Senin, 29 Juni 2009

Isra’ Mi’raj dan Lukisan Peradaban

Oleh: Ibnu Syakir

Saat ini dalam kalender hijriyah kita masih berada pada awal perjalanan bulan Rajab. Sebagai umat Islam, ketika mendengar bulan Rajab, maka yang akan teringat adalah sebuah peristiwa besar pada diri sang Rasul yang ma’shum ketika melakukan perjalanan spektakuler yang populer disebut dengan peristiwa Isra’ Mi’raj.

Spektakuler karena perjalanan di atas adalah rekreasi yang luar biasa. Kendaraannya bukan lagi bus kota, kereta cepat atau pesawat pribadi sekalipun, akan tetapi Buroq. Tujuannnya tidak ke Jakarta, Batam, LA. Bukan pula London, namun Shidratul Muntaha. Urusannya bukan urusan politik, budaya dan ekonomi, namun urusan keumatan

Momentum sejarah tersebut adalah peristiwa yang sangat luar biasa. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha, di Palestina, kemudian dilanjutkan dengan menembus lapisan langit tertinggi (Shidratul Muntaha). “Uniknya”, semua itu ditempuh dalam waktu sehari semalam. Peristiwa mengagumkan yang diterima Rasulullah SAW.

Selain kewajiban sholat lima waktu, pelajaran yang dapat diambil dari Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW adalah sifat tanggung jawab yang besar kepada umatnya untuk melakukan ishlah (perbaikan).

Bayangkan, Rasulullah sudah sampai di Shidratul Muntaha, sebuah tempat yang tidak ada tetesan darah dan air mata. Tempat yang tidak bakal ditemui adanya orang kepayahan, baik karena kelaparan, ketidak adilan, pertikaian dan peperangan antar suku dan kabilah sebagaimana yang terjadi di jazirah Arab dan bumi-bumi lainnya

Namun Rasul lebih memilih untuk segera pulang ke bumi, untuk menemui sahabat-sahabatnya . Untuk menyampaikan sabda-sabdanya. Untuk menyampaikan firman-firman-Nya. Rasul lebih memilih untuk segera ke bumi, untuk mendakwahi sanak kerabatnya dan kaumnya yang pada saat itu masih banyak yang hidup dalam kubangan kesyirikan dan keabsurdan lainnya. Meski resiko yang akan dihadapi tidaklah ringan
********
Namun, saat ini kita menyaksikan orang-orang yang sedang singgah di “Shidratul Muntaha” itu kini banyak yang tidak mau turun lagi ke “bumi”. Di sana, mereka terbawa mimpi bersama kemewahan, kehormatan dan keistimewaan. Mereka telah lupa dengan tugas dan kewajiban pokoknya, yaitu untuk melakukan perbaikan.

Mereka adalah para penguasa yang sibuk dengan kursinya. Mereka dibutakan oleh realitas bahwa masyarakatnya masih banyak yang butuh uluran tangan karena kemiskinan, kebodohan dan seabrek persoalan lainnya

Mereka juga para agamawan yang hanya “berasyik masyuk” dengan ibadah transendentalnya, tanpa peduli dengan kondisi umatnya yang masih diselimuti oleh tindakan amoral. Diperparah mental mereka yang masih tergantung dengan ‘jatah makanan olahan’ dari objek dakwahnya

Mereka juga para pebisnis yang hanya memikirkan perniagaannya bagaimana meraih keuntungan yang besar tanpa berpikir bagaimana kesejahteraan buruh mereka. Mereka juga kaum intelektual yang waktunya hanya dihabiskan dengan diktat dan buku-buku tebal. Bahkan mereka juga adalah masyarakat yang cepat menyerah dan apatis melihat kerusakan

Muhammad Iqbal menyentil model orang-orang seperti di atas dengan senandungnya, “Andai aku adalah Rasulullah. Maka, aku tak akan turun lagi ke bumi. Setelah sampai di Shidratul Muntaha “. Sosok fenomenal legenda sastrawan dunia itu mengkritik, karena mereka terlena dengan manisnya hidup di “Shidratul Muntaha”, sehingga melupakan kewajiban yang sesungguhnya

Peringatan Isra' Mi'raj sebagai motivasi
Menurut beberapa buku sejarah kehidupan Rasulullah SAW (Sirah Nabawiyah), Isra’ Mi’raj adalah “hadiah hiburan” oleh Allah untuk Nabi Muhammad. Saat itu, Rasulullah mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Beliau ditinggal oleh istrinya tercinta, Khadijah, yang setia menemani dan menghiburnya dikala orang lain masih mencemoohnya. Lalu beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, yang (walaupun kafir) tetapi dia sangat melindungi aktivitas dakwah Nabi.

Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan yang sangat berat itu, menambah perasaan Rasullah semakin berat dalam mengemban risalah Ilahi. Lalu Allah "menghibur" Nabi dengan memperjalankan beliau, sampai kepada langit dan menemui Allah.

Rasulullah sangat paham, pilihannya untuk kembali ke bumi akan menemui resiko yang dahsyat dari orang-orang kafir Quraisy. Pasca wafatnya Khadijah dan Abu Thalib membuat aksi brutal kaum Quraisy semakin leluasa untuk melancarkan penyiksaan kepada Nabi. Namun Al Amin siap menanggung segala macam resikonya

Persis seperti kegelisahan KH. Rahmat Abdullah yang menulis “Seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Tak satu pun. Bila semua pihak menghindar, biarlah saya menanggungnya, semua atau sebagiannya. Saya harus mengambil alih tanggung jawab ini , dengan kesedihan yang sungguh, seperti saya menangisinya seperti saat pertama kali di mata air peradaban modern, beberapa waktu silam … “

Semua berharap, orang-orang yang sedang singgah di “Shidratul Muntaha” itu adalah orang-orang yang siap menanggung dan siap bertanggung jawab atas berbagai persoalan keumatan. Pasti secara gradual, langit yang gelap akan cerah kembali.

Semoga semangat Isra’ Mi’raj dapat menjadi motivasi, sehingga mereka mampu melukis peradaban dengan hasil yang cemerlang, sebagaimana janji-Nya “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (QS: 94: 6). Semoga. Wallahua’alam



Tidak ada komentar: