karena tanpa musyawarah akan kehilangan kemaslahatan dan yang ketiga secara khusus dalam persoalan rumah tangga kesepakatan suami dan istri berjalan melalui mekanisme musyawarah

Musyawarah dan Politik Indonesia
Semasa orde Baru, kalimat musyawarah (mufakat) suaranya nyaring terdengar. Namun sayang, kalimat yang nyunah tersebut disalah artikan sebagai retorika untuk mengontrol kebebasan politik

Secara pendek kata musyawarah dalam konteks politika orba berarti memaksa peserta rapat untuk menerima keputusan penguasa atau kelompok yang berkuasa. Musyawarah secara halus berarti intimidasi, menekan atau mendesak (wikipedia.com)

Padahal dalam persoalan politik kenegaraan pada masa Rasulullah memimpin senantiasa menggunakan jalur musyawarah. Dalam sejarah Nabi kita dapati bagaimana Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya.

Ketika hendak berhijrah ke Madinah, beliau kumpulkan sahabat-sahabat utama untuk bermusyawarah guna membicarakan strategi penting perjalanan hijrah. Bahkan dalam masalah perang sekalipun prinsip musyawarah tetap dilakukan, padahal Nabi Muhammad adalah orang yang mulia dan mendapat akses wahyu langsung dari Allah

Kesimpulan
Manakala musyawarah telah dilaksanakan dengan baik, ada banyak hikmah yang akan diperoleh bagi kaum muslimin dalam kehidupan berjamaah. Ali ibn Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam mussyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindrakan celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati dan mengikuti atsar (Yunahar Ilyas: Kuliah Akhlaq: 232)

Sebaliknya, siapapun yang meninggalkan syura dalam menyelesaikan persoalannya, maka secara nyata telah melakukan ‘pembangkangan’ terhadap perintah agama, karena musyawarah merupakan sifat yang melekat dalam tubuh umat Islam, seperti halnya sholat, puasa, zakat dan pilar Islam lainnya.

Sebenarnya musyawarah bukan monopoli umat Islam saja, prinsip ini merupakan bagian integral fitrah manusia baik secara individu maupun kelompok. Hal ini sebagaimana dalam Kisah Ratu Balqis terkait dengan surat Nabi Sulaiman (lihat QS: 27: 32-33) dan kisah Fir’aun setelah mengetahui kekuatan Nabi Musa (QS: 26: 34-37) Wallahua’lam
Selengkapnya...

Jumat, 10 Juli 2009

2009, Awal Kiamat Golkar?

Ketika menyebut Partai Golkar (Golkar), semua orang pasti mengenalnya. Dari orang awam apalagi bagi para intelektual, nama Golkar begitu familiar bagi mereka. Entah itu terkenal karena sesuatu yang positif maupun negatif.

Hal ini wajar, karena sejak mulai berdiri, kader-kadernya selalu menjadi bagian dari kekuasaan di negeri ini. Sekitar 40 tahun Golkar mendominasi jalannya pemerintahan republik ini

Riak-riak kecil perbedaan dalam tubuh internalnya, tidak membuat partai yang identik dengan cap orde baru ini berantakan. Golkar mampu mengemas perbedaan menjadi ‘bumbu penyedap’ yang justru menggairahkan rasa perjalanan partainya.

Bahkan di awal reformasi, Golkar yang berada di titik nadir kepercayaan masyarakat, rupanya tetap terbukti ampuh dengan mampu memperoleh suara yang signifikan dan duduk pada urutan kedua setelah PDIP pada pileg 1999. Lima tahun kemudian Golkar mampu menjelma menjadi pemenang kembali.

Apa rahasia ‘kehebatan’ Golkar? Selain memiliki SDM yang bagus, kehebatan lain sehingga memiliki kemapanan politik ini karena Golkar senantiasa berada dalam lingkaran kekuasaan. Bagai ikan, kekuasaan bagi Golkar adalah airnya.

Namun, jangan kaget manakala mulai tahun 2009 nama Golkar bakal semakin tidak terdengar. Pasalnya partai pemenang pemilu 2004 ini keok dalam ajang pileg dan pilpres, yang imbasnya adalah sangat mungkin tidak kebagian kue power sharing. Inilah sumber petaka utamanya

Benih-benih kehancuran Golkar sudah mulai tersebar. Jeblok di pileg, dari rangking pertama, turun ke peringkat tiga. Tuah Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden rupanya tidak cukup ampuh untuk mendongkrak suara partai berlambang pohon Beringin ini.

Bahkan diajang pilpres, pasangan JK-Wiranto jadi juru kunci, dengan meraih perolehan persentase suara yang lebih kecil dari suaranya ketika pileg. Basis suaranya merosot tajam, seperti di Kepri, Riau dan Babel. Bahkan hampir di seluruh provinsi.

Namun, semua itu tergantung SBY. Apakah akan tega memunahkan Golkar atau tidak. Namun SBY juga harus ingat, kader-kader Golkar ujar salah satu Ketua DPP Golkar, Zainal Bintang, malah bisa merepotkan citra pemerintahan SBY nantinya jika direkrut dalam kabinet. “Partainya saja dikhianati apalagi SBY “, terangnya.

Kemudian, partai koalisi juga harus tegas untuk menutup pintu bagi partai yang tidak berkeringat mendapat jatah menteri. Suara PKS yang menolak Golkar ditarik dalam kabinet SBY, harus disambut oleh rekan partai koalisi lainnya. Apalagi, menurut pengamat politik, Bachtiar Ali SBY tanpa Golkar pun dirinya bisa mulus menjalankan kekuasaan. Karena kekuatan SBY di parlemen begitu signifikan.

Memang sepertinya Golkar harus mulai berani membuka lembaran baru menjadi oposisi. Mungkin kelihatan ‘gambling’. “Kalau Golkar jadi oposisi, check and balance jadi lebih kuat di parlemen. Siapa tahu bila Golkar jadi oposisi akan lebih baik dari PDIP," ujar Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq kepada INILAH.COM, Jakarta, Jumat (10/7).

Tentu, Golkar juga harus menata diri kembali agar tidak ‘punah’ pada 2014. ”Konsolidasi diperlukan agar partai ini lebih besar dan solid sehingga bisa dipercaya rakyat pada 2014,” cetus analis politik Universitas Indonesia, Bachtiar Ali bisa dijadikan sebagai obat kegagalan



Selengkapnya...

Senin, 06 Juli 2009

Muhammadiyah (sudah) Berubah

Adanya pergeseran figur kepemimpinan dalam tubuh Muhammadiyah dari kalangan ulama ke akademisi (juga politisi) adalah hal yang tidak terlalu merisaukan saya sebagai anak yang lahir dari rahim keluarga Muhammadiyah. Namun, apabila ormas yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini sekarang menjadi kagetan dan meledak-ledak, maka itu adalah hal yang justru melemahkan bagi organisasi yang didirikan pada tahun 1912 ini

Muhammadiyah dahulu dikenal sebagai gerakan dakwah yang puritan dan modern. Beberapa kali Majlis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa yang pada awalnya kontroversial, namun lambat laun ternyata diamini oleh banyak orang, termasuk yang mengkritiknya.

Pada saat itu di sana duduk ulama dakwah sekaliber KH AR Fahruddin yang memiiliki keluasan ilmu. Disusul KH A. Azhar Basyir, MA, seorang akademisi yang sekaligus ulama yang menguasai bidang ilmu fiqih yang diakui oleh dunia Islam. Belum lagi kepemimpinan para tokoh sebelumnya, semacam Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansyur dan lainnya

Muhammadiyah juga familiar dengan jumlah amal usaha yang luar biasa. Ada PKU Muhammadiyah yang tersebar di banyak kota di Indonesia, ada panti asuhan dan banyak lainnya. Bidang pendidikan juga digarap oleh ormas yang lahir di daerah Jogja ini.

Namun lambat laun Muhammadiyah mengalami perubahan. Diawali di penghujung kepemimpinan Amien Rais sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah (sebutan Ketua Umum pada masa itu) yang membawa gerbong Muhammadiyah ke politik praktis. Prof. Syafii Ma’arif juga belum bisa mengembalikan Muhammadiyah sebagai “macan” dakwah. Terakhir, Din Syamsudin sebagai pucuk pimpinan ternyata gaya kepemimpinannya lebih politis dari lainnya.

Diajang pilpres ini, Muhammadiyah tidak malu-malu dijadikan sebagai kendaraan politik oleh pengurus-pengurusnya. Di banyak kegiatan tabligh akbarnya, secara terang-terangan sang da’i mengajak jama’ah untuk memenangkan salah satu kandidat pilpres 2009

Bahkan terbaru, Din Syamsudin menjadi fasilitator atas tuntutan penyelesaian daftar pemilih tetap (DPT) oleh pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta Ahad (5/7)

Memang benar, politik dan Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan, namun apabila fenomena dukung-mendukung di ajang resmi (tabligh akbar), apalagi memanfaatkan amal usaha (Gedung Dakwah PD, PW atau PP Muhammadiyah) dijadikan sebagai ajang kampanye, jelas bukan merupakan budaya Muhammadiyah.

Jadi jangan sampai karena ulah segelintir elit, tujuan Muhammadiyah jadi berubah
Selengkapnya...

Kamis, 02 Juli 2009

Inilah Manuver Politik Para Capres

Sosok SBY pada sepuluh tahun terakhir ini memang menjadi sosok yang ‘layak jual’. Buktinya, pada pilpres 2004, meski hanya didukung partai kecil, bersama JK mampu merebut kemenangan dari incumbent. Sekarang pun tampaknya keberuntungan masih lekat pada capres kelahiran Pacitan ini. Meski menjadi satu-satunya pasangan yang dicap neolib, namun elektabilitasnya belum bisa dirobohkan

Hal ini dibuktikan dengan rilis lembaga survey. Meski masih pro kontra, sampai hari ini beberapa lembaga survey masih menempatkan pasangan SBY-Boediono sebagai kandidat pemenang pada pilpres 8 Juli mendatang. Bahkan perolehan suaranya pun di atas 50 persen. Itu artinya, pasangan nomor dua ini bakal melenggang ke Istana Negara cukup dengan satu putaran

Tentu kabar tersebut membuat tim sukses pasangan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto terus mumutar otak untuk ‘melawan’ dominasi kekuatan SBY. Hanya ada beberapa cara jitu, salah satunya melakukan manuver politik dengan program dan janji yang membuat rakyat kesengsem

Manuver pun sudah dilakoni. Yang paling mencolok dengan akrobat politik pasangan Mega-Prabowo adalah dengan melakukan kontrak politik. Bahkan selama kampanye, sudah ada banyak elemen yang melakukan kontrak politik dengan pasangan yang dikenal dengan jargon pro rakyat ini.

Koordinator Tim Advokasi Pasangan Megawati-Prabowo, Topane Gayus Lumbuun, menuturkan”Partai politik sebagai infrastruktur politik perlu menyampaikan hal-hal yang seharusnya dilakukan pemerintah, sebagai suprastruktur politik, untuk memenuhi semua komitmennya selama kampanye. Hal itu bisa dilakukan dalam bentuk kontrak politik,” (kompas.com)

Kontrak politik yang sudah diparaf diantaranya dengan kalangan buruh, guru, nelayan dan mahasiswa. Diharapkan melalui kontrak politik ini, rakyat dapat menagih janji manakala pasangan nomor satu tersebut terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden

Lain Megawati, lain pula JK-Wiranto. Pasangan ini dalam merayu rakyat lebih menekankan pada program kerja yang langsung mengena. Pasangan nomor tiga ini (salah satunya) meluncurkan program “MAMPU” (Modal Usaha Mandiri Untuk Pemuda). Pasangan ini sadar, pemuda adalah lumbung suara yang sangat menggiurkan

“Kita akan bantu generasi muda agar dapat bekerja dan berusaha dengan berikan permodalan yang sesuai, antara tiga juta hingga dua puluh juta rupiah,” kata Capres Jusuf Kalla pada kampanye terbuka di Lapangan Gazebo, Bandung. (Antara News)

Kenapa JK-Wiranto jurusnya tidak sama dengan Megawati, tentu alasannya bukan berarti mereka tak berani melakukan kontrak politik, namun menurut Yuddy Chrisnandi, lebih baik melaksanakan komitmen daripada menandatangani kontrak politik, tetapi tak melaksanakannya

Untuk menjaga posisinya, tentu pasangan SBY-Boediono juga tetap melakukan manuver politik. Yang salah satunya dengan jor-joran mempublikasikan keberhasilan yang sudah dilakukan di bawah kepmimpinannya

Namun sayang, menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, kontrak politik dan janji politik secara kacamata hukum tidak memiliki ikatan apa-apa. Terlebih bila apa yang dijanjikan dalam kontrak politik itu di luar kewenangannya. Jadi, masyarakat harap berhati-hati saja. Selamat memilih.
Selengkapnya...