Sabtu, 30 Mei 2009

Koalisi Manut, Demokrasi Terancam

Nomor urut pasangan capres-cawapres telah ditetapkan oleh KPU pada Sabtu (30/5). Mega-Prabowo mendapatkan nomor urut 1. Duet SBY-Boediono memperoleh nomor urut 2. Nomor urut terakhir alias nomor 3 diraih oleh pasangan JK-Wiranto (inilah.com). Penetapan ini diputuskan dengan Surat Keputusan 297 /kpts/kpu/ 2009 tentang Penetapan Nomor Urut Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (kompas.com)

Tentu, layaknya sebuah pertandingan, salah satu pasangan pasti ada yang meraih kemenangan. Dan dari ketiga pasangan, pasti semuanya berkeyakinan dapat memenangkan pertempuran, karena keyakinan adalah modal awal dalam perjuangan

Pertanyaannya adalah, seberapakuat ikatan kontrak politiknya? Apakah sudah dipikirkan ekses dari kesepakatan koalisi yang ada, mengingat semua parpol yang berkoalisi (dengan parpol ‘induk’) memiliki perolehan suara yang njomplang (jawa: sangat jauh jaraknya)

Dikhawatirkan parpol induk akan berlaku semena-mena. Bukan sekedar dalam tataran power sharing, namun juga dalam hal lainnya. Lihat saja, Mega-Prabowo yang diusung oleh PDIP-Partai Gerindra jaraknya cukup jauh, 14,50 persen dengan 4,23 persen. Untuk SBY-Boediono, perolehan suara Partai Demokrat dengan partai pendukung lainnya juga tidak imbang. Terakhir, JK-Wiranto selisihnya terpaut sampai 11 persen.

Namun, manakala SBY-Boediono menang, partai pendukungnya memiliki posisi yang lebih nyaman, karena selain berada dalam daftar partai tengah, PKS, PAN, PPP dan PKB juga sama-sama memiliki ideologi dan basis massa yang sejenis (Islam). Jika kompak, mereka memiliki bargaining yang lebih kuat

Akan tetapi jika koalisi ini manut-manut saja, maka akan sangat membahayakan demokrasi. Karena mengingat perolehan suara dan kursi di parlemen, pasangan SBY-Boediono mengantongi lebih dari 50 persen. Untuk itu, demi kepentingan yang lebih besar, sebaiknya tetap menjadi mitra koalisi yang kritis, seperti yang sudah ditunjukan selama ini

Sebaliknya, jika koalisi ini kalah, maka harus tetap menjadi gabungan partai yang berada dalam barisan oposisi yang tidak asal beda dengan pemerintah. Atau menjadi partai yang independent. Jangan seperti PDIP yang asal beda tapi akhirnya mangamini program BLT. Atau Partai Golkar yang keluar dari koalisi kebangsaan dan melompat ke kubu koalisi kerakyaatan.

Siapapun yang terpilih, koalisi dengan parpol pendukung harus diteruskan dengan berkoalisi dengan rakyat, melalui program yang pro rakyat dan mencerdaskan. Hal ini sebagai tanggung jawab mengaplikasikan platform mereka untuk mensejahterakan dan mencerdaskan rakyat. Wallahua’lam
Selengkapnya...

Rabu, 27 Mei 2009

Capres-Cawapres Harus jadi Teladan

Akhirnya semua pasangan capres-cawapres sudah dideklarasikan. Lokasi yang dijadikan tempat deklarasi pun berbeda-beda. Jika JK-Win sebagai pasangan pertama menjadikan Tugu Proklamasi, pasangan SBY-Boediono menggelar di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, Bandung. Terakhir, Mega-Pro di Tempat Pengolahan Sampah, Bantar Gebang, Bekasi

Tentu pemilihan lokasi deklarasi memiliki makna tersendiri bagi seluruh pasangan. JK-Win beralasan, deklarasi di monument bersejarah, apalagi tepat di depan patung Soekarno-Hatta mengisyaratkanpasangan nusantara atau dwi tunggal.

SBY-Boediono menjadikan Bandung, menurut Boediono dalam pidatonya beralasan, di awal abad kedua puluh, Bung Karno di kota ini menyatakan Indonesia Menggugat. Sedang Bantar Gebang sebagai simbol wong cilik ingin ditunjukan Mega-Pro sebagai pasangan yang terakhir melaksanakan deklarasi

Obsesi capres-cawapres yang menyertakan filosofi tempat deklarasi, tentu patut diberikan apresiasi. Namun praktek di lapangan, prilaku yang dilakukan oleh seluruh pasangan untuk menjadi pemenang, masih jauh dari sifat keteladanan

SBY dan JK sebagai incumbent sering kali ngiras-ngirus (jawa: memanfaatkan) dengan blusukan ke pasar-pasar tradisional dan tempat-tempat strategis dengan alasan yang dipaksakan. Bahkan janji keduanya, untuk tetap solid sampai akhir jabatan pun sudah semakin tampak keretakannya. Belum lagi perang pernyataannya yang dijadikan barang obralan

Mega-Pro juga setali tiga uang. Statementnya seringkali tidak konstruktif dan lebih cenderung menekan pihak lawan. Menjual isu ekonomi kerakyatan dan menyerang neo liberal. Padahal ketika Megawati memimpin negeri ini juga banyak asset negara yang dijual ke asing dan diserahkan ke pasar.

Tidak itu saja, seluruh pasangan juga menggunakan strategi usang dalam mencari simpati rakyat. Dari mulai memiliki hobi baru pergi ke pasar tradisional, silaturahim ke ulama sampai yang keukeuh menstempel care terhadap kehidupan rakyat kecil

Tentu, manuver dalam politik adalah hal yang “lumrah”. Namun, jika terlalu sering memaksakan dan memberi pelajaran negatif kepada masyarakat, maka tidak dipungkiri jika krisis kepercayaan akan semakin menggelinding bagaikan bola salju yang kian membesar. Sebelum semuanya terlambat, untuk capres dan cawapres, jadilah teladan untuk rakyat!.
Selengkapnya...