Rabu, 20 Juni 2012

Aneh, Pelaku Kerusuhan Dapat Bantuan

Tragedi Planet Holiday

Bentrok berdarah yang terjadi di area Hotel Planet Holiday beberapa hari lalu masih menjadi headline pemberitaan media di Batam. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat Batam dalam satu tahun ini kerap dilanda berbagai kerusuhan, terutama persoalan terkait tenaga kerja yang berujung bentrok yang mengakibatkan rusaknya berbagai fasilitas dan kendaraan.

Namun pertikaian di wilayah Jodoh kemarin yang mengakibatkan seorang tewas dan belasan luka bukanlah dipicu oleh permasalahan tenaga kerja. Bukan pula oleh kemarahan warga yang merasa tempat tinggal atau usahanya “diganggu” oleh pemerintah. “Perang” terjadi lantaran adanya sengketa tanah PT Hyundai Metal Indonesia dengan PT Lord Way Accommodation Engineering.

Ada yang aneh atas kebijakan Walikota Batam, Ahmad Dahlan terkait kesanggupan Pemko Batam untuk menanggung seluruh biaya perawatan bagi seluruh korban yang dirawat di beberapa rumah sakit (RS).

Terus terang, bukan masalah bantuannya yang saya kritisi. Apalagi niatan walikota yang terkenal kumisnya itu untuk membantu keluarga korban dari biaya pengobatan. Namun yang harus dicamkan oleh Pemko Batam adalah, para korban yang berjatuhan itu terlibat pertikaian. Bukan terkapar akibat bencana atau terlindas kendaraan maupun karena penyakit?

Apalagi terjadinya kericuhan dipicu oleh masalah lahan, di mana yang bermain adalah para cukong yang berduit. Semestinya Ahmad “Kumis” Dahlan cukup meminta kepada pihak RS untuk memberi perawatan. Kemudian terkait pembiayaan bisa di-pending sampai tabir otak intelektualnya terungkap.

Meski berbeda dengan tragedi lumpur lapindo, namun ada kemiripan kebijakan terhadap penanganan para korban. Dalam kasus lumpur lapindo akhirnya negara dipaksa ikut menanggung biaya untuk para korban yang tempat tinggalnya diserbu lumpur. Padahal kerusakan alam itu timbul dikarenakan ulah perusahaan Bakrie.

Sedang untuk kasus kerusuhan Batam, Pemko Batam ikut-ikutan mengeluarkan anggaran untuk perawatan para korban pertikaian, padahal para korban adalah orang-orang suruhan para cukong lahan yang berlimpah uang.

Saya khawatir, jika kebijakan model begini yang terus diterapkan, maka jangan heran premanisme akan tetap tumbuh subur di Batam. Dan para cukong pun akan senang. Sementara masih begitu banyak masyarakat yang semestinya mendapat bantuan.

Yah, beginilah hidup di kota yang dipimpin oleh walikota yang minim solusi. Menyedihkan.
Selengkapnya...

Rabu, 06 Juni 2012

Belajar Policy Judi dari Negeri Singa

Saat kaki menginjak Pulau Sentosa, Singapura langsung “disambut” bola bumi raksasa bertuliskan universal studios. Mata dan seluruh anggota badan dipaksa untuk terus mencari lokasi yang strategis guna menghasilkan hasil gambar yang fantastis. Apalagi harus “bersaing” dengan ratusan pengunjung berbagai negara yang juga melakukan hal yang sama (foto) dengan bola dunia sebagai latarnya.

Setelah puas bermain dengan kamera, mata pun beralih ke pandangan lainnya. Dan tanpa diduga menemukan sebuah tanda arah panah menuju lokasi perjudian (casino).

Meski tidak ada biaya masuk ke casino (hanya menunjukan passport), namun tetap saya urungkan untuk melihat pemandangan aslinya. Apakah seperti film “God of Gambler” yang menceritakan tentang para dewa judi memburu rezeki di atas meja? Atau seperti jackpot yang sering “dimanipulasi” sebagai permainan ketangkasan, atau mungkin seperti permainan judi kampung? Saya gak tahu.

Ada satu hal yang membuat saya “tertarik” dengan kebijakan Pemerintah Singapura terhadap warganya dalam menyalurkan hobi berjudi. Meski Singapura adalah satu negara yang menjadikan perjudian sebagai penarik devisa, namun negara ini justru memberikan syarat yang lumayan berat bagi warganya untuk berjudi.

Bayangkan, bagi warga negari non Singapura, untuk masuk ke lokasi perjudian tidak dipungut biaya satu sen pun. Sedang warga lokal justru harus menggelontorkan Sin$100. Jika kurs Sin$1 adalah Rp 7400, maka warga negeri Singa untuk tiket masuk saja harus mengeluarkan Rp. 740.000. Itu artinya harus kalah sebelum bertanding.

Coba bandingkan dengan Indonesia. Meski sebagai negeri kaum muslim terbesar yang jelas melarang untuk berjudi, namun tidak ada good will dari para pemimpin yang mayoritas muslim agar warganya tidak candu terhadap judi.

Bayangkan. Semua model judi ada di Indonesia. Dari yang tradisional seperti taruhan ada jago, tebakan plat nomor mobil sampai yang modern ala judi bola via internet semuanya ada di negeri ini.

Saya jadi berpikir, jika saja pemerintah membuka lokasi perjudian legal di negeri ini, maka policy-nya berbalik dengan Singapura. Untuk warga pribumi digratiskan sedang untuk pendatang asing dikenakan “upeti” yang besar dengan alasan devisa masuk. Wadooooh … wadoooh. Semoga gak bakalan terjadi.
Selengkapnya...