Senin, 21 Desember 2009

Gula Mahal, Kesehatan Rakyat Terpental

GULA PASIR. Siapa sih yang tidak mengenalnya? Nama ini begitu akrab di telinga semua orang. Apalagi bagi para produsen makanan, para pecinta teh dan kopi. Dan tentu untuk kalangan ibu rumah tangga, barang ini sudah menjadi “sahabat” karibnya

Akan tetapi sudah beberapa bulan ini, gula (pasir) tingkahnya sering menjengkelkan. Njengkeli bukan karena rasanya tak lagi manis. Bukan pula karena warnanya berubah putih menjadi hitam. Dia bikin “sakit hati” karena nilai jualnya yang terus saja membumbung tinggi

Para pecinta gula perasaannya semakin teraduk-aduk, lantaran janji pemerintah yang katanya akan menurunkan harga si manis dengan menunjuk distributor khusus bak jauh panggang dari api. Masyarakat hanya diberi janji di koran, namun di tataran realita, harga gula dipasaran tetap saja “menggila”
*****
Saat itu langit sudah gelap. Tak seperti biasanya, pukul 19.30 (biasanya pukul 20.00) saya mendengar bunyi langkah kaki yang khas. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan istri saya. Tak lama bunyi ketukan pintu dan salam (assalamu’alaikum ..) terdengar hampir bersamaan. Anak-anak pun girang menyambut kedatangan ummi mereka yang memang sengaja ditunggu

Terlihat jelas di tangan sebelah kanan istri saya menenteng belanjaan. “Tumben pulang cepat mi. belanja apa itu, gula habis lho?, berondong saya. “Gak ambil pack food biar cepet pulang. Iya ini sudah beli gula. Harganya naik bi jadi Rp. 10.000. terakhir beli Rp. 9.300 lho”, jawab ummu bila

Imbas Gula Mahal

Bagi sebagian orang Rp. 10.000 nilainya tak seberapa. Namun bagi sebagian lainnya, Rp 10.000 sungguh sangat berarti. Apalagi kebutuhan hidup tidak hanya sekedar membeli gula, namun juga beras besarta lauk pauknya. Minyak dan seabrek kebutuhan dapur lainnya. Belum lagi pendidikan, kesehatan dan kebutuhan primer yang jumlahnya masih banyak

Kawan saya di facebook (FB) menimpali status yang saya tulis di grup “Takallam Huna Bil ‘Arobiyyah” tentang mahalnya gula, ternyata di Belitung, Babel harga si manis mencapai 11.000 s.d 12.000. (Ghoolin jiddan huna fi jaziroh belitung tsamanuhu Rp. 11.000 . Wa samiktu tsamanuhu yakuunu Rp. 12.000). Kawan FB yang lain “memprovokasi” bahwa hal di atas merupakan musibah yang sebenarnya

Setelah saya pikir, hal di atas (baca: musibah) ternyata ada benarnya. Bagi produsen makanan berskala besar maupun penjual level kecil, imbas kenaikan harga gula membuat mereka akan mencampur (bahkan mengganti 100 %) dengan gula induk (gula bibit) yang membahayakan kesehatan. It's the real disaster!

Jika hari ini dengan mata telanjang kita dengan mudah melihat makanan atau minuman yang dijajakan di kantin sekolah (terutama SD) jauh dari standard sehat, maka ketika harga gula kian melangit dampakanya pasti akan lebih parah lagi

Ujungnya harapan pemerintah untuk memiliki generasi yang unggul (khawatir) bakal sebatas utopia karena mereka (siswa/i) dari kecil sudah terlalu sering mengkonsumsi makanan yang kurang sehat

Selain berharap kepada Allah, sangat wajar apabila masyarakat berharap bantuan dari para pimpinan mereka untuk menyediakan kebutuhan hidup dengan harga yang terjangkau. Wahai para pemimpin, lebih “fight” lagi dong. Janji-janji kalian sudah kadong ditulis Malaikat lho?


Selengkapnya...