Jumat, 05 Juni 2009

Wapres, Ban Serep dan Masa Depan Demokrasi

Oleh: Ibnu Syakir*

Pada Kamis malam (4/5), di “Ring Politik”, sebuah acara politik yang digelar oleh salah satu televisi swasta, Calon Wakil Presiden pendamping Megawati Soekarnoputri, Letjend (Purn) Prabowo Subianto mengatakan bahwa dirinya jika kelak terpilih akan mendapat kewenangan yang tidak sekedar ban serep dalam menjalankan roda pemerintahan

Prabowo dengan jelas mengatakan bahwa ia maju ke gelanggang politik ini untuk memberikan perubahan ekonomi. Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra ini pun terang-terangan sudah disetujui (Megawati) untuk berperan lebih banyak dalam bidang ekonomi

Hal senada juga pernah dikatakan oleh cawapres pasangan SBY, Boediono. Sebagaimana banyak media memberitakan, Boediono menerima tawaran mendampingi SBY, lantaran ia meyakini ada kesempatan baginya untuk memberikan kontribusi kepada bangsa, untuk itu dengan kapabilitas yang dimiliki, ia pun tidak ingin dijadikan ban serep.

Tentu hal di atas juga menjadi pengharapan Jendral (Purn) Wiranto sebagai cawapres dari Jusuf Kalla (JK). Ibarat ketiban durian runtuh, saat diskusi di Graha Pena, JK juga menyatakan jika memang terpilih menjadi presiden, dirinya tidak akan memposisikan wapres sebagai sekadar ban serep atau pembantu. Wapres juga punya peran untuk mengisi kekurangan di pemerintah. “Dibantu itu bukan berarti pembantu,” tegasnya.

Ban Serep dan Masa Depan Demokrasi
Setelah kontrak politik disepakati, mitra koalisi fokus untuk meraih kemenangan. Mesin-mesin koalisi politik pun digerakan. Masing-masing pasangan berkeyakinan dapat memenangkan pertempuran. Namun yang pasti, salah satu diantara tiga ada yang menjadi pemenang. Entah pasangan Mega-Prabowo, Duet SBY-Boediono atau dwi tunggal JK-Wiranto.

Siapapun yang menjadi pemenang, akan muncul banyak persoalan. Selain permasalahan hutang luar negeri dan seabrek problem bangsa, juga persoalan yang menyangkut akad koalisi antar parpol. Adakah jaminan (secure) konsistensi dari perjanjian yang disepakati bersama? Mengingat semua parpol yang berkoalisi (dengan parpol 'induk') memiliki perolehan suara yang njomplang (Jawa: sangat jauh bedanya). Pertanyaannya adalah seberapa kuat ikatan kontrak politiknya?

Dikhawatirkan parpol induk akan berlaku semena-mena. Bukan sekadar dalam tataran power sharing, namun juga dalam hal lainnya. Lihat saja, Mega-Prabowo yang diusung oleh PDIP-Partai Gerindra, jaraknya cukup jauh antara 14,50% dan 4,23%. Untuk SBY-Boediono, perolehan suara Partai Demokrat dengan partai pendukung lainnya juga tidak imbang. Terakhir, JK-Wiranto selisihnya terpaut sampai 11%.

Melihat kondisi di atas, sangat terbuka peluang bagi partai induk (PDIP, Partai Golkar atau Partai Demokrat) untuk melakukan “penghianatan” terhadap anggota koalisi. Kondisi ini diperparah dengan perjalanan kedewasaan politik yang dipraktekan oleh banyak parpol di Indonesia yang masih jauh panggang dari api

Namun, andai SBY-Boediono menang, partai pendukungnya memiliki posisi yang lebih nyaman, karena selain berada dalam daftar partai tengah, PKS, PAN, PPP, dan PKB juga sama-sama memiliki ideologi dan basis massa yang sejenis (Islam). Jika kompak, mereka memiliki bargaining yang lebih kuat. Apalagi posisi cawapres tidak berasal dari parpol

Akan tetapi sebaliknya, jika koalisi ini manut-manut saja, maka akan sangat membahayakan demokrasi. Karena mengingat perolehan suara dan kursi di parlemen, pasangan SBY-Boediono mengantongi lebih dari 50%. Untuk itu, demi kepentingan yang lebih besar, sebaiknya tetap menjadi mitra koalisi yang kritis, seperti yang sudah ditunjukan selama ini.

Ban Serep di Mata UUD 1945
UUD 1945 telah mengatakan bahwa Negara ini dipimpin oleh seorang Presiden dan dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Wakil presiden adalah pengganti Presiden apabila berhalangan tetap. Pada saat Presiden Soekarno, kita mengenang seorang Wakil Presiden yang begitu luar biasa. Begitu juga era Presiden Soeharto yang beberapa kali mempunyai Wakil Presiden

Harus diakui, meskipun mereka (para Wapres) itu hebat, namun mereka tidak pernah memutuskan kebijaksanaan langsung. Bung Hatta dan para wapres Soeharto (Adam Malik cs) tidak banyak diberi kewenangan dalam menjalankan pemerintahan. Tetapi “anehnya”, saat itu tidak pernah ada istilah ban serep atau bamper untuk posisi setinggi wapres

Tetapi justru setelah reformasi, istilah ban serep tumbuh subur. Padahal mulai pemilu 2004, pilpres dilaksanakan dengan cara yang berbeda, yaitu melalui pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga secara tidak langsung eksistensinya harus memiliki peran lebih pada bidang-bidang tertentu

Kesimpulannya bahwa posisi Wapres adalah pekerjaan strategis. Wapres bukanlah ban serep dalam pemerintahan. Wapres jangan sekedar bertugas meresmikan proyek-proyek, karena jabatan orang nomor dua tidak hanya sebagai hiasan politik.

Wapres mempunyai kewenangan dan kewajiban yang sama dengan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan memajukan peradaban bangsa. Untuk itu seyogyanya ia berhak menangani dan bertanggung jawab atas bidang-bidang tertentu. Hal ini tentunya dengan koordinasi bersama dengan Presiden.

Siapa pun yang terpilih, koalisi dengan parpol pendukung harus diteruskan dengan berkoalisi dengan rakyat, melalui program yang pro rakyat dan mencerdaskan. Hal ini sebagai tanggung jawab mengaplikasikan platform mereka untuk mensejahterakan dan mencerdaskan rakyat. Wallahua’lam

*. Anggota Centre for Strategic and Policy Studies (CSPS) Batam

Tidak ada komentar: