Rabu, 22 Juli 2009

Musyawarah dan Kemaslahatan Konklusi

Banyak media memberitakan, saat ini kerap ditemui adanya gesekan yang mengarah perpecahan yang terjadi antar personal maupun institusi. Parahnya benih-benih perpecahan itu bukan hanya “monopoli” lembaga politik saja, namun sudah menjalar ke hampir semua lembaga, tak terkecuali lembaga terkecil seperti keluarga maupun lembaga “suci” yang dinisbatkan kepada organisasi massa maupun politik yang berideologi agama

Sudah menjadi rahasia umum, manakala organisasi melakukan pergantian struktur kepemimpinan, maka hampir dipastikan bakal ada perpecahan. Sangat sedikit parpol yang dalam suksesi kepemimpinannya berjalan mulus.

Di sisi lainnya, setiap hari infotainmen mengabarkan sejumlah pasangan selebriti yang keluarganya berantakan. Celakanya informasi di atas menjadi referensi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga pertengkaran dan perceraian menjadi tak terelakan lagi

Mengapa hal itu terjadi? Lantaran semuanya berharap kepentingan pribadinya lah yang harus diakomodir. Meski demikian, sebenarnya memiliki keinginan adalah fitrah manusia, untuk itu agar tidak liar, Islam mewajibkan musyawarah dalam menentukan segala sesuatu. Tentu dalam batasan yang tidak melanggar syariat yang sudah ditetapkan oleh nash (Al Qur’an dan Sunnah)

Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa, musyawarah merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Hal ini karena dalam kehidupan berjamaah, ada banyak kepentingan, kebutuhan maupun persoalan yang harus dihadapi dan diatasi secara bersama-sama agar bisa terjalin kerjasama yang apik. Untuk itu dalam proses musyawarah itulah, harus berlangsung apa yang disebut dengan dialog dua arah.

Menurut Wikipedia, musyawarah adalah proses deliberasi atau berembuk yang mempertimbangkan semua sisi dari sebuah isu. Sedang menurut Ahmad Yani dalam “Musyawarah Dalam Kehidupan Seorang Muslim”, musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama.

Regulasi Rabbani
Allah menciptakan manusia dengan keinginan dan isi otak yang berbeda-beda. Andai tidak ada “the rule of game”, maka dapat dipastikan akan timbul permasalahan. Petunjuknya adalah adanya regulasi Rabbani yang disebut dengan musyawarah, baik dalam skala keluarga sampai bernegara

Di dalam Al-Qur’an, sedikitnya terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang syura. “Dan (bagi) orang–orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka ….” (QS: 42: 38). Kemudian QS: 3: 159 “…. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahkan dengan mereka dalam urusan itu ….”

Ayat pertama (QS: 42: 38) masuk dalam kelompok Surat Makkiyah (surat yang turun di Mekah) sedangkan ayat kedua (QS: 3: 159) dikategorikan sebagai Surat Madaniyah (surat yang turun di Madinah). Itu artinya perintah bermusyawarah sudah ada sejak awal Islam dan eksistensinya tetap berlanjut sampai Islam masuk dalam wilayah daulah Islamiyah

Di ayat yang ketiga “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya …” (QS: 2: 233)

Dari ayat-ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa musyawarah menempati posisi yang istimewa dalam Islam. Pertama, musyawarah keberadaannya persis di bawah perintah mendirikan sholat. Oleh sebab itu, masyarakat yang mengingkari atau mengabaikan syura dapat dianggap sebagai masyarakat yang cacat dalam komitmen terhadap salah satu bentuk ibadah.

Kedua, dalam menghadapi persoalan harus menjadikan musyawarah sebagai jalan keluar, karena tanpa musyawarah akan kehilangan kemaslahatan dan yang ketiga secara khusus dalam persoalan rumah tangga kesepakatan suami dan istri berjalan melalui mekanisme musyawarah

Musyawarah dan Politik Indonesia
Semasa orde Baru, kalimat musyawarah (mufakat) suaranya nyaring terdengar. Namun sayang, kalimat yang nyunah tersebut disalah artikan sebagai retorika untuk mengontrol kebebasan politik

Secara pendek kata musyawarah dalam konteks politika orba berarti memaksa peserta rapat untuk menerima keputusan penguasa atau kelompok yang berkuasa. Musyawarah secara halus berarti intimidasi, menekan atau mendesak (wikipedia.com)

Padahal dalam persoalan politik kenegaraan pada masa Rasulullah memimpin senantiasa menggunakan jalur musyawarah. Dalam sejarah Nabi kita dapati bagaimana Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya.

Ketika hendak berhijrah ke Madinah, beliau kumpulkan sahabat-sahabat utama untuk bermusyawarah guna membicarakan strategi penting perjalanan hijrah. Bahkan dalam masalah perang sekalipun prinsip musyawarah tetap dilakukan, padahal Nabi Muhammad adalah orang yang mulia dan mendapat akses wahyu langsung dari Allah

Kesimpulan
Manakala musyawarah telah dilaksanakan dengan baik, ada banyak hikmah yang akan diperoleh bagi kaum muslimin dalam kehidupan berjamaah. Ali ibn Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam mussyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindrakan celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati dan mengikuti atsar (Yunahar Ilyas: Kuliah Akhlaq: 232)

Sebaliknya, siapapun yang meninggalkan syura dalam menyelesaikan persoalannya, maka secara nyata telah melakukan ‘pembangkangan’ terhadap perintah agama, karena musyawarah merupakan sifat yang melekat dalam tubuh umat Islam, seperti halnya sholat, puasa, zakat dan pilar Islam lainnya.

Sebenarnya musyawarah bukan monopoli umat Islam saja, prinsip ini merupakan bagian integral fitrah manusia baik secara individu maupun kelompok. Hal ini sebagaimana dalam Kisah Ratu Balqis terkait dengan surat Nabi Sulaiman (lihat QS: 27: 32-33) dan kisah Fir’aun setelah mengetahui kekuatan Nabi Musa (QS: 26: 34-37) Wallahua’lam

Tidak ada komentar: