Rabu, 27 Januari 2010

Meneropong Aida dengan SWOT

Senin (25/1) Sijori Mandiri di head line-nya memberitakan terkait ketatnya persaingan antar beberapa calon kandidat gubernur Kepulauan Riau (Kepri) yang sudah mendeklarasikan diri untuk berlaga di pilkada Kepri 2010. Mereka adalah Aida Zulaikha Nasution (Aida Ismeth), Huzrin Hood, M. Sani dan Nyat Kadir

Memang mendekati pesta demokrasi, peta perpolitikan di Kepri semakin seru. Ahad (10/1) menjadi babak baru proses Pilgub Kepri. Hal ini ditandai dengan statement dua kandidat Gubernur Kepri, Nyat Kadir dan Aida Ismeth yang secara resmi siap untuk memimpin provinsi termuda ini. Disusul kemudian di lain hari pendeklarasian M. Sani dan juga kesiapan secara resmi Huzrin Hood

Yang menjadi jauh lebih menarik bagi pepenulis adalah tentang pernyataan kesiapan dari Aida Ismeth. Ternyata the first lady Kepri ini akhirnya secara resmi “terusik” untuk menggantikan Ismeth Abdullah manakala suaminya berhalangan maju bertarung di bursa pilgub. Bahkan kesediaannya ini diulangi kembali di GOR Kacapuri, Tanjungpinang pada Ahad (24/1)

Dalam orasinya Aida mengatakan siap mencalonkan diri sebagai gubernur karena adanya suasana politik di Kepri yang kurang baik. Di mana ada oknum-oknum tertentu yang dengan berbagai upaya berusaha menjegal suaminya, Ismeth Abdullah, agar tidak bisa maju lagi. "Saya menyatakan siap maju” (Sijori Mandiri, 24/1)

Kesiapan Aida untuk berlaga di pilgub tentu sudah dikalkulasikan dengan matang. Realitanya, Aida sudah teruji secara politik. Aida sudah terbukti menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daaerah (DPD) mewakili Kepri dua kali berturut-turut dengan jumlah perolehan suara terbanyak. Apalagi sosok suaminya sebagai Gubernur membuat dirinya memiliki akses yang signifikan dalam merangsak masuk ke kantong-kantong suara masyarakat

Dalam survey yang dilakukan oleh Centre for Strategic Policy and Studies (CSPS) Batam pada tahun lalu, tingkat keterkenalan Aida berada pada “nomor cantik”. Modal lainnya adalah Ismeth Abdullah dikenal memiliki visi dan juga nilainya positif di mata masyarakat. Dengan harapan mendapat “durian runtuh” dari kharisma suaminya itulah yang menjadikan seorang Aida Ismeth layak diperhitungkan untuk menduduki tahta tertinggi Provinsi Kepri

Kelemahan dan Ancaman

Namun modal yang dimiliki Aida belum cukup, karena politik bukanlah ilmu matematika. Meskipun Aida mengklaim antara Ismeth Abdullah dan dirinya merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dan diantara keduanya bisa saling mengisi dan mewakili satu sama lainnya, namun realitanya Aida tetaplah Aida. Aida bukanlah seorang Ismeth Abdullah.

Hal ini terbukti nama Aida kurang terlalu menjual di mata parpol besar (PD, P. Golkar dan PKS). Yang ada jutru sebaliknya, meski sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran (damkar), nama Ismeth masih digadang-gadang oleh parpol besar. Praktis hanya PDIP yang tidak menyertakan namanya dalam bursa pilgub.

Namun akibat kasus hukum yang melilit Gubernur pertama Kepri ini, membuat Ismeth ragu untuk berlaga untuk kedua kalinya. Padahal “ketidakberanian” Ismeth maju mempertahankan kursi “BP 1” justru mengundang tanda tanya yang berakibat negatif terhadap pencalonan istrinya. Selain itu ada beberapa kelemahan pada kandidat ini

Pertama, stigma koruptor. Meski belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan, namun manakala tidak mencalonkan diri, maka “hukum masyarakat” akan mempercayai bahwa Ismeth Abdullah memang benar terlibat kasus korupsi damkar. Presumption of innocent hanya berlaku di tataran hukum formal, namun pada level “hukum masyarakat” yang ada adalah justifikasi.

Kedua, kapabilitas. Ketika Ismeth duduk sebagai caretaker Gubernur Kepri sampai menjelang masa akhir jabatannya sekarang, pencapaian kinerja APBD Kepri selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun awal APBD Kepri dalam kisaran ratusan milyar, namun pada 2010 nilai APBD mencapai 1,8 trilyun.

Kinerja di atas menunjukan Ismeth memiliki kapabilitas yang tidak diragukan dalam melobi pusat. “kehebatan” Ismeth menurut penulis justru menjadi beban bagi Aida, apakah mampu mengungguli kelihaian suaminya dalam mengurus provinsi ini?

Ketiga, perolehan suara menurun. Meski masih tercatat sebagai peraih suara terbanyak dalam menduduki kursi Anggota DPD mewakili Kepri pada pileg 2009, suara Aida Ismeth menurun signifikan dibanding dengan suaranya ketika ikut berlaga di pileg 2004.
Apalagi jika dikomparasikan dengan kemenangan pasangan Ismeth-Sani terhadapa rival-rivalnya dalam pilgub 2005 tidak terlalu lebar. Dan kenyataannya, pesaing terberat Ismeth untuk pilgub 2010 juga sudah mendeklarasikan untuk ikut berlaga kembali di pilgub Kepri 2010

Keempat, isu gender. Isu ini juga dapat dijadikan komoditi politik untuk menjatuhkan Aida beserta pasangannya. Dalam pengamatan penulis, tidak ada gubernur perempuan yang terpilih dari awal melalui jalur demokrasi murni (baca: pemilihan langsung). Ratu Atut Chosiyah misalnya, menjadi Gubernur Banten berawal dari pejabat sementara atau caretaker.

Aral lainnya, tipologi masyarakat lebih nyaman dipimpin oleh laki-laki daripada perempuan. Apalagi bagi kalangan muslim, perdebatan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin masih menjadi perdebatan meskipun sudah semakin mengecil

Namun yang pasti, terkait kesiapan Aida Ismeth memang merupakan hak berdemokrasi. Apalagi beliau memiliki modal yang cukup untuk beradu keberuntungan menjadi “ratu” pertama di Kepri, sebagaimana yang dinyatakan olehnya “Bahwa elaborasi demokratisasi terbuka bagi setiap anak bangsa tanpa disepakati oleh aspek apapun”.

Meski perlu perjuangan ekstra keras, peluang menjadi gubernur perempuan pertama di Kepri masih terbuka lebar. Apalagi meski menjadi tantangan, keberadaan penduduk Kepri yang mayoritas perempuan jika bisa “dikondisikan” akan berubah menjadi kekuatan yang dahsyat. Kita tunggu saja. Wallahu’alam

*. Diterbitkan di Harian Sijori Mandiri, 27 Januari 2010



Selengkapnya...