Kamis, 29 Oktober 2009

Revitalisasi Ruh Perjuangan Pemuda

Sejarah mencatat bahwa di negeri manapun perubahan banyak dipengaruh oleh pemuda. Di republik ini peranan historis pemuda pun tidak bisa diabaikan. Hampir dipastikan tidak ada satupun proses transformasi, baik sosial maupun politik dan lainnya yang tidak menyertakan unsur pemuda di dalamnya

Pemuda beserta gagasan segar dan peran aktifnya selalu andil dalam menentukan arah dan nasib bangsa baik saat pra kemerdekaan maupun setelahnya. Pada 1928, para pemuda berkumpul di sebuah gedung di bilangan Kramat Raya, Jakarta. Mereka datang mewakili berbagai daerah dan organisasi pemuda, di antaranya Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Pemoeda Kaoem Betawi dan lainnya.

Inilah bukti konkrit bahwa pemuda Indonesia memiliki semangat yang tinggi untuk memperbaiki negerinya yang sedang terbelit masalah. Dan peristiwa di atas adalah kronologi munculnya sejarah besar yang dikenal dengan nama “Sumpah Pemuda” yang 81 tahun diperingati di negeri ini.

Kiprah pemuda kemudian semakin memuncak ketika menjelang proklamasi kemerdekaan. Mereka (para pemuda) melakukan pengamanan terhadap Soekarno di Rengasdenglok dan mengajaknya segera memproklamirkan Indonesia sebagai Negara yang merdeka

Tumbangnya orde lama yang digantikan dengan orde baru juga tidak lepas dari peranan pemuda (lebih khusus mahasiswa). Tak terkecuali tamatnya riwayat orde baru pun atas desakan para mahasiswa. Bahkan dekade reformasi 1998 adalah bagian dari pembuktian sejarah tentang peranan mahasiswa dalam perubahan sosial yang ada di Indonesia setelah sekian lama “terhenti”

Yang menarik, perjuangan pemuda dari organisasi dan komunitas apapun sejak pra kemerdekaan sampai dekade reformasi memiliki karakter yang khas, yaitu dengan melakukan gerakan bawah tanah, mengkritik langsung dengan demonstrasi menentang neo feodalisme, maupun melakukan gerakan moral (moral force) dalam rangka memberi penyadaran kepada masyarakat.

Kehilangan Ruh Perjuangan
Menengok kembali sejarah Sumpah Pemuda sampai era reformasi 1998 , kita menjadi prihatin ketika membandingkan dengan pemuda di era sekarang. Jika teliti kita akan menemukan berbagai ketimpangan yang ada. Benarkah pemuda Indonesia telah berkhianat dengan sejarahnya sendiri?

Pasca reformasi, gerakan pemuda dan mahasiswa orientasinya sudah mulai mengambang. Mereka masih terbuai dengan euphoria reformasi yang padahal sudah berlalu lebih dari satu dasawarsa. Pola gerakannya mengalami kemandekan. Padahal situasi pra kemerdekaan sampai era reformasi dengan kondisi saat ini jelas berbeda. Namun kenyataannya belum tampak kreasi baru dari pola yang ditawarkan

Diperparah, dengan prilaku amoral yang terus menggerogoti gaya hidup (life style) pemuda. Memang benar masih ada sekelumit pemuda yang memang patut kita banggakan. Baik dari segi prestasi, kreativitas, dan karya emasnya. Tetapi jumlah mereka bisa kita hitung dengan jari. Bandingkan dengan golongan yang antagonis.

Godaan gaya hidup hedonistis kapitalistik yang notabene buah dari globalisasi di kalangan para pemuda begitu kuat. Parahnya, hal ini tidak saja terjadi di kalangan pemuda kota, tapi juga di kalangan pemuda desa karena adanya televisi. Iklan dan sinetron yang menawarkan kenyamanan dan kenikmatan hidup di media elektronik ini demikian gencar dan massif sehingga mampu meruntuhkan sendi-sendi pertahanan para pemuda

Berita di media pun seolah tak pernah berhenti mengupas kehidupan kelam mereka. Mulai dari aksi anarkis hingga aksi yang romantis. Tawuran antar pelajar dan mahasiswa mereka peragakan. Ada pula yang beromantis ria memeragakan aksi mesra layaknya suami istri. Belum lagi yang terjebak narkoba dan penyimpangan lainnya. Ingat, kejadian di atas bukan saja ada di kota metropolitan, namun sudah jamak di seluruh pelosok nusantara

Layaknya fenomana gunung es. Semua kabar buruk itu adalah yang tampak di permukaan. Informasi yang sampai di indera dengar kita sangat mungkin jumlahnya terlalu sedikit daripada realita yang sebenarnya. Bagaikan fenomena bola salju, apabila tidak segera dicarikan solusi jitu, maka akan semakin membesar seiring menggelindingnya bola masalah tersebut

Ilmu, Pembinaan dan Takwa
Saat ini perkembangan zaman sungguh luar biasa, apabila tidak didukung dengan adanya ilmu, moral dan usaha yang keras serta doa, kehidupan kita akan terbelenggu dengan kehidupan hedonis, materialistis dan pragmatis. Akan dibawa ke manakah nantinya para pemuda Indonesia apabila sudah menjadi penimat gaya hidup serba boleh (permisif) itu?

Tidak ada cara lagi selain kita harus kembali ke ajaran agama. Tidak ada cara lain kecuali harus pro aktif dalam memperbaiki diri dan masyarakatnya. “Demi Allah, Sesunggahnya kehidupan pemuda haruslah dengan ilmu dan ketakwaan. Jika tidak ada keduanya dalam diri mereka, maka tidak berartilah kehidupannya.”

Demikian sedikit dari bagian nasehat seoarang ulama besar yang memiliki mazhab paling banyak digunakan di negeri ini, yaitu Imam Syafi’i kepada para pemuda kapan dan di manapun jua. Dalam antologi puisinya ia juga bersenandung “Siapa yang tidak mau ta’lim (membina) pada masa mudanya, maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena sejatinya ia telah mati (sebelum mati)”

Semoga 81 tahun Sumpah Pemuda, pemuda Indonesia, baik yang sebagai pelajar, mahasiswa, anggota legislatif dan wiraswasta serta lintas profesi lainnya mampu tampil untuk menjawab tantangan bangsa.

Semoga saat ini, menjelang 28 Oktober, pemuda Indonesia adalah pemuda yang memiliki ketakwaan kepada Tuhannya dan juga memiliki kecakapan intelektual yang dapat didayagunakan, yang pada akhirnya mampu menganggakat citra bangsa di mata masyarakatnya dan juga dunia internasional.

Hal ini selaras dengan keinginan Hasan Al Banna dalam risalat “Dakwatuna Fii Thaurin Jadid” atau “Dakwah Di Era Baru” beliau berseru “Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan tegar. Hati-hati yang baru dan berkibar-kibar. Emosi-emosi yang membara dan menggelora dan ruh-ruh yang memiliki obsesi, visi jauh ke depan yang merenungkan teladan dan tujuan-tujuan yang mulia”. Semoga. Selamat memperingati hari sumpah pemuda. Wallahua’lam.





Selengkapnya...

Bercak Merah SBY dan Kepercayaan Rakyat

Kepercayaan itu adalah barang yang sangat berharga. Begitu yang sering dinasehatkan orang kepada kita agar memahami arti pentingnya sebuah kepercayaan. Kepercayaan yang menggumpal itupun berganti menjadi sebuah harapan kepada orang yang dipercayanya mampu memberi solusi terbaik

Itulah yang dialami oleh rakyat Indonesia terhadap sosok SBY. Hasil kerjanya sebagai presiden pada periode 2004 – 2009 dinilai rakyat dengan tinta biru. Apalagi program andalannya semisal BLT menjadi “jualan” yang laris manis

Terang saja, bersama pasangan barunya (Boediono), SBY pada pilpres lalu mampu memboyong lebih dari 60 persen suara rakyat. Sebuah angka fantastis untuk mengamankan jabatannya cykyp dengan sekali putaran saja. Itu artinya, sebagian besar masyarakat sangat percaya dengan kharisma SBY. Harapan rakyat, SBY akan mampu bekerja lebih baik untuk kepentingan rakyat

Namun sepertinya rakyat jangan terlalu berharap lebih. Meski saat ini belum saatnya memuji atau mencela kepemimpinan SBY, namun setidaknya ada beberapa “bercak merah” yang sudah menempel pada sosok SBY ini. Bercak-bercak merah itu diantaranya adalah

Pertama, skandal century. Ingat, belum juga dilantik, citra SBY mulai digoyang dengan adanya skandal Century di mana dana talangan (bail out) sebesar 6,7 triliun mengalir deras ke Bank Century. Apalagi pasca Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy menyatakan skandal Bank Century tidak melawan hukum “bola”nya jadi semakin liar. Prasangka masyarakat menyimpulkan SBY melindungi Boediono semakin menguat

Kedua, kabinet terlalu akomodatif. Kemenangan 60 persen lebih idealnya SBY berani membentuk kabinet zaken. Namun kenyataannya sekitar 20 pos jabatan menteri dikendalikan oleh wakil parpol. Belum lagi wacana wakil menteri. Selain akan membebani kas Negara, juga keberadaannya masih belum diperlukan.

“Penunjukan wakil menteri dinilai sebagai sesuatu yang tidak perlu. Sebab, posisi itu tidak akan terlalu membawa banyak perbedaan. Termasuk jika dikaitkan dengan adanya beban pekerjaan yang lebih berat dibandingkan kementerian/departemen lain”.
Hal tersebut disampaikan oleh pengamat politik Universitas Indonesia Andrinof A Chaniago saat berbincang dengan INILAH.COM, di Jakarta, Senin (26/10). "Nggak diperlukan, karena tidak akan mengganggu urusan apapun kalau wakil menteri tidak ada," ujarnya.

Ketiga, wacana kenaikan gaji. Belum juga bekerja, Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi tengah mengajukan usulan kenaikan gaji bagi para pejabat negara, termasuk para menteri. Meski bukan merupakan usulan presiden langsung, namun telunjuk rakyat sudah menuding SBY lah yang harus bertanggung jawab karena SBY sebagai nakhodanya

"SBY sebagai nakhoda kena getahnya. Masyarakat akan ragu dengan komitmen SBY untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang diucapkan pada saat pelantikan," kata peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi saat berbincang dengan INILAH.COM, di Jakarta, Senin (26/10).

Keempat, intervensi KPK. Transkip rekaman rencana kriminalisasi terhadap pimpinan yang mencuat ternyata menyeret nama RI 1 (SBY). Padahal KPK saat ini bagi rakyat adalah lembaga terbaik. Sehingga apabila info yang beredar itu belum dipastikan kebenarannya, namun masyarakat terlebih dahulu “menelan” kabar tersebut

SBY adalah presiden yang sangat diuntungkan karena kharisma di mata rakyatnya. Namun apakah adanya bercak-bercak merah sebagian besar rakyat masih percaya dan berharap lebih kepadanya? Sebagai rakyat itulah yang diharapkan kepada pemimpinnya.



Selengkapnya...

Rabu, 21 Oktober 2009

Mau Zaken atau Akomodatif, Pokoknya Amanah!

Selesai sudah teka-teki besar yang selama ini menggelayuti pikiran masyarakat Indonesia. Para jurnalis pun sudah final dalam mengutak-atik kandidat menteri. Karena meski belum diputuskan secara resmi, proses uji kepatutan dan kelayakan yang ditunjukkan secara transparan membuat publik mengetahui siapa saja yang akan menjadi pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 5 tahun ke depan

Kemenangan pasangan SBY-Boediono saat pilpres lalu yang lebih dari 60 persen, ternyata tidak juga menghasilkan kabinet ahli (zaken cabinet). Terbukti SBY lebih memilih kabinet akomodatif, yaitu dengan menempatkan para profesional juga tetap banyak menyertakan orang-orang yang menjadi wakil dari partai politik (parpol)

Hasil kabinet kompromistis dalam KIB II ini memang sudah diprediksikan oleh banyak orang. Membentuk kabinet zaken di negeri ini adalah pilihan “rumit”. Apalagi kemenangan SBY secara de facto itu dipikul oleh banyak parpol yang memiliki kursi di parlemen (Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB dan PPP). Itu belum termasuk “penumpang gelap” yang dua kali berturut-turut dimainkan oleh Partai Golkar

Ketidak beranian SBY dalam membentuk kabinet yang diisi mayoritas kaum profesional karena takut “dimusuhi” partai-partai politik yang mengikat diri dalam koalisi. Dan sebaliknya, jika seluruh jabatan menteri diisi oleh wakil parpol akan mendapat cibiran dari masyarakat

Idealnya, melihat kemenangan SBY-Boediono pada pilpres lalu, pilihan yang masuk akal adalah pemerintahan SBY akan membentuk kabinet zaken dengan mengambil unsur parpol secara minoritas. Namun yang terjadi adalah sekitar 20 nama dan jabatan menteri itu dikendalaikan oleh orang partai

Sehingga wajar, belum bertugas pun sudah banyak yang meragukan. Salah satunya pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens mencatat setidaknya ada enam pos menteri yang tidak pas. Yakni, pos Menko Ekuin yang bakal ditempati Hatta Rajasa, Menhub yang dijabat Freddy Numberi, Menhan yang diemban Purnomo Yusgiantoro, Menpora dengan Andi Mallarangeng, dan Mendagri yang dijabat Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi (Batam Pos: 20 Oktober)

Namun nasi (hampir) menjadi bubur. Kabinet yang sudah diputuskan ternyata tidak (semuanya) sesuai dengan apa yang kita inginkan. Lepas dari belum adanya sikap plong dari masyarakat terhadap pilihan presiden, kita harus tetap mengedepankan sikap baik sangka terhadap sosok menteri-menteri yang sudah diputuskan tersebut

Harus Amanah
Dari Abu Dzar RA Ia berkata “saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberi jabatan kepadaku? Maka beliau menepuk bahuku, kemudian bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sungguh kamu seorang yang lemah, sedangkan jabatan adalah suatu kepercayaan, yang pada hari kiamat merupakan suatu kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi pejabat yang dapat memanfaatkan hak dan menunaikan dengan sebaik-baiknya. (HR. Muslim).

Ada ibrah (pelajaran) yang dapat kita petik dari hadits Rasulullah di atas. Pertama, Hadits di atas memberi gambaran bahwa sejatinya seorang pemimpin (baca: presiden) harus cermat dalam memilih para menteri-menterinya. Penunjukan menteri tidak hanya sebatas balas jasa, kekerabatan maupun pertemanan, namun pertimbangan utamanya lebih ditekankan pada sisi keahlian meski dari kalangan partai politik sekalipun.

Karena jabatan adalah amanah rakyat yang harus dipertanggung jawabkan di dunia sampai akherat, maka sudah selayaknya para menteri pilihan SBY harus orang-orang yang punya visi dan misi kuat, berani, dan bermental baja di samping jujur dan amanah.

Kedua, hadits tersebut juga mengingatkan kepada kita terutama yang di beri kepercayaan untuk mengemban amanat. Bahwa siapa saja yang mensia-siakan dan mengkhianati amanah akan mendapatkan kehinaan dan penyesalan yang besar tidak hanya di dunia bahkan sampai ke negeri akhirat.

Meski memilih menteri adalah hak prerogatif presiden, namun kabinet yang ada sekarang (kabinet akomodatif) tetaplah ada campur tangun parpol sebagai representasi politik parpol pendukung. Untuk itu semestinya parpol dalam menawarkan kadernya haruslah kader yang memiliki kecakapan dan harus rela di-reshuffle manakala tidak memenuhi kualifikasi.

Prof. Dr. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al Misbah mengartikan Amanah adalah sesuatu yang di serahkan kepada pihak lain untuk di pelihara dan di kembalikan bila tiba saatnya atau bila di minta oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari khianat. Ia tidak di berikan kecuali kepada orang yang di nilai oleh pemberinya dapat memelihara dengan baik apa yang di berikannya itu.

Menurut hemat penulis, kompetensi dan profesionalitas itu bukan monopoli orang-orang yang berada di luar partai politik saja. “Orang partai” juga bisa bersikap profesional, namun ada syarat yang harus dilalui, yaitu parpol harus mereformasi diri terlebih dahulu menjadi organisasi profesional yang diindikasikan dengan adanya kapabilitas dan amanah dari “jagoan” yang diberi tugas menjadi menteri

Kesimpulan
Suksesnya kinerja para menteri adalah kesuksesan presiden. Sebaliknya, buruknya kualitas para menteri juga stigma buat presiden. Ibarat pertunjukan musik, SBY sekarang adalah sebagai dirigen orkestra. SBY lah yang menentukan lagu-lagu yang akan dibawakan dan juga para pemain yang dipilih untuk ikut serta dalam pertunjukan

Ketika rakyat “request” lagu berjudul pemberantasan korupsi, maka prasyaratnya SBY harus menjamin para menteri adalah orang-orang yang bersih dari kasus hukum. Manakala dalam perjalanan ditemukan integritas seorang menteri mengalami kecacatan, maka SBY harus berani memecatnya

Agar “konser” lebih meriah, maka rakyat harus sering diajak “bernyanyi bersama”. Untuk itu syaratnya para menteri yang sudah ditunjuk haruslah orang-orang yang merakyat dan siap dan tahan dengan masukan atau kritikan masyarakat

Intinya untuk bisa menjawab keraguan pengamat, masyarakat dan juga mahasiwa yang melakukan aksi turun ke jalan menyangsikan kepemimpinan presiden pilihan rakyat ini, SBY harus menjadikan kabinet sekarang adalah kabinet ahli. Tak peduli dari kalangan profesional maupun parpol. Mereka harus membantu dalam memudahkan kerja pemerintahan dan juga membentuk nilai positif bagi publik.

Kelak SBY akan dicatat sebagai presiden yang berani melaksanakan prinsip the right man in the right place. Prinsip pertama dan utama kabinet hanyalah meritokrasi. Yang dikerjakan para menteri adalah untuk kepentingan rakyat, bukan partai atau kelompok tertentu. Jika tidak, maka jabatan SBY bakal berakhir dalam keadaan su’ul khotimah. Selamat bekerja. Wallahua’lam



Selengkapnya...

Rabu, 14 Oktober 2009

Political Financing

Hajatan pemilu telah usai. Presiden dan wakilnya yang baru pun sudah diputuskan. Kini yang sedang ngetren dalam pagelaran politik nasional adalah hajatan untuk mencari ketua umum yang baru di berbagai partai politik

Diawali oleh Partai Golkar yang menggelar musyawarah nasional (munas) di Pekanbaru, Riau. Januari tahun depan giliran PAN mengelar Kongres ke-3. Partai berlambang matahari terbit itu mendapuk Batam sebagai shohibul hajatnya. PKS pun sudah berancang-ancang. Dan sudah barang tentu parpol yang lain tinggal menunggu giliran

Namun sayang, Partai Golkar sebagai parpol pembuka dalam melakukan suksesi kepemimpinan justru meninggalkan banyak noktah hitam. Publik mencium aroma tidak sedap para kandidat bagi-bagi uang. Memang sudah diprediksi, politik transaksional bakal tumbuh subur di ajang perebutan ketua umum partai berlambang pohon beringin tersebut

Bertaburan uang dalam memilih pemimpin di Indonesia memang bukan barang baru. Hampir di setiap ajang pemilihan di level apapun, isu permainan uang menjadi berita yang kerap kali tak bisa dihindarkan. Mulai dari pemilihan ketua ranting sampai ketua umum. Memilih ketua fraksi sampai ketua DPR/D. Memilih kepala desa sampai kepala negara. Intinya memilih pemimpin di Indonesia ibarat melakukan pelelangan, siapa yang berani bayar lebih, maka dialah sang pemenang

Sebenarnya buramnya politik uang bukan hanya monopoli partai Golkar saja. Di panggung-panggung munas lain juga banyak terjadi praktek tebar uang untuk meraih posisi ketua umum. Atas nama political financing (pembiayaan politik) bagi-bagi duit dari Rp. 100 juta sampai Rp. 1 M pun harus dilakukan. Meski ada juga parpol yang suksesi kepemimpinananya relatif bersih

Sehingga wajar jika J Kristiadi di Kompas menulis, bahwa ranah politik adalah ajang lelang kekuasaan dan wilayah di mana kepentingan apa pun dapat dijadikan transaksi. Inilah lahan subur bagi para politisi melakukan petualangan, baik untuk memanipulasi kekuasaan, mencari proteksi, menghapus sejarah kelam masa lalu, maupun membangun citra.

Hal ini juga yang menjadi pemicu apatisme masyarakat dalam menggunakan haknya di bilik-bilik suara. Faktor yang menyebabkan tingginya golput, termasuk kian turunnya kepercayaan pada partai politik (salah satunya pada proses suksesi kepemimpinannya). Hal ini dapat dibuktikan dengan partisipasi masyarakat pada pemilu dan pilkada tingkat kesadaran pemilih dalam menggunakan haknya merosot.

Semoga Kongres PAN dan Munas PKS serta partai lainnya mampu memunculkan spirit baru yang mencerdaskan. Kemenangan yang didapat dengan cara yang elegan, sehinga perjuangan melalui partai memang benar-benar mampu diejawantahkan. Bukan yang mengatasnamakan political financing lantas melakukan politik transaksional. Semoga. Wallahua’lam


Selengkapnya...

Kamis, 08 Oktober 2009

Pemuda/i yang Dibenci

Suatu hari di belahan nusantara. Di depan mall kota-kota metropolitan. Di gang-gang kampung terpencil di pelosok negeri. Langit masih gelap tertutup awan, segelap bangsa ini yang ditutupi kabut permasalahan

Sekelompok pemuda asik kongkow. Suit … Suit … Mulut dan tangan mereka usil menggoda wanita-wanita yang lewat di depan mereka. Bualan gombal meluncur deras dari pemuda yang sedang duduk bergerombol. Tak jarang teriakan sumpah serapah memecahkan udara ketika sang wanita berani “melawan”

Sesekali mereka menyelingi dengan menyeruput Vodca atau Anggur Cap Orang Tua secara bergiliran. Atau memamerkan bagaimana cara menghisap mariyuana untuk berbagi “asap-asap surga”. Atau bahkan melakukan “demonstrasi” dengan jenis zat psikotropika yang beda dari biasanya

Di hari lainnya, para wanita berstatus pelajar dan mahasiswa mencari mangsa para pria. Dandanan mereka seksi. Tangannya manja melambai, mengetuk kaca mobil sambil melakukan “transaksi” di jalanan tanpa rasa malu
***
Bulan ini (Oktober). Tak lama lagi Indonesia akan memperingati hari Sumpah Pemuda. Meski latar cerita sejarahnya berbeda, namun ada kesamaan di dalam cita-citanya, yaitu ingin me-recovery bangsa

Hampir tidak ada perubahan di Negara manapun yang tanpa menyertakan pemuda di dalamnya. Di negeri ini pun sama, hampir tidak ada proses transformasi, baik politik, sosial dan lainnya tanpa andilnya mereka (pemuda)

Bung Tomo sang patriot bangsa yang tak henti-hentinya terus memikirkan nasib negaranya. “Cita-cita sejati seorang pejuang besar, ingin mendidik anak-anak muda bangsa menjadi patriot bangsa. Baginya perjuangan tak memiliki arti, bila tak ada generasi penerus yang memiliki jiwa patriot”. Demikian bagian rencana dari Bung Tomo.

Nah, bagaimana dengan pemuda Indonesia saat ini? Memang benar masih ada sekelumit pemuda yang memang patut kita banggakan. Baik dari segi prestasi, kreativitas, dan karya emasnya. Tetapi jumlah mereka bisa kita hitung dengan jari. Bandingkan dengan golongan yang antagonis.

Padahal dalam antologi puisinya, Imam Syafi’i juga bersenandung “Siapa yang tidak mau ta’lim (membina) pada masa mudanya, maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena sejatinya ia telah mati (sebelum mati)”
***
Kemiskinan dan broken home adalah argumentasi yang sering mengemuka. Karena kemelaratan dan runtuhnya keluarga memang kadang manusia jadi kehilangan nurani. Meski jamak juga mereka yang hidup dalam serba boleh (permisif) hanya karena mengekor budaya barat (westernisasi) agar terlihat “modern”.

Tak peduli mereka miskin. Masak bodoh mereka terlahir dari orang tua yang berpenghasilan pas-pasan. Yang penting bergaya

Mereka akan menuai kebencian dari masyarakat dan Negara beserta para pahlawan. Salah siapa? Semoga kisah di atas segera sirna dari bumi Indonesia. Kita harus optimis karena agama mengajarkan keoptimisan. Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda
Selengkapnya...

Senin, 05 Oktober 2009

Etnis Tionghoa: Kalau PKS Saya Percaya

Joko dan seorang pengendara mobil mewah beradu tatap. Tangan si pengendara keturunan Tionghoa kemudian mulai merogoh sakunya. Namun mendadak berhenti. Berganti matanya serius mengeja huruf demi huruf di kertas yang menempel di kardus milik Joko. Tak lama, ia pun mulai membuka perlahan kaca mobilnya seraya memasukan Rp 50 ribu ke kardus, sambil bertutur “Kalau PKS saya percaya”

Itulah sekelumit kisah penggalangan dana yang dilakukan kader-kader PKS Batam untuk membantu para korban gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter yang memporak porandakan beberapa wilayah di Sumatra Barat. Dari menjelang siang sampai malam mereka bergantian “shift” mengejawantahkan kepedulian

Gempa yang diprediksikan bakal merenggut sekira 4000 nyawa ini memang begitu menyedot perhatian dan empati. Di jalanan Batam pun ada begitu banyak organisasi yang ikut turun ke jalan menggalang dana bantuan

Namun “nama besar” PKS rupanya masih bisa diandalkan oleh para “donatur jalanan”. Buktinya banyak sekali para penyumbang yang membaca dahulu kalimat yang lekat di kardus para sukarelawan. Tak jarang para pengendara sengaja memanggil sukarelawan PKS, padahal sebelumnya sudah mondar-mandir sukarelawan organisasi lain ke dekat mobil/motornya

Di sela-sela lampu hijau, seorang sukarelawati curhat. Siswi OSIS SMP Islam Terpadu di bilangan Tiban itu mengatakan, “Om kok bisa dapat banyak sih?” “Yang gesit dan kasih senyum dong”, jawab saya sekenanya. Meski dalam hati menduga, ini lebih karena faktor “bendera” PKS (tentu juga karena takdir)

Meski ada juga sebagaian pengendara yang apatis atau bahkan tidak menaruh kepercayaan. Itu adalah bagian dari potret hidup kehidupan dalam memandang suatu kejadian.

Penjual Koran dan minuman pun “welcome” dengan keberadaan sukarelwan PKS. Sering kali ia memanggil saya memberi tahu ada pengendara yang akan kasih bantuan, meski ia harus gigit jari jajakannya sementara tak laku.

Dan ada satu hal yang membuatnya dapat pelajaran, yaitu setiap waktu sholat tiba para sukarelawan PKS itu menghentikan aktivitas penggalangan dana. Mereka berganti menggalang pahala menunaikan kewajiban kepada Tuhannya. Sholat dulu pak. I … iya, jawab penjual Koran terbata-bata

Ungkapan seorang keturunan Tionghoa itu adalah sebuah harapan. “Takjubnya” tukang Koran melihat kita berhenti dan bergegas sholat juga adalah sebuah keluarbiasaan. Dan itu hanya bagian kecil dari masyarakat yang memilki asa yang sama kepada PKS. Semoga dapat kita bisa menjaga dan menularkannya. Siapapun kita, kader, pengurus, apalagi aleg dan eksekutifnya


Selengkapnya...