Selasa, 23 Februari 2010

Bola Panas Pajak PSK

Bola panas tentang rencana penarikan pajak terhadap Pekerja Seks Komersial (PSK) di Pusat Rehabilitasi Non Panti (PRNP) Teluk Pandan yang ditendang oleh legislator asal FPKB, Riki Solihin terus saja menggelinding. Usulan yang dimaksudkan untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini menarik berbagai kalangan untuk menanggapi

Dalam pengamatan penulis, isu di atas menjadi menarik karena beberapa hal, yaitu karena dalam hitung-hitungan Anggota Komisi I DPRD Kota Batam ini, Pemko Batam akan mengeruk hasil pajak dari para penikmat seks dengan nilai yang fantastis, yaitu
Rp. 6,4 M per tahun

Selanjutnya pernyataan ini lebih menarik perhatian karena Riki adalah salah satu kader PKB. Meski tidak menyatakan sebagai partai berideologi Islam, PKB tergolong partai berbasis massa Islam. Apalagi secara de facto, partai yang identik dengan Gusdur ini adalah masih menjadi “kepanjangan tangan” dari ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU)

Namun terlepas dari nyleneh tidaknya gagasan Riki Solihin ini, penulis ingin mendudukan ketentuan umum yang berkaitan dengan praktek prostitusi sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada Perda No. 6 Tahun 2002 Bab I tentang Ketentuan Umum pada huruf (i) disebutkan jelas bahwa PRNP adalah suatu tempat untuk mengembalikan moralitas dan mentalitas seseorang supaya dapat hidup normatif sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya sebagai warga negara yang baik

Lebih tegas lagi, Perda tentang ketertiban sosial yang disetujui oleh DPRD Kota Batam ini di “prolognya” mengatakan bahwa dalam perkembangan kemajuan Kota Batam yang demikian pesat telah membawa dampak positif yang signifikan, namun di lain pihak juga menimbulkan dampak negatif, di mana kegiatan yang bertentangan dengan norma - norma agama dan kesusilaan di Kota Batam perlu segera diatasi

Menyimpulkan dari isi Perda di atas, keinginan Riki Solihin untuk memungut pajak 10 persen semangatnya justru berlawanan dengan hukum. Penulis sepakat dengan pendapat Ketua MUI Batam yang menyatakan menarik pajak hasil prostitusi sama saja dengan melegalkan prostitusi (Sijori Mandiri: 17/2). Sehingga jika keukeuh diajukan menjadi Perda, maka akan bermasalah karena beberapa alasan

Pertama, tindakan ilegal. Prostitusi adalah kegiatan ilegal yang bertentangan dengan agama dan juga undang-undang (UU). Tidak ada satu pasal pun dalam UU maupun peraturan daerah yang mengesahkan pelacuran.

Anehnya, Riki Solihin sebagai pencetus ide di atas juga mengetahui jika UU melarang mengambil sesuatu dari praktek tersebut. Dengan jelas Riki mengatakan “Memang di dalam UU kita melarang agar pemerintah tidak mengambil keuntungan dari praktek tersebut” (Sijori Mandiri: 18/2)

Lebih gambalng lagi di Perda No 6 Tahun 2002 yang ditandatangani oleh Nyat Kadir ini menjelaskan, eksistensi PRNP itu tidak untuk dilegalkan, namun justru untuk ditutup dalam kurun waktu tiga tahun apabila sudah diberikan pembinaan yang efektif oleh Pemko Batam. (lihat Bab III tentang Tertib Susila)

Kedua, multi ekses. Masuknya PAD senilai Rp. 6,4 M per tahun tidak sebanding dengan ekses yang bakal ditimbulkan dari pelegalan praktek bisnis esek-esek ini. Sebagaimana jamak diketahui bahwa dampak buruk dari melakukan perbuatan asusila ini menimbulkan multi efek. Tidak saja timbulnya penyakit HIV/AIDS, namun juga dampak buruk lainnya seperti kelainan psikologi, pengucilan sosial dan juga pemantik perbuatan kriminal dan lainnya

Tentu jika dilegalkan Batam tidak memiliki masa depan yang “terjamin” dalam mengelola daerahnya secara kondusif, karena Sumber Daya Manusia (SDM)-nya sudah banyak yang “sakit”. Selain itu pelegalan prostitusi justru menginjak-injak visi Batam sebagai Bandar Dunia Madani, karena konsep yang terinspirasi dari zaman keemasan Islam ini jauh dari unsur-unsur tindakan asusila

Ketiga, ide kurang kreatif. Menurut hemat penulis, munculnya wacana rencana penarikan pajak terhadap PSK justru semakin menguatkan asumsi publik bahwa kualitas para anggota dewan yang terhormat itu (maaf) kurang kreatif, karena sebenarnya masih banyak ide yang “halal” untuk bisa mendongkrak PAD

Peran Agamawan
Secara hukum, pemindahan praktek pelacuran ke PRNP diwajibkan untuk tidak menambah jumlah PSK. Namun kenyataannya jumlahnya kian membesar dari tahun ke tahun. Meningkatnya profesi haram tersebut merupakan “tamparan” bagi para agamawan yang hanya ”berasyik masyuk” dengan ibadah transendentalnya, tanpa peduli dengan kondisi umatnya yang masih diselimuti oleh tindakan amoral.

Muhammad Iqbal, filosof besar menyentil model agamawan seperti di atas dengan senandungnya, “Andai aku adalah Muhammad. Maka, aku tak akan turun lagi ke bumi. Setelah sampai di Shidratul Muntaha “

Padahal semua berharap orang-orang yang sedang singgah di “Shidratul Muntaha” (baca: eksekutif, legislatif, juga para agawamawan dan lainnya) adalah orang-orang yang diharapkan siap untuk berperan aktif atas berbagai persoalan keumatan. Jadi mereka tidak boleh apatis


Tamparan Untuk Pemko
Banyaknya tanggapan negatif terhadap isu pajak PSK ini tentu bukan hanya “kesalahan” pihak legislatif saja. Pemko Batam sebagai eksekutif juga memiliki andil besar kenapa gagasan nyleneh ini muncul. Salah satunya adalah kurang ligatnya Pemko Batam dalam mengelola peluang untuk mempersubur PAD.

Pemko Batam harus menata kembali peluang yang bisa mendulang pundi-pundi PAD secara halal. Pertama dari parkir. Pendapatan dari parkir selama ini dari dua jalur, yaitu pendapatan beberapa persen dari pengelola lahan parkir khusus seperti di Mall dan lainnya, dan juga pendapatan dari kendaraan yang dipungut biayanya karena parkir di tepi jalan.

Dalam pandangan penulis, selama ini pengelolaan parkir di tepi jalan belum dikelola secara optimal. Selama ini Pemko Batam sudah puas dengan cukup men-sub count-kan bisnis ini kepada pihak tertentu. Kompensasinya dengan “tidak berkeringat”, Pemko akan menerima pemasukan

Padahal saat ini rata-rata penduduk Batam memiliki kendaraan bermotor, baik mobil maupun motor. Mobilitasnya pun sangat tinggi. Dalam sehari potensi untuk parkir dari satu tempat ke tempat lainnya pun kerap terjadi. Jika mau “berdarah-darah”, Pemko akan mendapatkan jauh lebih besar.

Selanjutnya mendongkarak PAD dari sektor pariwisata. Untuk menarik wisatawan asing maupun domestik, Pemko Batam menelurkan Program Visit Batam 2010. Program ini tentu sangat berperan besar dalam memperbanyak pundi-pundi PAD.

Namun kenyataannya program Visit Batam 2010 cuma sebagai ajang “gagah-gagahan” saja, buktinya dalam Nota Keuangan APBD Kota Batam Tahun Anggaran 2010 justru rencana pendapatan disektor pariwisata mengalami “terjun bebas” dengan berkurangnya sampai lebih dari Rp.100 M dibanding APBD tahun 2009.

Seharusnya, dengan meningkatnya kunjungan pariwisata otomatis akan mendongkrak tingkat hunian hotel, baik berbintang maupun non berbintang, namun kenyataannya PAD dari sektor tersebut justru mengalami penurunan. Padahal untuk mensosialisasikan program tersebut telah menyedot keuangan yang besar

Hal ini menjadi aneh karena Pemko sebagai pemilik program justru pesimis dengan idenya sendiri dapat mendulang untung besar, sehingga wajar apabila banyak kalangan mensangsikan program yang strategis mengeruk PAD ini. Dan sebenarnya masih banyak sektor lainnya yang belum digarap maksimal, seperti pajak reklame dan lainnya. Wallahua’lam.

*. Artikel ini ditulis sejak 18 Feb 10, dan sudah dikirim ke salah satu media (tapi blm dimuat)

1 komentar:

BERBAHAYA mengatakan...

TELUK PANDAN ??
kayak nama daerah dekat tempat tinggal gwe di Kalimantan Timur

Coba kunjungin juga ke www.berbahaya.org

klo kamu ngerasa muda,beda,n berbahaya…