“Mas, harga tempe-tahu di pasar sudah naik, sekarang Rp. 1000,- cuma dapat dua tahu”. Itulah sekelumit curahan hati istri saya saat menemani makan malam. Cerita khas kaum ibu itu menjadi pelengkap menu makanan favorit kami, Sup Ayam plus tahu pake kecap tentunya.
Padahal, kemarin belum terjawab keluhan istri yang bercerita tentang harga beras yang terus naik tidak mau turun. Belum lagi bawang merah, minyak goreng, gas dan susu bayi untuk si kecil Nazla yang harganya melejit tak terkira. Selain itu tagihan ATB (sejenis PDAM – karena di Batam sudah diswastanisasikan dengan nama ATB) yang fantastis menguras perekonomian kami. Sekarang muncul topik hangat seputar harga kedelai yang menjadi “head line” di gubuk kami.
Sejenak teringat belasan tahun lalu, bagaimana hidup di kampung halaman (Brebes dan tentunya juga ditempat lain) begitu terasa “nyaman”. Harga sembako terkendali, kurs dollar terpatri yang membuat harapan dan optimisme hidup masyarakat tinggi.
Apalagi, konon kata orang, 1984 predikat negara swa sembada beras dilekatkan kepada negeri kita, padahal pada 1960-an
Namun kenapa di era reformasi yang katanya memunculkan recovery di tahun 2000 (sampai sekarang) justru
Tahukah anda, salah satu kompensasi IMF adalah meminimalisir kewenangan negara untuk mengelola bulog sebagai lumbung kesejahteraan pangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar