Setiap masa kampanye tiba, istilah politisi busuk menjadi sajian hangat yang seolah sudah menjadi menu utama untuk menyambut pesta demokrasi yang sudah sering dilaksanakan di negeri ini. Istilah ini bagaikan penyakit masyarakat seperti miras, narkoba, pekerja seks komersial. Dibenci, namun keberadaannya susah untuk dihilangkan
Dari pemilu ke pemilu, politisi busuk senantiasa lolos dari saringan parpol dan tentu juga masyarakat . Tidak saja untuk legislator yang ada di pusat (DPR), untuk yang bakal ‘mangkal’ di provinsi dan kota pun jumlahnya sudah tidak ketulungan
Dari banyak referensi, ternyata yang dikategorikan sebagai politisi busuk ini banyak cirinya. Bisa jadi mereka adalah koruptor yang menyikat uang rakyat. Bisa juga mereka menipu dengan menggunakan ijazah palsu, perusak lingkungan atau mungkin tersangkut kriminalitas lainnya. Bahkan para politisi yang ganti ‘baju’ pun dikategorikan sebagai politisi busuk
Fenomena politisi ganti partai menjelang pemilu 2009 sangat marak. Alasan mereka ingin menyalurkan aspirasi rakyat, namun kenyataannya adalah hanya ingin menikmati jabatan yang sudah atau akan disandangnya. Buktinya, mereka pindah partai itu bukan karena alasan prinsip, namun lebih karena tidak legowo mendapat nomor sepatu. Lantas kalau begini, bagaimana mereka mau menyampaikan aspirasi, jika visi dan misi partai yang memayungi juga mereka tidak memahaminya.
Sudah cukup? Bagi saya politisi busuk juga dapat dilihat dari keluarganya. Jika caleg keluarganya berantakan karena proses yang tidak ‘alamiah’, seperti adanya perselingkuhan antara suami/istri atau mungkin kedua-duanya
Untuk itu jangan pilih caleg dan partai yang calegnya diisi oleh politisi yang busuk dengan kriteria di atas. Jika poltisinya sudah busuk, apakah mungkin Indonesia bisa wangi? Wallahua'lam
Rabu, 19 November 2008
Politisi Busuk, No Way!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
pilih no.8 saja...biar sejahteraa..hahaha
pilih saya untuk indonesia yang lebih maju :D
Posting Komentar