Jumat, 25 Januari 2008

Balada Si Raskin

Entah hari ini sudah kali yang ke berapa kami menemukan kejadian yang (sebenarnya) sangat gampang untuk diduga. Ya, apalagi selain kenaikan harga. Logikanya, sesuatu yang berulang dan terus berulang tidak menyiratkan tanda-tanya lantaran telah terbiasa. Namun sungguh berbeda dengan kenaikan harga barang yang satu ini. Minimal untuk kami. Kenapa ya?

Beras. Itulah nama barang yang sekarang menjadi fenomena. Bukan bentuknya yang menjadi aneh. Bukan pula keberadaannya yang langka, namun harganya. Tidak juga sejuta apalagi semilyar. Namun “cuma” enam ribuan perak perkilonya. Disitulah letak permasalahannya.

“Yang ini Rp. 6.200 tiap kilonya. Rp. 149.000 per karungnya. Ini yang paling murah lho mas”, jelas pramuniaga yang masih sabar menerangkan saya yang ‘rewel’ bertanya. Setelah sang pramuniaga mengeluarkan kartu truf berupa kata: ini yang paling murah lho mas, sejenak saya bergumam “Masya Allah sekarang saya makan beras yang paling murah”. Alhamdulillah ndilalah (jawa: kebetulan) saat itu serentak hati bersih saya berujar, begitulah kehidupan, kadang di atas, di bawah atau di tengah. Jadi lebih sabar dibuatnya.

Satu jam berselang, ketika kami sudah bersiap beranjak ke tempat tidur, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan. “Oo Pak Kiki (Sekretaris RT), masuk boss!”, ajak saya akrab. “Mau beras miskin nggak Nu?”, tanyanya tanpa basa-basi. “Mm … mau pak”, jawab saya terbata. “Yang ini jangan lupa diisi nama dan lainnya ya”, tutupnya sebelum berpamitan sembari memberi selembar formulir kosong.

Tak lama saya mulai mengeja huruf demi huruf, kesimpulannya: harga raskin Rp. 2.100 per kilonya. Dapat jatah 5 Kg per KK dan ngambilnya di tempat Pak RW serta jangan lupa bawa KTP.

Ringkas cerita, saking confuse dan sibuknya, tiga hari berselang, formulir itu masih perawan. Belum ada satu tetes pun pena yang menggoresnya. Saya bingung, halalkah raskin itu kami makan? Pantaskah orang yang tiap hari ngenet searching di dunia maya makan beras jatah orang miskin (raskin) yang mungkin bukan hak saya? Atau harus dikembalikan seperti usul Ummi Nazla?

Ketika hati sudah tergugah untuk mentransfer si raskin ke nenek (sebutan penjaga Nazla pertama), “iseng-iseng” lewat rumah Pak RW, namun walah sudah sepi beras dibuatnya. Tidak ada tumpukan makanan khas Indonesia. Yang ada hanya sisa-sisa karung tanpa isinya. Ya, beginilah kesudahan orang yang telat mengambil keputusan. Tak mampu berbuat banyak. Semoga mampu dijadikan pelajaran. Astaghfirullah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Haha...bapak ibuku juga sampe ngos2an kok ngasih makan aku+kakakku..bukan cuma abi kok yang repot ma harga2 yang pada naik..jadi..buat abi+umi-nya nazla..^buat bapak ibuku juga,deng,,semangat!!=D