Jumat, 26 Juni 2009

Sebelum Sumber Masalah Menjadi Raksasa

Banyak maling uang rakyat masih bisa cengengesan di persidangan. 10 M, 100 M atau bahkan 1 T sampai ber T-T uang rakyat dilahap, mereka tetap enjoy. “Anehnya”, mereka masih mengenakan busana necis bak seorang juru selamat. Sangat kontras dengan kehidupan “bumi” yang tega dan keras. Maling telur, maling ayam atau sandal harus melalui “akademi militer” massa alias jadi bulan-bulanan
********
Seperti biasa, sembari menunggu istri melakukan aksi belanja di sebuah pasar tradisional yang ada di wilayah Sei Beduk, saya lebih memilih jalan-jalan mengelilingi pasar bareng Nazla dan menunggu (lebih tepatnya menjaga) putri sulung kami bermain dengan kucing pasar yang bersih dan lucu.

Hari itu tidak seperti biasa. Hampir setengah jam berlalu, Ummu Bila belum juga nongol dan mengajak kami untuk segera pulang. Tanpa musyawarah, saya langsung menggendong Nazla masuk ke pasar. Alangkah terkejutnya, karena saat itu suasana di dalam pasar sedang “panas” dan “chaos”.

Tak jauh dari tempat langganan istri saya membeli kebutuhan harian, ada seorang yang dihardik secara masal. Alhamdulillah tidak terjadi penghakiman massa. Usut punya usut ternyata orang tersebut membawa tujuh buah telur tanpa bayar alias mencuri. Gara-gara 5 butir telur ayam dan 2 butir telur bebek itulah yang membuat dia harus mengenang kisah pahitnya seumur hidup.

“Kasihan ya Mi, gara-gara 7 telur malu seumur hidup. Emang berapa sih harga semuanya?” Tanya saya ke istri. “Di pasar sering terjadi (pencurian) kok mas, modusnya juga bermacam-macam. Sepertinya bukan karena gak punya duit lho mas, buktinya tadi ketika dikejar dan dihardik rame-rame juga bayar”, terang istri panjang kali lebar.

“Baik sangka dong Mi, mungkin ibu tadi benar-benar lupa, atau memang karena terpaksa mencuri. Mungkin duit yang tadi buat bayar sebenarnya buat beli beras atau lainnya”, tumben, mendadak naluri sosial saya muncul

Saya yakin ada ribuan kasus yang sama di pasar-pasar di seluruh Indonesia. Ambilah pelajaran dari kisah di atas. Jangan sampai rumah kita tiap hari membuang makanan, sementara tetangga kita kelaparan, sehingga membuat mereka nekad untuk mencuri demi mengganjal perut yang memang tak mau diajak kompromi.

Teng, saya langsung teringat negeri ini. Banyak maling uang rakyat masih bisa cengengesan di persidangan baik di daerah maupun di pusat. 10 M, 100 M atau bahkan 1 T sampai ber T-T uang rakyat dilahap, mereka tetap enjoy. “Anehnya”, mereka masih mengenakan busana necis bak seorang juru selamat. Sangat kontras dengan kehidupan “bumi” yang tega dan keras. Maling telur, maling ayam atau sandal harus melalui “akademi militer” massa alias jadi bulan-bulanan

Sebelum masalah menjadi raksasa kita harus potong eksistensinya. Sepakat dengan statement Hidayat Nur Wahid, para koruptor pantas di dor mati saja kalau nominalnya keterlaluan. Siapapun mereka.

Bukankah “perut” sumber masalah? Lapar masalah, kekenyangan juga jadi masalah. Siapapun kelak pemimpinnya, mereka harus “Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta Menegakkan Supremasi Hukum dan HAM” sesuai tema debat capres putaran pertama. Ya, meski tidak seru, namun setidaknya janji-janji mereka wajib dipertanggung jawabkan.

Komponen trias politica, aghniya dan agamawan serta semua saja harus buka mata dan jangan tutup telinga, sebab masalah di atas adalah realita. Lantas, apa trobosannya?

Tidak ada komentar: