Selasa, 19 Februari 2008

Atas Nama Cinta Karatan

Ada yang menggelikan ketika membaca berita di sebuah harian lokal Tribun Batam kemarin. Yang bikin geli bukan judulnya. Bukan pula penulisan beritanya, tapi pengakuan si tersangka, Mardi Hartono (MH) yang menghamili pacarnya (Kr) padahal sudah memiliki istri dan sedang mengandung pula.

Kepada pihak Poltabes Barelang, MH bercerita bahwa hubungan cintanya sudah berjalan empat bulan. Apa motif MH menghamili Kr? Inilah yang membuat geli, “Karena terlanjur menyukai dan mencintai pacarnya tersebut”. Aneh kan?, cinta kok menghamili dan tak bertanggung jawab pula. Begitukah definisi cinta zaman sekarang?

Dulu, ketika masih mahasiswa saya sering diberondong pertanyaan oleh teman-teman kampus yang cewek tentunya. Sekarang, setelah sudah menikah pernah beberapa ibu-ibu bertanya dengan kesimpulan yang sama, “Laki-laki adalah buaya darat”. Saya menangkap pertanyaan tersebut adalah ekspresi kekecewaan yang berlebihan. Biasalah wanita.

Mendapat pertanyaan di atas, saya sangat mudah menjawabnya. Pertama, tidak semua laki-laki itu buaya. Buktinya, Rosulullah. Walaupun menikah lebih dari satu kali namun tidak ada yang menyebutnya buaya (kecuali orang yang sirik). Para sahabatnya pun begitu. Yang agak kekinian, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari. Belum lagi HAMKA, M. Natsir, apakah ada yang menyebut mereka buaya?. Intinya, masih ada jutaan laki-laki yang dapat diandalkan. Bahkan sampai hari ini. Selektiflah wahai saudariku, jangan grusa-grusu.

Kedua, jika memang laki-laki (ada) yang buaya (Ya Allah, jauhkanlah kami dari lelaki model seperti ini), kenapa wanita justru tidak memasang kuda-kuda, tapi malah senang bila didekatinya?. Prediksi saya, dari sekian banyak tindakan pelecahan itu disebabkan karena wanita memasang “perangkap”. Baik sengaja maupun tidak, baik sadar ataupun nggak. Apa perangkapnya? Bisa tank top, terlalu kemayu dan seabrek lainnya.

Pernah saya katakan pada istri, “Mi, orang yang paling rugi dan patut disalahkan lebih besar dari implikasi pacaran, terus sampai terjadi kissing, petting dan ujung-ujungnya bunting adalah wanita. Karena laki-laki tipe buaya akan melakukan apa saja untuk merealisasikan tujuannya.

Sekarang, tinggal bagaimana wanita memiliki kekuatan daya tahannya. Seharusnya setiap wanita itu memiliki signal yang kuat terkait gerak-gerik mencurigakan, bukan malah menikmatinya. Tentu istri pun gak terima dengan “laporan akhir” saya. Adakah yang beda?

3 komentar:

Me mengatakan...

Saya sih setuju kalau wanita itu seharusnya tidak kemayu, nggak pakai tank top, pokoknya istilahnya bersikap dan berpakaian yang tidak mengundang hasrat laki-laki.
Tapi..kasihan juga ya jadi wanita, sudah jadi korban, masih juga disalahkan.
Di sisi lain, seharusnya laki-lakipun semestinya memperbaiki moralnya, bisa menahan nafsunya.
Tetapi begitulah kenyataan yang ada, apabila seorang wanita & seorang pria, berdua2an , tentunya yang ada di antara mereka adalah syaitan, bukan begitu?

GagasanRingan mengatakan...

sepakat mbak ani. semestinya laki2 juga memperbaiki moralnya. karena memang sebenarnya yang punya andil adalah keduanya (lelaki dan perempuan)
tapi tipe laki2 buaya adalah senantiasa menebar ranjau. shg "pertahanan" terakhir ada di pihak wanita. apalagi wanita adalah orang yang paling dirugikan.

Anonim mengatakan...

berat nih :D
keduanya turut andil dalam hal ini
ketika wanitanya dah sekuat baja, tapi lelakinya tak menyerah dan tak kenal lelah terus menggoda, akhirnay toh jatuh juga,krn tidak semua wanita kayak Rabiatul adawiyah :)

pun sebaliknya, wanita penggoda yg dengan segala kemolekannya mencuri perhatian, lama-lama laki2 pun jatuh dalam perangkap yg sama, krn ga semua pria seperti nabiyullah yusuf :)

dan begitulah lika liku kehidupan
--alah, sok bijak :d --