Rabu, 14 Oktober 2009

Political Financing

Hajatan pemilu telah usai. Presiden dan wakilnya yang baru pun sudah diputuskan. Kini yang sedang ngetren dalam pagelaran politik nasional adalah hajatan untuk mencari ketua umum yang baru di berbagai partai politik

Diawali oleh Partai Golkar yang menggelar musyawarah nasional (munas) di Pekanbaru, Riau. Januari tahun depan giliran PAN mengelar Kongres ke-3. Partai berlambang matahari terbit itu mendapuk Batam sebagai shohibul hajatnya. PKS pun sudah berancang-ancang. Dan sudah barang tentu parpol yang lain tinggal menunggu giliran

Namun sayang, Partai Golkar sebagai parpol pembuka dalam melakukan suksesi kepemimpinan justru meninggalkan banyak noktah hitam. Publik mencium aroma tidak sedap para kandidat bagi-bagi uang. Memang sudah diprediksi, politik transaksional bakal tumbuh subur di ajang perebutan ketua umum partai berlambang pohon beringin tersebut

Bertaburan uang dalam memilih pemimpin di Indonesia memang bukan barang baru. Hampir di setiap ajang pemilihan di level apapun, isu permainan uang menjadi berita yang kerap kali tak bisa dihindarkan. Mulai dari pemilihan ketua ranting sampai ketua umum. Memilih ketua fraksi sampai ketua DPR/D. Memilih kepala desa sampai kepala negara. Intinya memilih pemimpin di Indonesia ibarat melakukan pelelangan, siapa yang berani bayar lebih, maka dialah sang pemenang

Sebenarnya buramnya politik uang bukan hanya monopoli partai Golkar saja. Di panggung-panggung munas lain juga banyak terjadi praktek tebar uang untuk meraih posisi ketua umum. Atas nama political financing (pembiayaan politik) bagi-bagi duit dari Rp. 100 juta sampai Rp. 1 M pun harus dilakukan. Meski ada juga parpol yang suksesi kepemimpinananya relatif bersih

Sehingga wajar jika J Kristiadi di Kompas menulis, bahwa ranah politik adalah ajang lelang kekuasaan dan wilayah di mana kepentingan apa pun dapat dijadikan transaksi. Inilah lahan subur bagi para politisi melakukan petualangan, baik untuk memanipulasi kekuasaan, mencari proteksi, menghapus sejarah kelam masa lalu, maupun membangun citra.

Hal ini juga yang menjadi pemicu apatisme masyarakat dalam menggunakan haknya di bilik-bilik suara. Faktor yang menyebabkan tingginya golput, termasuk kian turunnya kepercayaan pada partai politik (salah satunya pada proses suksesi kepemimpinannya). Hal ini dapat dibuktikan dengan partisipasi masyarakat pada pemilu dan pilkada tingkat kesadaran pemilih dalam menggunakan haknya merosot.

Semoga Kongres PAN dan Munas PKS serta partai lainnya mampu memunculkan spirit baru yang mencerdaskan. Kemenangan yang didapat dengan cara yang elegan, sehinga perjuangan melalui partai memang benar-benar mampu diejawantahkan. Bukan yang mengatasnamakan political financing lantas melakukan politik transaksional. Semoga. Wallahua’lam


Tidak ada komentar: