Senin, 06 Juli 2009

Muhammadiyah (sudah) Berubah

Adanya pergeseran figur kepemimpinan dalam tubuh Muhammadiyah dari kalangan ulama ke akademisi (juga politisi) adalah hal yang tidak terlalu merisaukan saya sebagai anak yang lahir dari rahim keluarga Muhammadiyah. Namun, apabila ormas yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini sekarang menjadi kagetan dan meledak-ledak, maka itu adalah hal yang justru melemahkan bagi organisasi yang didirikan pada tahun 1912 ini

Muhammadiyah dahulu dikenal sebagai gerakan dakwah yang puritan dan modern. Beberapa kali Majlis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa yang pada awalnya kontroversial, namun lambat laun ternyata diamini oleh banyak orang, termasuk yang mengkritiknya.

Pada saat itu di sana duduk ulama dakwah sekaliber KH AR Fahruddin yang memiiliki keluasan ilmu. Disusul KH A. Azhar Basyir, MA, seorang akademisi yang sekaligus ulama yang menguasai bidang ilmu fiqih yang diakui oleh dunia Islam. Belum lagi kepemimpinan para tokoh sebelumnya, semacam Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansyur dan lainnya

Muhammadiyah juga familiar dengan jumlah amal usaha yang luar biasa. Ada PKU Muhammadiyah yang tersebar di banyak kota di Indonesia, ada panti asuhan dan banyak lainnya. Bidang pendidikan juga digarap oleh ormas yang lahir di daerah Jogja ini.

Namun lambat laun Muhammadiyah mengalami perubahan. Diawali di penghujung kepemimpinan Amien Rais sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah (sebutan Ketua Umum pada masa itu) yang membawa gerbong Muhammadiyah ke politik praktis. Prof. Syafii Ma’arif juga belum bisa mengembalikan Muhammadiyah sebagai “macan” dakwah. Terakhir, Din Syamsudin sebagai pucuk pimpinan ternyata gaya kepemimpinannya lebih politis dari lainnya.

Diajang pilpres ini, Muhammadiyah tidak malu-malu dijadikan sebagai kendaraan politik oleh pengurus-pengurusnya. Di banyak kegiatan tabligh akbarnya, secara terang-terangan sang da’i mengajak jama’ah untuk memenangkan salah satu kandidat pilpres 2009

Bahkan terbaru, Din Syamsudin menjadi fasilitator atas tuntutan penyelesaian daftar pemilih tetap (DPT) oleh pasangan Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta Ahad (5/7)

Memang benar, politik dan Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan, namun apabila fenomena dukung-mendukung di ajang resmi (tabligh akbar), apalagi memanfaatkan amal usaha (Gedung Dakwah PD, PW atau PP Muhammadiyah) dijadikan sebagai ajang kampanye, jelas bukan merupakan budaya Muhammadiyah.

Jadi jangan sampai karena ulah segelintir elit, tujuan Muhammadiyah jadi berubah

Tidak ada komentar: