Jumat, 29 Februari 2008

Berdiri Dimana Ilmu Kita?

Membaca buku salah satu refleksi arkan al ‘asyarah “Untukmu Kader Dakwah” karangan Ustadz Rahmat Abdullah dalam bab Al Fahmu, jawaban itu sedikit demi sedikit mulai terkuak. Buku yang sudah lama saya miliki ini memang luar biasa. Entah kenapa saya tidak pernah bosan untuk membaca dan mengulangnya. Mungkin isinya, mungkin gaya bahasanya atau mungkin penulisnya yang menggunakan pena mata hati? Jawabnya mungkin bisa semuanya.

Jawaban diatas adalah tentang pertanyaan apa kerja orang-orang terpelajar sehingga Indonesi terus begini? Kita tahu sudah ada puluhan juta sarjana dicetak di negeri ini. Pemegang gelar Master dan Philosophy of Doctoral di belakang nama-nama mereka jumlahnya sudah jutaan.

Akibat ilmu sekedar untuk kesombongan adalah salah satu penyebabnya. Di sana diceritakan bagaimana Bal’am begitu sombong dengan keilmuannya. Kedua, musuh ilmu (biasanya) adalah kekuasaan. Sebagaimana Bal’am yang akhirnya mencla-mencle atas pengaruh kekuasaan. Ketiga, ilmu sekedar dijadikan flash disk atau museum yang sifatnya hanya mampu menyimpan.

Inilah yang digugat oleh Muhammad Yunus, seorang dosen ekonomi Universitas Chittagong. Seorang penerima hadiah nobel perdamaian 2006 yang muak dengan ilmu-ilmu yang dipelajari dan diajarkan karena dinilainya tidak membumi. Dengan bendera Grameen Bank ia melakukan hal yang “kontroversial”, yakni bergumul dan berguru kepada orang miskin kemudian memberikan kepercayaan yang luar biasa kepada mereka untuk diberi kredit mikro. Salah satu kepercayaan yang jarang terjadi bahkan sampai kini di bumi Indonesia yang katanya memegang sistem ekonomi kerakyatan.

Sehingga dalam bukunya dengan tulus ia berbagi kepada kita “Apa hebatnya teori-teori rumit itu manakala orang-orang tengah sekarat kelaparan di trotoar dan emperan seberang ruang kuliah tempat saya mengajar? Kuliah-kuliah saya menjadi seperti film-film Amerika di mana orang baik selalu menang. Tetapi begitu saya keluar dari kenyamanan ruang kelas, saya dihadapkan pada realitas yang berlangsung di jalanan kota. Di sini orang-orang baik dihajar dan terhempas tanpa ampun. Kehidupan sehari-hari semakin memburuk dan yang miskin jadi bertambah miskin” (Muhammad Yunus: Bank Kaum Miskin: 3: 2007)

Apa kabar ilmu kita, apakah kapasitasnya baru sebatas untuk kesombongan, atau mungkin intelektualitas kita takluk oleh pengaruh kekuasaan atau hanya sekedar museum? Semoga tidak. Wallahua'lam

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalo saya liat kayaknya sebagian "YA" dan sebagian lagi "TIDAK"....tapi saya tidak tau persentasinya....

(Subsidi Pendidikan sedang dikurangi 15%) ....terlalu

Anonim mengatakan...

Menyimak tulisan anda, saya jadi ingat orang yang paling tak kagumi selama ini Abul 'ala Al Maududi. Lugas dan bersahaja. Sebenarnya pendekatan kesejahteraan gaya Amerika lebih merupakan varian dari kapitalisme yang dihujat Karl Marx pada abad 19.
Kang kita punya Model Syariah .... kenapa kita agaknya enggan berijtihad..
Bi khairin... Alhamdullilah..
Salamm..

Anonim mengatakan...

jadi mikir2 ni

Anonim mengatakan...

gak bisa komnt banyak.. karena ilmuku blum nyampek..
Teruslah kita berjuang.. mudah2an kita bisa pake pena mata batin n pena akal..yg udah siap pakai ini...