Selasa, 15 Januari 2008

Dicari, Politisi Merakyat!

Sudah lebih dari satu dasawarsa udara reformasi dihirup oleh anak bangsa. Masih terngiang jelas dibenak kita bagaimana sepuluh tahun yang lalu para mahasiswa bersama masyarakat dan kaum intelektual maju bersama mensinergikan kekuatan untuk sebuah tujuan yang bernama “perubahan” di sebuah negeri gemah ripah loh jinawi yang bernama Indonesia.

Akhirnya, walaupun harus dengan adanya korban-korban yang jatuh berguguran karena diculik, dianiaya dan diberondong peluru, namun toh perjuangan mereka berhasil menggulingkan rezim otoriter yang dikomandani oleh Soeharto, Presiden kedua yang sangat “disegani” (baca: ditakuti) baik oleh lawan apalagi kawan. Kesangarannya mampu menancapkan kuku-kuku kekuasaannya sampai 32 tahun. Sebuah “prestasi” yang luar biasa di dunia kepemimpinan jagad raya ini.

Tentu yang terjadi adalah, reformasi pun mulai mulai menggeliat bagai cacing kepanasan. Ratusan juta penduduk menggantungkan harapan kepada apa yang dinamakan perubahan sistem pemerintahan. Ketika satu-dua bulan “Pemerintahan Ideal” yang keluar dari rahim reformasi berjalan kurang maksimal, masyarakat, mahasiswa bahkan para pakar masih beranggapan hal tersebut masih dapat ditolerir. Malah, saat satu-dua tahun belum mengalami perubahan yang signifikan pun mereka masih mewajarkannya. Adaptasi, demikianlah dalih mereka memberi jawaban.

Namun ketika euphoria reformasi mulai menggejala di hampir semua aspek, ditambah ketidak mampuan para pemimpin negeri memberikan solusi konkrit sampai satu dasawarsa, membuat kepercayaan menjadi barang yang langka di tengah kehidupan perpolitikan kita. “Bencana” ini tidak saja terjadi di Jakarta saja (baca: pusat), namun juga sudah menjalar ke berbagai daerah atau hampir ke seluruh daerah di Indonesia. Krisis kepercayaan masyarakat ibarat bola salju yang menggelinding dan semakin membesar. Hal ini dibuktikan dengan persentase keikutsertaan masyarakat dalam pesta demokrasi, baik Pemilu, Pilkada dan lainnya yang kian merosot.

Politisi Cacing

Masih ingatkah anda dengan Muhammad Yunus? Ia adalah seorang peraih nobel perdamian dari Bangladesh. Salah satu poin penting yang dimiliki dosen ekonomi ini adalah mau dan mampu menggerakkan perekonomian untuk kalangan bawah. Dengan bekal ilmu dan kemauannya itu, ia berdarah-darah memikirkan nasib para proletar di negaranya dengan cara diberikan kemudahan kepada si miskin (khususnya kaum perempuan) untuk “menikmati” hutang dengan bunga yang relatif kecil. Sebuah kebijakan langka yang ada di banyak negara ketiga. Juga merupakan sebuah amal yang sungguh sangat jarang ditemukan pada jaman sekarang.

Kenapa ia begitu berani mengambil resiko untuk melakukan hal tersebut? Karena ia mengaplikasikan moto hidupnya “Saya meninggalkan pola pikir burung yang memungkinkan kita melihat segala-galanya dari atas langit. Saya mulai melakukan pandangan seekor cacing yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depan mata saya, mencium baunya, menyentuhnya dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan”.

Selama ini para politisi kita masih mengadopsi pola pikir burung, dimana para anggota dewan yang terhormat dan para eksekutif seringkali memberikan solusi yang tidak membumi. Solusi permasalahan pendidikan, sosial, infrastruktur dan lainnya didapat hanya dengan melalui hearing, reses dan (musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) tok, bahkan ada juga melalui bisikan-bisikan “halus” dari pemilik tangan tak bertuan (invisible hand).

Sebagai pejabat publik sudah seharusnya untuk senantiasa bergumul dengan grass root (akar rumput) supaya dapat mencium dan merasakan penderitaan warganya, sehingga mampu memberikan kebijakan yang pas dan simultan.

Filosofi cacing memang sangat ampuh diterapkan untuk siapa saja. Termasuk juga digunakan untuk melancarkan bisnis narkoba. Diceritakan oleh Bill Beausay-seorang penulis buku mengenai kehidupan remaja- bahwa suatu ketika seorang Pastor terheran-heran bagaimana para jemaatnya, baik yang anak-anak, dewasa dan orang tua terjerat dalam narkoba. Akhirnya karena sudah mentok, ia mengambil langkah radikal untuk menangani masalahnya dengan mendatangi langsung bandar narkoba dan “berguru” kepadanya.

Sang pastor bertanya kepada pengedar, “Bagaimana kiatnya supaya dapat sukses mendekati dan mempengaruhi remaja untuk menjadi pecandu narkoba?”. Dengan enteng si pengedar menjawab “I’m there, you’re not. When these kids go to the school in the morning. I’m there, you’re not. When they come home in the afternoon. I’m there you’re not. When they go to get a loaf of bread for their mom in the afternoon. I’m there you’re not. When they need someone to feel and tough and protected around. I’m there you’re not,. I win you lose. (Saya disana mendampingi mereka, engkau tidak, ketika mereka berangkat sekolah di pagi hari. Saya disana, engkau tidak, saat mereka pulang sekolah di sore hari. Saya disana, engkau tidak ketika mereka ke warung membeli roti untuk ibunya. Saya disana, engkau tidak, saat mereka membutuhkan seseorang untuk merasa kuat, berani dan terlindungi. Saya menang, engkau kalah).

Lantas, bagaimana jika mulai saat ini politisi mengatakan, “Saya ada bersama rakyat tanpa harus menunggu reses. Saya ada bersama rakyat setiap saat. Saya ada bersama rakyat dalam kebijakan. Saya ada bersama rakyat ... Subhanallah, jika sudah seperti itu saya ikhlas mendo’akan “Majulah para pejuang rakyat”. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar: